Senin, 28 Oktober 2019

Catatan Singkat
LANDASAN FUNDAMENTAL UU NO 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh
F A D L I

Pengantar

Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memicu polemik yang berimbas pada gelombang demonstrasi yang terjadi hampir di seluruh daerah. Revisi tersebut kemudian menuai berbagai gelombang protes karena dilakukan menjelang berakhirnya masa bakti DPR periode 2014-2019 yang berakhir pada akhir September 2019. Berbagai pihak, selain sangat terkejut dengan kelahiran revisi UU KPK di atas yang terasa sangat tiba-tiba, lantas mempersoalkan proses penyusunan yang tidak transparan dan lebih-lebih lagi substansinya yang dianggap memperlemah keberadaan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jumat, 11 Oktober 2019

ANALISIS HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK ALAT-ALAT BERAT/BESAR PADA PT. MANDIRI HERINDO ADIPERKASA UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI KALIMANTAN UTARA DI TANA TIDUNG


Oleh:
F   A   D   L   I
2019

BAB I
PENDAHULUAN

A.              Latar Belakang.
Rencana pulau Kalimantan sebagai ibu kota Indonesia semakin sering terdengar, sehingga tidak berlebihan jika setiap provinsi yang ada di pulau yang memang kaya akan sumber daya alam tersebut seakan berlomba-lomba menyiapkan sebaik mungkin sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan, tanpa terkecuali Provinsi Kalimantan Utara.
Kalimantan Utara merupakan provinsi termuda di antara provinsi lainnya yang ada di pulau Kalimantan, bahkan saat ini menjadi provinsi termuda di Indonesia, terus berupaya meningkatkan sumber pendapatan daerahnya. Salah satunya melalui pungutan pajak daerah. Awalnya provinsi Kalimantan Utara merupakan bagian dari provinsi Kalimantan Timur, resmi disahkan menjadi provinsi dalam rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Oktober 2012 berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012.[1] Kementerian Dalam Negeri menetapkan 11 (sebelas) daerah otonomi baru yang terdiri atas satu provinsi dan 10 (sepuluh) kabupaten, termasuk Kalimantan Utara pada hari Senin, 22 April 2013. Provinsi Kalimantan Utara terdiri atas 5 (lima) wilayah administrasi dengan 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota, yaitu Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Tana Tidung, dan Kota Tarakan. Ibukota Provinsi Kalimantan Utara terletak di Tanjung Selor, yang saat ini berada di Kabupaten Bulungan. 

Kamis, 26 September 2019


SEJARAH PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Oleh
F A D L I

PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Bicara tentang Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) tidak lengkap rasanya apabila tidak mengetahui bagaimana sejarah[1] perkembangannya di Indonesia. Mengetahui sejarah perkembangannya maka kita dapat mengetahui terbentuknya hukum (undang-undang), tatanan hukum awal dan apa yang menjadi titik tolak sehingga terbentuknya undang-undang tersebut. Belajar sejarah perselisihan hubungan industrial sama halnya belajar sejarah hukum yang artinya kita mempelajari suatu pengantar studi hukum yang berlaku saat ini (ius constitum).[2] Sejarah itu sendiri mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah hukum satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Dengan demikian bahwa sejarah hukum merupakan bagian dari penyelenggaraan sejarah secara integral dengan memfokuskan perhatian pada gejala-gejala hukum, di mana penulisan sejarah secara integral pula mempergunakan hasil-hasil sejarah hukum dan sekaligus meredam efek samping yang terpaksa ikut muncul ke permukaan sebagai akibat peletakan tekanan pada gejala-gejala hukum.[3]

Selasa, 10 September 2019


PERMASALAHAN PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN KEHUTANAN (ILLEGAL LOGGINGDI KALIMANTAN TIMUR.

Oleh:
F A D L I

Tulisan ini merupakan tulisan lama yang pernah di publis sekitar tahun 2008.  
Merupakan hasil penelitian singkat dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung pada proses penegakkan hukum illegal logging ketika itu di Provinsi Kalimantan Timur. Tulisan ini tentunya membutuhkan penyesuaian-penyesuain kekinian, mengingat masa penulisan sudah cukup lama sekitar tahun 2008.

A.    Latar Belakang.
Pada kurun waktu antara 1998-2004, perjalanan pengelolaan hutan mendapat sorotan tajam dari dalam maupun luar negeri. Pada kurun waktu terseebut, telah terjadi ledakan pengrusakan hutan akibat praktik eksploitasi yang tidak terkendali. Hal ini ditandai dengan muncul dan maraknya praktik eksploitasi hutan oleh pelaku-pelaku baru yang tidak memiliki izin atau memanipulasi izin pemanfaatan. 
Memasuki fase 2006-Sampai saat ini, praktik illegal logging memainkan modus baru dengan cara mengurus izin perkebunan kelapa sawit. Modus ini menjadi sorotan utama dan menjadi perbincangan hangat, hal ini tidak lain karena illegal logging telah dipandang sebagai sebuah aktivitas mafia yang seolah tak pernah tersentuh hukum. Kejahatan illegal logging itu sendiri telah berhasil menciptakan suatu karya terbesar dalam kerusakan hutan di Indonesia dengan berbagai modus yang digunakan. Bahkan ada yang beranggapan bahwa kejahatan illegal logging dapat disejajarkan dengan korupsi maupun sekelas terorisme sekalipun.

