PERMASALAHAN PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN KEHUTANAN (ILLEGAL LOGGING) DI KALIMANTAN TIMUR.
Oleh:
F A D L I
Tulisan ini merupakan tulisan lama yang pernah di publis sekitar tahun 2008. Merupakan hasil penelitian singkat dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung pada proses penegakkan hukum illegal logging ketika itu di Provinsi Kalimantan Timur. Tulisan ini tentunya membutuhkan penyesuaian-penyesuain kekinian, mengingat masa penulisan sudah cukup lama sekitar tahun 2008.
Tulisan ini merupakan tulisan lama yang pernah di publis sekitar tahun 2008. Merupakan hasil penelitian singkat dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung pada proses penegakkan hukum illegal logging ketika itu di Provinsi Kalimantan Timur. Tulisan ini tentunya membutuhkan penyesuaian-penyesuain kekinian, mengingat masa penulisan sudah cukup lama sekitar tahun 2008.
A.
Latar Belakang.
Pada kurun waktu antara 1998-2004, perjalanan pengelolaan hutan mendapat
sorotan tajam dari dalam maupun luar negeri. Pada kurun waktu terseebut, telah
terjadi ledakan pengrusakan hutan akibat praktik eksploitasi yang tidak
terkendali. Hal ini ditandai dengan muncul dan maraknya praktik eksploitasi
hutan oleh pelaku-pelaku baru yang tidak memiliki izin atau memanipulasi izin
pemanfaatan.
Memasuki fase 2006-Sampai saat ini, praktik illegal logging memainkan modus
baru dengan cara mengurus izin perkebunan kelapa sawit. Modus ini menjadi
sorotan utama dan menjadi perbincangan hangat, hal ini tidak lain karena illegal
logging telah dipandang sebagai sebuah aktivitas mafia yang seolah tak pernah
tersentuh hukum. Kejahatan illegal logging itu sendiri telah berhasil
menciptakan suatu karya terbesar dalam kerusakan hutan di Indonesia dengan
berbagai modus yang digunakan. Bahkan ada yang beranggapan bahwa kejahatan
illegal logging dapat disejajarkan dengan korupsi maupun sekelas terorisme
sekalipun.
Proses hukum terhadap pelaku illegal logging yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai saat ini belum maksimal. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan belum menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik illegal logging di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya putusan bebas bagi terdakwa illegal logging dan putusan yang sangat ringan bagi terdakwa illegal logging di sejumlah daerah di Indonesia. Persoalan ini menimbulkan sinyalemen yang kuat bahwa Aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan tidak serius dalam memproses hukum pelaku illegal logging di Indonesia.
Di luar permasalahan perilaku korup oknum aparat penegak hukum yang
menangani perkara, bebasnya para terdakwa atau tidak tersentuhnya pelaku illegal
logging kelas kakap juga dipengaruhi lemahnya perundangan. Undang-undang
Kehutanan mempunyai banyak permasalahan dan tidak menjangkau. Kejahatan illegal
logging makin canggih atau terorganisir dan terkait dengan kejahatan lain
seperti pencucian uang dan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, proses penegakan
hukum dalam penanganan kasus illegal logging perlu diperluas dan diintegrasikan
dengan menggunakan aspek lain dalam peraturan perundangan yang ada, yakni UU
Lingkungan Hidup, UU Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang.
Untuk mendukung proses penanganan hukum yang terpadu tersebut, maka dilakukan
identifikasi ke lembaga penegak hukum, instansi
pemerintah yang terkait dengan sektor kehutanan dan lembaga non pemerintah yang
konsen terhadap isu penegakan hukum illegal logging, untuk mengetahui apa yang menjadi masalah dan hambatan dalam proses tersebut
serta apa yang bisa dilakukan untuk mendukung proses-proses tersebut.
B.
Permasalahan
Dalam Penegakan Hukum
Dari hasil
identifikasi yang dilakukan di Kalimantan Timur yang dilakukan di tiga tempat Balikpapan,
Samarinda dan Berau khususnya pada Instansi Kepolisian
Daerah Kalimantan Timur (POLDA KALTIM), Kejaksan Tinggi Kalimantan
Timur,
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Polres Berau,
Kejaksaan Negeri Berau, Pengadilan
Negeri Berau, Dinas Kehutanan Kabupaten Berau dan
NGO yang ada di Kalimantan Timur. Dapat dikumpulkan
mengenai informasi yang menjadi masalah dalam proses penegakan hukum illegal
logging yang sekaligus menjadi hambatan dalam penegakan hukumnya, informasi
tersebut diperoleh dari hasil wawancara pada responden yang memiliki data-data
pada kasus penanganan illegal logging.
1.
Masalah secara
umum
Secara umum kendala dalam penegakan hukum illegal logging
(penebangan dan penyeludupan kayu), adalah banyaknya instansi dalam mata rantai
pemberantasan illegal logging yang berjumlah 18 instansi. Selain itu, penegakan
hukum masih lemah sehingga mafia kayu beraksi dengan bebas. Bahkan modus
penebangan liar dengan oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak
pidana kehutanan, di samping juga menjadi “backing”. Kondisi moral, sosial dan
budaya masyarakat, serta aparat cenderung menjadi tidak kondusif terhadap
kelestarian hutan dan penegakkan hukum. Ketahanan dan kemandirian masyarakat
yang masih rendah dengan pembodohan yang berdalih pemberdayaan masyarakat.
Masih terdapat industri pengolahan kayu yang menerima dan mengolah kayu
illegal.
Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kasus illegal logging,
karena melihat kontribusi sektor kehutanan dan industri turunannya dapat
menopang perekonomian menjadi salah satu faktor pendukung maraknya illegal logging
yang tentunya hal ini sekaligus menjadi masalah tersendiri dalam hal penegakkan
kasus illegal logging. Kontribusi sektor kehutanan ini juga bukan hanya dilihat
oleh masyarakat sebagai penopang perekonomian tetapi dilihat juga oleh daerah
sebagai potensi penyumbang Pendapatan Asli Daerah melalui perusahaan yang
mengantongi Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang pada
kenyataannya banyak perusahaan melanggar ijin tersebut.
2.
Masalah menurut
para pihak
Menurut (Hamongpranoto, Saroso: 2008), Dalam seminar sehari di bidang kehutanan bahwa
permasalahan penegakan hukum illegal loging terletak pada tiga aktor yang
saling terkait dan merupakan ”Team Work” yang cukup handal dalam praktik
Illegal Loging, yaitu Pejabat Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat.
Masing-masing dari ketiga ”Oknum” tersebut mempunyai kepentingan yang
sama yaitu adanya ”keuntungan” yang dapat memberikan ”kesejahteraan bagi
kehidupan pribadi dan keluarganya”. Keterkaitan ketiga “Aktor” tersebut makin
terlihat ketika kasus illegal logging makin banyak terungkap, tentunya dengan
fungsi dan perannya masing-masing yaitu:
- Pejabat Pemerintah dan pejabat penegak hukum, memberikan fasilitas sesuai dengan kewenangannya agar perbuatan atau praktik Illegal Loging dapat berjalan lancar.