Senin, 09 September 2019


ANALISIS EKONOMI TERHADAP POKOK-POKOK KESEPAKATAN DIVESTASI SAHAM PT FREEPORT INDONESIA
Oleh:
F A D L I
2018

Pendahuluan
Pada bulan Juli 2018 Publik sempat dikejutkan dengan berita penandatanganan Pokok-Pokok Kesepakatan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia antara Pemerintah Indonesia melalui Holding Industri Pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), atau INALUM dengan Freeport-McMoran Inc. (FCX). Spontan pemberitaan tersebut menjadi perhatian publik karena adanya pro dan kontra terhadap langkah-langkah yang di ambil oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bagaimana tidak ? Penandatanganan Pokok-Pokok Kesepakatan Divestasi tersebut terjadi setelah melalui proses yang cukup panjang, bahkan ditengarai adanya saling ancam antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Freeport McMoran Inc. (FCX).

Bagi pihak yang pro, langkah divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium, merupakan bukti kebangkitan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas salah satu sumber kekayaan alam. Namun tidak demikian pandangan pihak yang kontra, menilai harga divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) yang mencapai US$ 3,85 miliar, setara Rp 55 Triliun, terlalu mahal untuk dibayar Pemerintah Indonesia. Apalagi mengingat masa operasi PT Freeport Indonesia jika merujuk pada Kontrak Karya (KK), akan berakhir pada 2021. Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara mengatakan, harga US$ 3,85 miliar sangat tidak masuk akal karena pada dasarnya sebagian besar aset yang dibayar oleh pemerintah Indonesia adalah milik negara dan bangsa sendiri.

Minggu, 08 September 2019


ANALISIS PUTUSAN HAKIM No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.
TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN I[1]

Oleh:
F A D L I[2]


Abstrak

Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag, berkaitan dengan Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan I yang di lakukan oleh Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo. Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo dengan tuntutan 5 (lima) bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta) subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tetapi kemudian Majelis Hakim memutuskan dengan instrumen Pasal 116 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan narkotika golongan I jenis ganja”; Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; ketiga, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; keempat, menetapkan agar terdakwa tetap ditahan.


SEKILAS PERJALANAN ILEGAL LOGGING DAN INSTRUMEN HUKUM YANG MENGATURNYA.

Oleh:
FADLI

Materi ini disampaikan dalam Kegiatan Pelatihan Para Legal “Pemahaman Proses Penanganan Kasus Hukum Ilegal Logging dan Peluang Monitoring oleh Masyarakat” 
tanggal 18 – 19 Desember 2008.


A.            Perjalanan Eksploitasi Hutan

Kegiatan eksploitasi hutan tercatat telah dimulai pada era antara tahun 1965-1970 yang dilakukan oleh masyarakat, era tersebut dikenal dengan era “banjir kap” di mana kegiatan eksploitasi hutan dilakukan secara bebas dan hampir tidak ada mekanisme kontrol[1]. Jaman banjir kap kayu-kayu yang ada dipinggir sungai ditebang secara tidak resmi dan dibawa kepada pembeli lewat sungai. Pekerjaan menebang kayu merupakan salah satu pendapatan bagi masyarakat sekitar dan juga masyarakat di sekitar hutan[2]. Di era tersebut belum ada peraturan perundangan yang memadai, sehingga sulit dikatakan bahwa aktivitas masyarakat menebang kayu dikategorikan perbuatan ilegal atau kejahatan kehutanan. Pengaturan pengusahaan hutan dimulai pada awal 1970-an, melalui pemberian izin pengusahaan hutan oleh pemerintah kepada badan-badan usaha yang berbadan hukum dan memiliki kapital yang memadai. Model pertama izin pengusahaan hutan adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang kemudian bertambah dan berkembang dalam bentuk lain seperti Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK), Hak Izin Pengusahaan Hasil Hutan (HIPHH), dan sebagainya.

Sabtu, 07 September 2019

MENAGIH PERTANGGUNGJAWABAN MENTERI BUMN ATAS TERPUTUSNYA ALIRAN LISTRIK  DI WILAYAH JABODETABEK DAN PULAU JAWA PADA UMUMNYA

Oleh:
F A D L I
Pendahuluan
Minggu, 4 Agustus 2019 sebagian besar warga Jabodetabek dan pulau Jawa pada umumnya dibuat “uring-uringan oleh PLN” hal ini tak lain karena terputusnya aliran listrik sejak Minggu siang hingga malam hari. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa ada masalah serius pada Perusahaan Listrik Negara (PLN). Peristiwa ini tentunya membawa dampak kerugian yang sangat besar bagi masyarakat dan tentu hal ini sungguh sangat mengecewakan. Kalangan pengamat mengatakan kasus yang terjadi mencoreng citra PLN di masyarakat. Sebab, pemadaman tersebut sangat merugikan konsumen, apalagi bisa menimbulkan kerugian ekonomi baik skala besar maupun skala kecil.