- Pengusaha sebagai pelaku utama meminta fasilitas dengan memberikan imbalan uang yang memadai.
- Masyarakat yang serba kekurangan dan kesadaran hukum yang rendah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk ikut serta dalam praktik ini.
Keterkaitan tersebut makin terlihat jelas sebagaimana
yang terungkap dari hasil penelitian tim LIPI pada tahun 2005 kerap terjadi
usaha pencurian kayu termasuk Illegal Loging oleh Pengusaha di daerah
perbatasan, alasannya adalah:
- Harga bersaing untuk pasar kayu bantalan atau olahan di Tawau sangat tinggi sekitar dua kali lipat dibanding harga lokal di Nunukan dan Tarakan.
- Pengawasan oleh aparatur pemerintah sangat lemah dan dapat dinegosiasi dengan damai sehingga pengapalan kayu ke Tawau relatif terjamin.
- Pemerintah Pusat dan Daerah Nunukan tidak memperoleh pendapatan memadai dari adanya aktivitas perdagangan kayu yang sangat potensial ini.
- Rusaknya ekosistem hutan di kawasan perbatasan karena penjarahan kayu oleh aktor pengusaha kayu Illegal yang menyuruh masyarakat lokal untuk menebang kayu baik di hutan lindung maupun hutan produktif.
- Para pelaku atau aktor lain banyak yang tidak menerapkan konsep Sustainable Forest Management dalam pengelolaan hutan karena lemahnya penegakan hukum di lapangan.
APHI melihat kesenjangan suplai dan tersedianya bahan
baku industri serta lemahnya penegakkan hukum ditambah lagi kepintaran cukong
kayu memanfaatkan masyarakat miskin jadi penyebab praktik ini terjadi, sehingga
perlu tekad bersama untuk memberantasnya.
3.
Masalah dalam konteks perundangan
Selain itu yang menjadi masalah adalah lemahnya penegakan
hukum yang dipengaruhi beberapa faktor antara lain peraturan/undang-undang yang
lemah atau tidak relevan lagi, kualitas penegak hukum yang tidak memadai lagi
baik secara pengetahuan, keterampilan, maupun mental/moral, sarana/prasarana
yang sangat terbatas, budaya yang masih hidup dimasyarakat serta lingkup
masyarakat yang kurang responsif.
Dari konteks undang-undang, masalah tersebut dapat
dilihat pada Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sejatinya
undang-undang tersebut digunakan sebagai instrumen dalam penegakan hukum
illegal logging dengan mengacu pada Pasal 78. Penerapan Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, disisi lain menimbulkan masalah hal ini
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 80 ayat (2) menyatakan:
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan yang diatur
dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
Karena banyak perbuatan yang tidak diatur dalam ketentuan pidana Pasal 78,
maka para pembalak liar sering kali menggunakan celah ini, atau sengaja
melakukan pelanggaran yang termasuk dalam kategori pelanggaran
administratif. Misalnya saja, dalam Pasal 78, pelaku penebangan hutan
tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda. Tapi bagaimana bila
pemegang izin melakukan penebangan hutan dengan sengaja di luar RKT, melakukan
penebangan tidak dengan sistem tebang pilih atau menebang tapi tidak menanam
kembali. Dalam praktik, hal tersebut banyak dilakukan dan menjadi modus
pembalakan liar.
Permasalahan lain terlihat juga pada Undang-undang Nomor
32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, permasalahan vertikal mengenai
kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat menjadi masalah tersendiri.
Selain itu pertentangan yang terjadi antara Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
Tentang Kehutanan, juga menjadi masalah yaitu menyangkut pemberian izin oleh
kepala daerah pada sektor kehutanan sementara di satu sisi menurut
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa proses pemberian izin
yang dilakukan oleh kepala daerah untuk mengeluarkan kayu-kayu dari hutan
bertentangan dengan undang-undang yang telah ada yaitu Undang-undang Nomor 41
tahun1999 tentang Kehutanan, yang selama ini dijadikan landasan dalam proses
penegakan hukum di sektor kehutanan.
Disisi penegakan hukum, hingga saat ini selalu terjadi
saling lempar kewenangan dalam penanganan illegal logging. Kepolisian dan
Kejaksaan yang harusnya menjadi aktor utama penegakan hukum pun telah patah
arang, sehingga membutuhkan bantuan dari instansi teknis kehutanan. Sementara
instansi teknis kehutanan selalu menyatakan bahwa kewenangan penegakan hukum
hanya ada di Kepolisian dan Kejaksaan. Lalu siapa yang sebenarnya berhak untuk
melakukan penegakan hukum? Haruskah hukum rimba yang berlaku? (Fadli, Ade:
2004).
4.
Masalah
korupsi yang mengakar.
Korupsi merupakan sebuah akar dari keseluruhan
permasalahan negeri. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi dalam berbagai
bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi aktual
kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima? upeti? dari
penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan
hutan.
Korupsi yang telah diterima sebagai sebuah budaya di
berbagai tingkat masyarakat akhirnya telah menutup kepentingan kelestarian dan
keberlanjutan pengelolaan hutan saat ini. Hal ini juga diperparah dengan tidak
terjadinya penegakan hukum di sektor kehutanan yang membuat sebagian besar
masyarakat menjadi antipati terhadap sebuah slogan pelestarian hutan. Kayu tak
sebesar pil ekstasi, namun penegakan hukum terhadap pelaku pencurian kayu lebih
sulit dibandingkan penegakan hukum bagi pelaku narkoba. Demikian pula bila
melihat dampak yang terjadi akibat pencurian kayu yang dapat menyebabkan
kerugian bagi komunitas masyarakat dalam jumlah besar, dibandingkan dengan
pengguna dan pengedar narkoba yang hanya merugikan pihak pengguna dan pengedar
saja. Pencuri kayu dapat menghadirkan kerusakan hutan yang berpotensi
menjadikan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. (Fadli, Ade:
2004)
5.
Masalah menurut
aparat penegak hukum Kaltim
Hasil wawancara dengan responden penegak hukum terungkap bahwa yang menjadi
masalah dalam penegakan hukum illegal logging adalah proses penuntutan
menyangkut barang bukti, selama ini barang bukti yang digunakan untuk kejahatan
kehutanan seperti truk bukan milik pelaku atau terdakwa dalam kasus illegal
logging sehingga barang bukti tersebut sulit dirampas untuk negara sebagaimana
yang diamanatkan undang-undang. Berbeda halnya dengan barang bukti berupa kayu
hasil curian, hasil kejahatan ini bisa saja langsung dirampas untuk negara.
(Sumber: Tengku Othmansyah. Bagian Pidana umum Kejati Kal-Tim).
Keterangan yang diambil dari (Farid) Polres Berau, mengungkapkan bahwa yang
menjadi masalah dalam penegakan hukum illegal logging di Berau karena
keterbatasan sarana dan prasarana. Polres Berau dalam penanganan kasus illegal
logging wilayah cakupannya sangat luas khususnya mengawasi penyeludupan yang
menempuh jalur laut, sementara Polres Berau dalam proses pengawasan wilayah
Berau hanya dibekali 3 (tiga) buah speed boat.
Selain hal tersebut di atas persoalan mendasar yang menjadi masalah bagi
Polres Berau dalam hal melakukan penyelidikan dan penyidikan apabila ada
perusahaan yang terindikasi melakukan penebangan di luar areal izin yang telah
dimilikinya, karena ketiadaan peta kawasan perusahaan tersebut, perusahaan
tidak pernah memberikan peta kawasan tersebut pada pihak Polres Berau. Hal ini
menyebabkan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan menjadi
terkendala. Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan khususnya
menyangkut perusahaan dan areal tebang, menjadi persoalan tersendiri bagi
Polres Berau. Keterbatasan personil Polres Berau dan juga kemampuan membaca
peta sehingga monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan perusahaan tidak
diketahui menjadi penghambat dalam pemberantasan illegal logging. Penangkapan
yang dilakukan oleh Polres Berau dalam operasi illegal logging di dominasi
masyarakat, hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya dalam melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran kehutanan oleh perusahaan.
Menurut kejaksaan Negeri Berau (Widji Susilo, Kepala Seksi Tindak Pidana
Umum). Pemberantasan Illeggal Logging terbentur pada persoalan lapangan dan teknis,
kurangnya sarana dan prasarana menjadi persoalan tersendiri bagi Kejaksaan
Negeri Berau, di beberapa kasus yang ditangani pihak Kejaksaan Negeri Berau
masalah tersebut datang dari anggaran, biaya untuk melakukan eksekusi lapangan
lebih besar dibandingkan dengan putusan pengadilan, banyak kayu illegal loging
yang tidak terlelang karena jarak yang tidak terjangkau dan minimnya dukungan
sarana dan prasarana serta biaya yang tinggi untuk menjangkau lokasi eksekusi,
akibatnya negara dirugikan dan tidak terpenuhinya kehendak dalam upaya
pemberantasan kejahatan Illegal Logging. Sedangkan Pengadilan Negeri Tarakan
(Andre Purwanto/Humas Pengadilan Negri Berau) mengatakan yang menjadi masalah
dalam penegakan hukum Illegal Logging adalah putusan bebas terhadap perusahaan
yang melakukan kegiatan Illegal Logging, putusan bebas tersebut karena didasari
pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan
tindak pidana kejahatan kehutanan, yang terbukti bahwa perusahaan tersebut
hanya melakukan pelanggaran administrasi.
Tim mengumpulkan cukup banyak informasi mengenai kendala dalam penanganan
kasus illegal loggin di Kaltim yang diperoleh dari hasil wawancara responden
kunci dalam penanganan kasus ini. Hambatan-hambatan tersebut dilihat pada
matriks di bawah ini.
Matrik
Hambatan-hambatan dalam penangan kasus pencurian kayu di Kaltim
Instansi
|
Hambatan
yang dihadapi
|
Polda Kaltim
|
· Pada umumnya kendala yang dihadapi dalam
melaksanakan kegiatan adalah terlambatnya dukungan anggaran untuk operasi Kepolisian, sehingga kurang mendukung kegiatan
operasional secara maksimal.
|
Polres Berau
|
· Tidak
lengkapnya sarana prasarana, dengan luas kawasan yang di tangani oleh Polres Berau saat ini sarana yang
dimiliki Polres Berau hanya 3 speed untuk
mengawasi peradaran kayu illegal loging yang ada di Berau.
· Perusahaan
tidak pernah memberikan peta kawasan – juga tidak ada sumber daya di Kepolisian yang dapat
membaca peta sehingga monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan perusahaan
tidak di ketahui.
· Penangkapan
yang dilakukan oleh Polres
Berau dalam operasi ILOG
di dominasi
masyarakat, hal
ini disebabkan keterbatasan sumber daya dalam melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran kehutanan oleh perusahaan.
|
Kejaksanaan Tinggi Kaltim
|
· Banyaknya penebangan yang melibatkan masyarakat yang
tidak mengetahui bahwa yang dilakukan adalah bentuk kejahatan kehutanan
dengan alasan mencari nafkah. (Petani, sopir truk dll)
· Tidak terungkapnya pelaku utama yang ada hanya
masyarakat kecil, sehingga ini menjadi sorotan publik dengan mengatakan pihak
kejaksaan tidak serius memberantas illegal logging padahal berkas yang masuk
dari penyidik (Polisi) memang berkas pelaku kelas kecil seperti masyarakat
tadi dan sopir truk.
· Banyak pelanggaran administrasi saja.
· Kejaksaan belum pernah melimpahkan perkara yang masuk
kategori kelas utama, sebab tidak pernah berkasnya dilimpahkan oleh Polisi
· Belum adanya koordinasi, masing-masing instansi
menjalankan instruksi secara sendiri-sendiri seperti Inpres Nomor 4 tahun
2005, sehingga hasilnya tidak maksimal.
· Tidak jelasnya batas-batas hutan, tidak diketahui
luasan areal suatu perusahaan berapa? Ini tidak jelas jadi kami selaku
penyidik mengalami kesulitan.
· Sampai saat ini pun yang ada kita tidak ketahui
batas-batasnya, yang mana hutan lindung, yang mana produksi dan lain
sebagainya. Koordinasi seperti ini yang kurang sosialisasi dari Dinas
Kehutanan, tidak pernah memberitahukan bahwa si A telah melanggar sebab ia
telah melakukan kejahatan masuk dalam areal hutan lindung misalnya, bagaimana
mau bilang begitu hutan lindung saja batasnya tidak diketahui.
· Adanya petugas khusus yang menangani tindak kejahatan
kehutanan darià Polisi khusus à penyidik
khusus demikian juga hakimnya. Mereka ini perlu dilatih dan dididik khusus
untuk menangani kasus Illog.
· Adanya pasal yang mengatakan “ barang bukti yang digunakan untuk kejahatan dirampas untuk negara ” sementara dalam pembuktian barang bukti yang
digunakan bukan milik tersangka seperti mobil truk yang digunakan mengangkut
hasil kejahatan kehutanan, si tersangka hanya sebagai sopir.
|
Kejaksaan Negeri Berau
|
· Saranan
prasarana yang kurang.
· Dibeberapa
kasus biaya untuk melakukan eksekusi lapangan lebih besar dibandingkan dengan
putusan pengadilan,
· Banyak
kayu illegal loging yang tidak terlelang disebabkan jarak yang tidak
terjangkau, sarana
dan prasarana serta biaya yang tinggi untuk menjangkau lokasi ekseskusi
sehingga negara
tidak mendapat pemaksaan dari tangkapan tersebut.
· Kesulitan
melakukan lelang barang bukti hasil pencurian kayu karena tidak sesuai dengan
harga standar yang ditetapkan oleh Dephut
· Kesulitan
melakukan penegakan hukum ilog karena banyak pihak yang terlibat.
|
Pengadilan Tinggi Kaltim.
|
· Masalah mendasar dalam upaya penegakan hukum illegal
logging adalah pembuktian, dan pelaku illegal logging itu sendiri.
· Pada tingkat banding banyak barang bukti yang tidak
bisa dirampas untuk negara sebab berkaitan dengan kepemilikan barang.
· Pelaku banyak yang tidak mengetahui apa yang ia perbuat
adalah kejahatan Illegal Logging (masyarakat, sopir, dan petani).
· Menangani perkara Illegal Logging membutuhkan
pengetahuan yang lebih.
|
Pengadilan Negeri Berau
|
·
Ada beberapa kasus illegal
loging di putus bebas karena dalam persidangan terbukti perusahaan hanya
melakukan pelanggaran administrasi.
|
Dinas Kehutanan Berau
|
·
Keterbatasan
personil lapangan;
·
Medan yang sulit dijangkau;
·
Keterbatasan
biaya untuk penanganan kasus pencurian kayu.
|
Tim Lapangan
|
· Kesulitan mendapatkan data yang valid dari instansi
yang menangani kasus ini;
· Pasca OHL besar-besaran yang dilakukan di Kaltim, saat
ini pencurian kayu menurun.
· Instansi yang ditemui tim ini cukup hati-hati dalam
memberikan data kepada tim karena tidak ingin tersangkut kasus.
· Banyaknya pihak yang terlibat dalam pencurian kayu di
Kaltim sehingga sulit memberantas kasus ini.
· Pos dan personil perbatasan antara Indonesia-Malaysia
sangat terbatas, hanya ada 40 pos dengan panjang perbatasan lebih 2000 km
atau rata-rata 1 pos per 50 km.
· Pihak kepolisian laut Malaysia mendukung masuknya
kayu-kayu curian dari Indonesia.
· Medan yang berat menyulitkan melakukan penanganan
pencurian kayu di daerah perbatasan.
· Para cukong kayu mempunyai “backing” yang
kuat sehingga sulit ditangkap.
|
LSM
|
· Tidak
adanya monitoring lembaga LSM pada proses penegakkan hukum Illegal Logging
dari tahap penyelidikan hingga tahap putusan di pengadilan
· Terjadinya
konflik antar masyarakat.
|
C.
Apa Yang Harus Dilakukan Di Kalimantan Timur?
Bagian ini
merupakan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
stakeholder kehutanan dan lembaga donor dalam upaya mendukung dan
memperkuat Proses Penegakan Hukum Illegal Logging di Kalimantan Timur yang
tujuannya tidak lain untuk memperbaiki pengelolaan hutan, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasilnya, memperbaiki kesejahteraan
masyarakat miskin dan termarginalisasikan, dan menjaga jasa lingkungan dan
nilai-nilai keanekaragaman hayati.
Dari hasil
identifikasi yang dilakukan maka dapat dipetahkan bahwa permasalahan yang
mendasar dalam proses penegakan hukum illegal logging di Kalimantan Timur
sebagaimana yang diketahui dari hasil wawancara dengan responden kunci dan
data-data yang ada, sebagaimana yang telah disebutkan dia atas dan untuk itu
apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki proses tersebut maka dukungan dari
Pemerintah Pusat, stakeholder kehutanan dan lembaga donor untuk memperbaiki hal
tersebut dapat melakukan:
1.
Penegakan
hukum
·
Bantuan-bantuan yang diberikan dapat mendukung upaya
koordinasi antar-instansi untuk memerangi kriminalitas dibidang kehutanan.
Upaya-upaya ini mencakup penguatan kapasitas, penguatan hukum, dan membangun
preseden melalui penindakan para penjahat kehutanan kelas kakap, termasuk kejahatan
keuangan dan pencucian uang. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum
(Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim) dalam bentuk pelatihan atau kursus mengenai
proses penanganan kasus kejahatan kehutanan beserta metodeloginya. Pengembangan
sistem untuk menegakkan aturan pencucian uang
sangat diperlukan oleh karena itu perlu keterlibatan KPK dalam pemberantasan illegal logging di Kalimantan Timur sebab peristiwa
illegal logging di dalamnya terdapat unsur korupsi yang melibatkan
pejabat-pejabat yang berwenang dalam hal pemberian izin. Selain itu unsur suap
antara pengusaha kayu dengan pejabat yang berwenang kerap menjadi perbincangan
di semua kalangan. Keterlibatan KPK tersebut juga lebih difokuskan pada adanya
unsur kerugian negara pada kasus illegal logging. Penegakkan aturan harus
menjadi prioritas, hal ini dilakukan untuk mengurangi praktik-praktik negatif di sektor kehutanan.
·
Upaya-upaya kelompok masyarakat untuk menggunakan media
dan melakukan investigasi untuk mengungkap korupsi dan kejahatan juga merupakan
kontribusi penting untuk perbaikan Pemerintahan. Diperlukan pula penegakkan
peraturan yang dapat membantu mengurangi dampak negatif penebangan legal,
mengurangi pembukaan lahan dengan cara pembakaran, dan memperbaiki penerimaan
iuran dan pungutan kehutanan. Bersama masyarakat sipil mengawal proses
penanganan kasus illegal logging hingga tahap pengadilan. Dukung upaya LSM untuk menggunakan media dan investigasi
untuk mengekspos korupsi dan kriminalitas dibidang kehutanan.
·
Kembangkan/tegakkan
aturan atau kewajiban sukarela untuk memelihara areal dengan nilai konservasi
yang tinggi.
·
Diperlukan petugas khusus yang memang dibekali dengan
kemampuan yang cukup dan penguasaan metodelogi khusus menangani kasus illegal
logging di Kalimantan Timur, dimiliki oleh setiap instansi penegak hukum
(Polisi khusus demikian juga
hakimnya).
2.
Perundang-undangan
·
Jika dilihat dalam konteks
permasalahan yang ada bahwa yang menjadi masalah adalah lemahnya penegakan
hukum, salah satunya karena dipengaruhi undang-undang maka yang harus dilakukan
ke depan adalah (untuk jangka panjang) perlu didorong adanya revisi undang-undang
kehutanan dan pembentukan undang-undang khusus illegal logging, namun disadari
untuk mencapai hal tersebut terciptanya undang-undang yang ideal dalam
pemberantasan Illegal logging membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk itu yang
segera dilakukan dalam pemberantasan illegal logging tidak hanya menggunakan
instrumen hukum yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang
Kehutanan, tetapi perlu juga menggunakan instrumen hukum lain seperti
undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan undang-undang pencucian uang.
Penggunaan undang-undang tersebut bukan tanpa alasan pelaku ILOG dapat
dijerat UU Korupsi (UU 31/1999 dan 20/2001), khususnya Pasal 2 atau Pasal 3 UU
Korupsi. Dilihat dari unsur aturannya, maka Jaksa harus membuktikan unsur
melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain. Dalam kasus ILOG yang pada UU Kehutanan hanya dijerat
administratif, semua unsur ini terpenuhi. Pertama, unsur melawan hukum sudah
terpenuhi ketika ada izin dilanggar. Konsep ini didasarkan pada teori hukum
unsur melawan hukum formil, yakni disama artikan dengan “melanggar semua
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang lahir atas dasar aturan
tersebut”. Dan, izin adalah bagian dari perundang-undangan. Kedua, kerugian
negara juga terpenuhi. Hutan negara yang belum boleh atau dilarang ditebang
sama artinya dengan aset negara. Karena setiap kayu di hutan mempunyai nilai
ekonomis yang dapat dikonversikan pada nilai uang. Jika pembalak menebang dan
mengambil kayu tersebut, jelas negara dirugikan secara nyata. Dan, Ketiga,
akibat dua hal di atas, si pembalak atau pengusaha akan diuntungkan. Sehingga
unsur sederhana dari pasal 2 dan 3 UU Korupsi telah terpenuhi. Pembalak liar
dapat dihukum sebagai koruptor. Persoalannya, dapatkah Jaksa membaca tafsir
sederhana ini? Punya komitmenkah kejaksaan dan penegak hukum lainnya? (Tulisan
ini disalin dari Koran Jakarta, Kamis, 05 Juni 2008)
·
Diperlukan aturan yang jelas mengenai pembagian kekuasaan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang hal tersebut namun masih
terdapat kekurangan dan ketidak tegasan, selain itu perlu dilihat juga
harmonisasi antara Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan dan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang kadang
aturan yang dimuat oleh kedua undang-undang tersebut saling bertentangan.
3.
Departemen Kehutanan
Banyak kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Departemen
Kehutanan Indonesia, baik itu mengidentifikasi masalah kehutanan maupun apa
yang harus diprioritaskan. Tidak sedikit juga program dan strategi yang coba
diluncurkan oleh Departemen Kehutanan sebagai bentuk perhatian pada sektor
kehutanan yang memang menjadi tanggung jawabnya, namun yang menjadi pertanyaan
adalah sudakah Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten/kota menjalankan instruksi
Departemen Kehutanan lewat rencana
strategisnya dan berbagai program yang telah diluncurkannya?. Perlu adanya
sinergi antara Departemen Kehutanan
(Pemerintah Pusat) dan Dinas Kehutanan (Pemerintah Daerah). Untuk itu apa yang
harus dilakukan di Kalimantan Timur khususnya Dinas Kehutanan Provinsi dan
Kabupaten/Kota dapat meneruskan apa yang menjadi program kerja Departemen
Kehutanan dengan serius dan bersungguh-sungguh hal ini tidak lain tujuannya
untuk kelestarian hutan di Kalimantan Timur, adapun yang dapat dilakukan di
Kalimantan Timur adalah sebagai berikut:
·
Merealisasikan Rencana Strategis Departemen Kehutanan dengan Visi: Menciptakan
pengelolaan hutan yang lestari dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
terutama bagi mereka yang paling banyak mengandalkan hidupnya kepada sumber daya
hutan.
·
Melakukan
identifikasi masalah kehutanan di Kalimantan Timur dan melaksanakan program
penyempurnaan peraturan dan perbaikan pengelolaan hutan, termasuk rehabilitasi
dan reklamasi hutan juga sinkronisasi undang-undang dan peraturan, peningkatan
efektivitas pengelolaan hutan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, peningkatan
keterlibatan masyarakat dalam pembangunan hutan, dan menciptakan aparat
kehutanan yang bersih dan berwibawa.
·
Lemahnya koordinasi
antara instansi dalam hal pemberantasan Illegal Logging di Kalimantan Timur
juga menjadi persoalan tersendiri, untuk itu hal yang dapat dilakukan adalah
mengintensifkan koordinasi antar instansi tentang langkah-langkah, operasi dan
penyelesaian kasus penebangan liar dan melaksanakan operasi di lapangan untuk memerangi
kriminalitas dibidang kehutanan yang didahului dengan adanya informasi tentang
lokasi yang rawan penebangan liar di wilayah Kalimantan Timur.
·
Departemen Kehutanan
menginstruksikan kepada setiap Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
menetapkan, petakan dan buatkan tanda batas yang diiringi
dengan sosialisasi lintas instansi, stakeholder, pengusaha dan masyarakat pada
umumnya untuk memudahkan penegakan hukum dan pengawasan itu sendiri.
·
Satuan Polisi Hutan
Tanggap Cepat yang telah dibentuk dibekali dengan kemampuan yang memadai serta
sarana yang menunjang tugas dan fungsinya tersebut.
·
Dalam hal kejahatan kehutanan
yang di dalamnya terdapat unsur kerugian negara maka dalam proses penegakan
hukum diperlukan keterlibatan PPATK untuk mengungkap
kriminalitas dibidang kehutanan dan Anti-Pencucian Uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) ditugaskan untuk mengumpulkan, menganalisis dan
menyebarluaskan informasi tentang pencucian uang, termasuk pendapatan dari
penebangan liar.
4.
Pemberdayaan
masyarakat
Menurut (Hamongpranoto, Saroso: 2008), peran serta
masyarakat sangat penting dalam penegakan hukum, hal ini bisa terwujud jika
kesadaran masyarakat tinggi. Kesadaran masyarakat sangat dipengaruhi beberapa
faktor yaitu pengetahuan, pemahaman, hidup dan perilaku serta kondisi sosial
lainnya, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kekerabatan
(lingkungan sosial). Peran penegak hukum dengan masyarakat sangat penting dalam
hal penegakan hukum termasuk dalam memerangi Illegal Loging. Bagi
penegak hukum peranannya adalah penerapan sanksi pidana yang tepat dan teknik
penyelidikan yang cukup akurat. Bagi masyarakat perorangan adalah melepaskan
terjadinya praktik ini dan mendapat perlindungan hukum sebagai saksi, sehingga
ada keberanian. Memberikan pemahaman pada masyarakat merupakan langkah yang
tepat, karena masyarakat terutama kelompok lapis bawah merupakan komunitas yang
tahu betul apa yang terjadi dan apa yang diperbuat oleh para pelaku di
lapangan. Masalahnya adalah bagaimana
masyarakat sebagai ”Agent” dalam memerangi Illegal Logging yang
sadar bahwa praktik illegal logging ini merupakan perbuatan yang sangat
merugikan terutama dampak sosialnya. Menyadarkan masyarakat suatu hal yang
penting agar mereka tidak dimanfaatkan oleh para pelaku illegal logging.
Problema yang dihadapi masyarakat seperti masalah kemiskinan merupakan hal yang
dapat mempengaruhi kesadaran masyarakat atau rendahnya pendidikan sehingga
kurangnya memahami akibat dari illegal loging secara umum. Untuk itu
yang dapat dilakukan sebagaimana yang pernah dirilis oleh (Cifor, dll: 2006)
dalam Opsi-opsi Strategis untuk Bantuan Kehutanan di Indonesia, adalah:
·
Kesadaran dan Pendidikan Masyarakat, kesadaran mengenai
lingkungan hidup dan pentingnya konservasi perlu dijelaskan pada masyarakat
sebagaimana yang sedang berkembang pada masyarakat Indonesia yang dimotori oleh
lembaga-lembaga non pemerintah. Pendidikan lingkungan dan program-program
peningkatan kesadaran yang lebih inovatif dapat didukung, termasuk melalui sekolah
dan lembaga-lembaga keagamaan. Banyak contoh dan mitra yang ada untuk mendukung
program ini, namun investasi yang lebih komprehensif dan bersifat jangka
panjang diperlukan untuk mengubah sikap dan praktik-praktik yang ada pada saat
ini.
·
Penyuluhan dan Pelayanan Masyarakat. Lebih dari sekedar
akses terhadap hutan dan lahan, masyarakat dan kaum miskin membutuhkan
keterampilan, kredit, infrastruktur dan pasar. Masyarakat mungkin membutuhkan
bantuan teknis dan penguatan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan mereka
dalam memperoleh keuntungan dari peluang-peluang yang ada dalam memanfaatkan
kawasan hutan. Lembaga-lembaga bantuan yang memberikan pelayanan secara
langsung dapat membantu kelompok masyarakat ini untuk mengerti aturan-aturan
akses, mengembangkan struktur organisasi yang tepat, meningkatkan keterampilan
bisnis dan mengidentifikasi peluang. Pelayanan-pelayanan ini akan menurunkan
biaya transaksi masyarakat untuk dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan pada skala yang lebih kecil dengan
fleksibilitas yang lebih besar.
·
Pembagian Manfaat. Untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memperoleh pembagian keuntungan yang didapat dari sektor
kehutanan komersial, negara-negara donor dapat terus melanjutkan upaya untuk mempromosikan
pengaturan perizinan yang bersifat inovatif, perjanjian penggunaan lahan di
tingkat lokal, usaha kecil, kemitraan dan kebijakan yang lebih berpihak kepada
masyarakat miskin. Terdapat peluang untuk mendukung perubahan peraturan dan
perundang-undangan yang memungkinkan akses yang lebih besar bagi masyarakat dan
kelompok yang termarjinalkan terhadap sumber daya hutan. Terdapat pula
peluang untuk mendukung usaha-usaha berbasis masyarakat, agroforestry, dan mata
pencaharian tradisional.
·
Untuk memperkecil perbedaan antara sumberdaya hutan yang
melimpah dengan penduduk yang miskin, kemajuan-kemajuan dapat dicapai dengan
menyadari bahwa kawasan hutan adalah bagian dari ekonomi pedesaan dan mata
pencaharian penduduk. Kebijakan-kebijakan yang dibuat seyogyanya dapat lebih
memperhatikan kaitan antara mata pencaharian masyarakat, investasi, pasar dan
infrastruktur, ketimbang hanya melihat hutan sebagai sumber bahan baku untuk
industri pengolahan yang berorientasi ekspor.
·
Hutan untuk Masyarakat. Kemajuan-kemajuan dapat diperoleh
dengan mengakui bahwa masyarakat, kelompok adat, pemilik lahan kecil dan kaum
miskin yang kehidupannya bergantung pada hutan merupakan Opsi-opsi Strategis
untuk Bantuan Kehutanan di Indonesia stakeholder yang sah di sektor kehutanan dan
harus memiliki hak, peran, tanggungjawab dan mendapatkan manfaat yang seimbang
dengan pengguna lahan hutan lainnya. Untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi
·
Negara-negara donor dapat mendukung dan mendorong hutan
kemasyarakatan dan usaha kecil dan menengah. Barangkali ini merupakan bagian
dari program Perhutanan Sosial. Hal yang dapat dilakukan meliputi pemberian
insentif, hak-hak yang lebih jelas dan bantuan teknis bagi kelompok-kelompok
masyarakat atau koperasi. Usaha-usaha kecil dan berbasis masyarakat memiliki
kelebihan dalam hal menciptakan lapangan kerja lebih banyak dibandingkan dengan
perusahaan industri besar, yang terkonsentrasi dan bersifat padat modal.
·
Kesepakatan dan Rencana Pemanfaatan Lahan Kolaboratif.
Kegiatan-kegiatan pada kawasan hutan lindung dapat meliputi pengembangan
peraturan dan kemitraan (dalam kerangka kerja desentralisasi) untuk mengelola
kawasan hutan yang lebih luas untuk perlindungan dan produksi jasa lingkungan.
Rencana pemanfaatan yang dikembangkan pada tingkat lokal melalui kerjasama
dengan para pengguna pada umumnya dapat mengidentifikasi dan memungkinkan
kegiatan-kegiatan ekonomi yang sesuai, seperti agroforestry berbasis
masyarakat, pada lahan-lahan tertentu yang tidak terlalu curam atau rentan.
·
Negosiasi dan kesepakatan yang berbasis masyarakat
menciptakan peluang untuk mempertahankan fungsi-fungsi jasa lingkungan, dan
juga memungkinkan berbagai pemanfaatan secara tradisional di daerah aliran
sungai. Pembayaran jasa lingkungan yang didasarkan pada nilai pasokan air atau
penyerapan karbon dapat menawarkan sebagian kompensasi bagi kegiatan
pemeliharaan yang lebih baik di dataran tinggi. Inisiatifinisiatif ini
membutuhkan pengembangan kelembagaan dan dukungan kebijakan baik pada tingkat
nasional maupun regional.
5. Hal lain yang dapat dilakukan
Hal lain yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Lembaga Donor di Kalimantan Timur dalam upaya penegakan hukum illegal logging
dan pelestarian hutan, terdapat peluang untuk memberi bantuan melalui
proses-proses dibawah ini:
·
Perlu dibuka ruang dialog diantara semua kalangan
pemerhati hutan di Kalimantan Timur yang dirasakan cukup penting untuk
mendukung upaya penegakan hukum di sektor kehutanan, mendiskusikan tentang
kerangka hukum yang akan diberlakukan apakah didalamnya terdapat unsur keadilan
atau tidak. Perlu juga untuk mendiskusikan apa yang dapat diperbuat untuk
menyelesaikan persoalan kehutanan di Kalimantan Timur khususnya mengenai
hak-hak yang terdapat pada sektor kehutanan, peraturan, peran, dan
tanggungjawab. Negara-negara donor dapat mensponsori diskusi untuk mencapai
kesepakatan mengenai arah pembangunan sektor kehutanan, untuk kepentingan semua
pengelolaan sumberdaya alam. Organisasi-organisasi baru banyak bermunculan
sebagai mitra yang bermanfaat dalam diskusi ini. Lembaga-lembaga bantuan
pembangunan dapat juga mendukung inisiatif-inisiatif yang sedang berjalan pada
saat ini yang mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia dan
organisasi masyarakat, termasuk inisiatif mengenai transparansi dan kampanye-kampanye
memberantas kriminalitas dibidang kehutanan (Cifor, dll: 2006).
·
Dibutuhkan adanya transparansi bagi seluruh instansi yang
terkait dengan penegakan hukum Illegal Logging, bantuan-bantuan dapat diberikan
pada pihak-pihak yang memegang peranan penting dalam hal informasi, data, dan
pembuat keputusan. Instansi tersebut harus didorong melaksanakan inisiatif
transparansi pada sektor kehutanan dengan kebijakan dan tindakan yang jelas.
Bantuan untuk terciptanya transparansi dapat dilakukan dengan peningkatan
kapasitas dan teknologi bagi pembuatan kebijakan yang dinamis didasarkan atas
informasi yang dapat dipercaya, akurat dan terkini. Diperlukan dukungan pembangunan dan pelaksanaan kebijakan transparan yang
komprehensif, mekanisme keterbukaan yang efektif. Selain itu bantuan juga dapat
diberikan pada instansi yang terkait dalam hal peningkatan prosedur akuntabilitas dan mekanisme untuk perusahaan
kehutanan. Dibutuhkan keterbukaan kepada publik dan mekanisme transparansi yang
efektif sehingga masyarakat umum dan stakeholder yang terkait dapat mengakses
informasi secara efektif.
·
Terdapat kebutuhan yang sangat besar untuk memperkuat
Dinas-dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten agar sejalan dengan Pemerintah
Pusat. Pilihan bantuan dapat dimulai dengan dukungan terhadap pengembangan
institusi untuk memfasilitasi pelaksanaan dan interpretasi peran dan
tanggungjawab Pemerintah Kabupaten dan Provinsi dalam mengelola, melaksanakan,
memberikan izin, dan mengawasi kegiatan-kegiatan kehutanan agar sejalan dengan
perubahan perundang-undangan tahun 2004. Peluang untuk membantu Pemerintah
Daerah harus diperkuat dengan kebutuhan untuk melakukan cara-cara yang
konsisten dan sejalan dengan hukum dan perundang-undangan nasional.
·
Realokasi dapat mendorong investasi dalam bidang sumberdaya
lahan dan hutan, meningkatkan produktifitas dan pendapatan, memperbaiki
kesejahteraan masyarakat pedesaan dan mengurangi kemiskinan, serta mengurangi
konflik dan membangun kemitraan antara
masyarakat dan perusahaan untuk memperluas distribusi manfaat, dan juga
mengupayakan kawasan untuk produksi.
·
Diperlukan tekad bersama dan kuat untuk berantas illegal
logging yang ditunjang dengan harmonisasi kebijakan lintas sektor yang lebih
baik hal ini diperlukan untuk
menghindari adanya kesalahpahaman.
·
Melakukan pengawasan terhadap instansi pemerintah yang
terkait dalam pemberian izin pemanfaatan hutan, hal ini dilakukan agar
pemberian izin pemanfaatan hutan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Pengawasan ini bertujuan untuk memangkas praktik-praktik pemberian izin yang
tidak prosedural atau koruptif dan juga sekaligus sebagai kontrol pada instansi
yang bersangkutan.
Hal ini harus
dipandang sebagai langkah awal untuk turut memperbaiki masalah-masalah
kemiskinan, demokrasi, desentralisasi, investasi, keuangan negara, keadilan,
transparansi dan akuntabilitas. Walaupun reformasi besar besaran di bidang
Pemerintahan dan demokrasi terus menciptakan peluang-peluang baru, harus diakui
bahwa kemajuan-kemajuan yang bersifat praktis masih dapat dicapai di berbagai
bidang. Terdapat pula peluang untuk memberikan bantuan “di luar bidang
kehutanan,” bersama-sama dengan berbagai lembaga Pemerintahan yang dapat
berpengaruh terhadap sektor kehutanan dan juga bersama dengan lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
D.
Penutup
Kegiatan identifikasi dilaksanakan di tiga tempat yang diidentifikasi praktik
illegal logging-nya mempunyai
kecenderungan berskala besar dan mempunyai dampak yang sangat luas, yaitu : Balikpapan, Samarinda dan Berau.
Balikpapan dipilih sebagai tempat identifikasi karena berkaitan dengan tempat
dan kedudukan Polda Kaltim yang berada diwilayah Kota Balikpapan. Sebagaimana
yang diketahui bahwa Polda Kaltim merupakan salah satu lembaga penegak hukum
yang menangani kasus illegal logging di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Kota
Samarinda dipilih sebagai tempat identifikasi kedua karena kedudukannya sebagai
Ibu Kota Provinsi dan juga berkaitan dengan tempat dan kedudukan lembaga penegak hukum yang
menangani kasus illegal logging yaitu Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dan
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, sedangkan pilihan tempat identifikasi
ketiga jatuh pada Kabupaten Berau. Kabupaten Berau menurut data tahun 2008
sebagai salah satu kabupaten yang intensitas illegal loggingnya paling banyak.
Dari hasil
identifikasi yang dilakukan di tiga wilayah yaitu Kota Balikpapan, Kota
Samarinda dan Kabupaten Berau diketahui institusi dan lembaga yang menangani
kasus pencurian kayu atau illegal logging ada Lembaga Penegak Hukum (Polres
Berau; Kejaksaan Negeri Berau; Pengadilan Negeri Berau; Kepolisian Daerah
Kalimantan Timur; Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur; Pengadilan Tinggi
Kalimantan Timur) dan Instansi Pemerintah dan NGO (Dinas Kehutanan
Kabupaten Berau; NGO yang konsen pada isu lingkungan di antaranya Walhi Kaltim,
KBCF, Yayasan Padi dan Perkumpulan Menapak).
Setiap institusi
sudah memiliki perannya masing-masing, misalnya Polda
Kaltim sebagai badan pelaksana utama Polri pada tingkat kewilayahan bertugas
menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum dan pemberian perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat serta tugas-tugas lain dalam daerah hukumnya,
sesuai ketentuan hukum dan peraturan/kebijakan yang berlaku dalam organisasi
Polri. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut di atas, Polda menyelenggarakan
fungsi atau kegiatan pemberian pelayanan kepolisian kepada warga masyarakat
yang membutuhkan, intelejen dalam bidang keamanan, penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana, kesamaptaan kepolisian, lalu lintas kepolisian, kepolisian
perairan, bimbingan masyarakat, pembinaan kemitraan, dan fungsi-fungsi lain
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kejaksaan Republik Indonesia adalah
lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Salah satu Pelaksanaan
kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Kejaksaan Tinggi, yang
berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi.
Dalam hal terjadi tindak pidana
khususnya tindak pidana kejahatan kehutanan maka kejaksaan bertugas dan
berwenang melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dinas Kehutanan
Kabupaten Berau melakukan operasi lapangan yang mencari dan menemukan kayu-kayu
yang tidak memiliki dokumen sah dari dinas kehutanan. Setelah menemukan
kayu/log yang tidak memiliki dokumen yang sah selanjutnya Dishut melaporkan ke
Polres Berau. Polisi dapat menyita kayu dan menangkap oknum yang mencuri kayu
tersebut. Selanjutnya kasus tersebut diproses sesuai dengan mekanisme yang
berlaku dalam pencurian kayu.
Lembaga non
pemerintah seperti LSM yang konsen pada isu pembalakan liar (illegal logging)
melakukan kampanye anti illegal logging dan terus melakukan monitoring pada
proses penegakan hukum, memberikan data-data yang berkaitan dengan pembalakan
liar yang terjadi di suatu daerah dan terus menerus memberi masukan dalam hal
upaya penegakkan hukum illegal logging.
Dari hasil
identifikasi yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang
terjadi dalam hal penegakan illegal logging dapat dibagi ke dalam 3 (tiga)
aspek adalah sebagai berikut:
1. Aspek
penegakan hukum
· Lemahnya penegakan hukum yang dipengaruhi beberapa faktor
antara lain Peraturan/undang-undang yang lemah atau tidak relevan lagi,
kualitas penegak hukum yang tidak memadai lagi baik secara pengetahuan,
keterampilan, maupun mental/moral, sarana prasarana yang sangat terbatas,
keterbatasan personil, kurangnya koordinasi antara sesama penegak hukum,
dakwaan yang lemah bahkan cenderung dilemahkan, hakim yang tidak sensitip
terhadap pentingnya kelestarian hutan dan lingkungan hidup dan budaya yang
masih hidup dimasyarakat serta lingkup masyarakat yang kurang responsif. Hal
tersebut tercermin pada banyaknya mafia kayu beraksi dengan bebas karena
banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya bahkan modus penebangan liar dengan
oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak pidana kehutanan, di
samping juga menjadi “backing”, selain itu Pejabat Pemerintah dan pejabat
penegak hukum, memberikan fasilitas sesuai dengan kewenangannya agar perbuatan
atau praktik Illegal Loging dapat berjalan lancar. Lemahnya penegakan
hukum juga berdampak pada banyaknya aktor atau pelaku tidak menerapkan konsep
Sustainable Forest Management dalam pengelolaan hutan.
· Keterbatasan anggaran untuk melakukan eksekusi dan lokasi
yang tidak terjangkau hal ini menyebabkan banyak kayu hasil sitaan tidak
terlelang, kesulitan melakukan lelang juga karena harga kayu tidak sesuai
dengan harga standar yang ditetapkan oleh Dephut. Sering juga terjadi pada
proses penuntutan hal-hal yang dituduhkan tidak dapat dibuktikan karena
kurangnya barang bukti dan yang terjadi hanya berupa pelanggaran administrasi
saja merupakan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum Illegal Logging.
· Pada umumnya kendala yang dihadapi dalam melaksanakan
kegiatan adalah terlambatnya dukungan anggaran untuk operasi kepolisian,
sehingga kurang mendukung kegiatan operasional secara maksimal. Tidak
lengkapnya sarana prasarana, dengan luas kawasan yang harus diawasi menjadi
preseden buruk bagi penegakan hukum Illegal Logging di Kaltim. Tidak
transparansinya proses pemberian Izin pada perusahaan dengan tidak pernah
memberikan peta kawasan dan batas-batas wilayah yang menjadi hak perusahaan
merupakan kendala tersendiri untuk penegakan hukum. Tidak jelasnya batas-batas
hutan, tidak diketahui luasan areal suatu perusahaan, merupakan kendala
tersendiri dalam melakukan penyidikan, sampai saat ini tidak ada pemberitahuan
dari Dinas Kehutanan mengenai batas-batas wilayah yang mana masuk kategori
hutan lindung, hutan produksi, areal perusahaan dan lain sebagainya sehingga
jika terjadi kejahatan yang dilakukan salah satu pihak misalnya perusahaan
telah merambah hutan lindung kami tidak bisa mengetahuinya sebab batas-batas
tersebut tidak diketahui, hal tersebut terjadi karena kurangnya koordinasi
antara instansi yang terkait. Selain itu keterbatasan sumber daya manusia yang
dimiliki pihak kepolisian seperti tidak adanya personil polisi yang bisa
membaca peta menjadi persoalan tersendiri,
hal ini akan menyulitkan proses monitoring yang dilakukan pada pihak
perusahaan. Keterbatasan kemampuan untuk mengungkap kejahatan kehutanan yang
dilakukan oleh perusahaan adalah persoalan serius yang dihadapi oleh
kepolisian, sehingga tidak heran masyarakat biasa yang mendominasi kejahatan
illegal logging karena ketidak berdayaan aparat kepolisian setempat mengungkap
kasus kejahatan illegal logging yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
· Tidak terungkapnya pelaku utama yang ada hanya masyarakat
kecil, yang tidak mengetahui bahwa yang dilakukan adalah bentuk kejahatan
kehutanan dengan alasan mencari nafkah (Petani, sopir truk dll) sehingga ini
menjadi sorotan publik dengan mengatakan pihak kejaksaan tidak serius
memberantas illegal logging padahal berkas yang masuk dari penyidik (Polisi)
memang berkas pelaku kelas kecil seperti masyarakat tadi dan sopir truk.
· Masalah mendasar dalam upaya penegakan hukum illegal
logging adalah pembuktian, dan pelaku illegal logging itu sendiri. Pada tingkat
banding banyak barang bukti yang tidak bisa dirampas untuk negara sebab berkaitan
dengan kepemilikan barang. Adanya pasal yang mengatakan “barang bukti yang digunakan untuk kejahatan dirampas untuk negara” sementara dalam pembuktian barang bukti yang
digunakan bukan milik tersangka seperti mobil truk yang digunakan mengangkut
hasil kejahatan kehutanan, si tersangka hanya sebagai sopir.
2.
Aspek
perundang-undangan
· Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan yang
masih bermasalah sebab melihat persoalan kehutanan dalam kacamata hukum
administratif, undang-undang bukan melindungi hutan tapi sifatnya mengatur,
pengaturan Pasal 80 ayat (2) yang cenderung membebaskan aktor utama pembalakan
liar karena dijerat dengan sanksi administratif dan denda. Selain Undang-undang
Nomor 41 tahun 1999 permasalahan juga terjadi pada Undang-undang nomor 32 tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
· Permasalahan korupsi yang terus meraja lelah karena
lemahnya undang-undang yang ada serta tidak selektifnya pemberian izin di
sektor kehutanan.
3.
Aspek lain
· Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kasus Illegal
Logging, karena melihat kontribusi sektor kehutanan dan industri turunannya
dapat menopang perekonomian menjadi salah satu faktor pendukung maraknya illegal
logging yang tentunya hal ini sekaligus menjadi masalah tersendiri dalam hal
peneggakan kasus illegal logging. Kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat
yang serba kekurangan dan kesadaran hukum yang rendah dimanfaatkan oleh
pengusaha untuk ikut serta dalam praktik ini serta aparat cenderung menjadi
tidak kondusif terhadap kelestarian hutan dan penegakan hukum yang juga
dipengaruhi ketahanan dan kemandirian masyarakat yang masih rendah dengan
pembodohan yang berdalih pemberdayaan masyarakat. Kontribusi sektor kehutanan
ini juga bukan hanya dilihat oleh masyarakat sebagai penopang perekonomian
tetapi dilihat juga oleh daerah sebagai potensi penyumbang Pendapatan Asli
Daerah melalui perusahaan yang mengantongi Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) yang pada kenyataannya banyak perusahaan melanggar ijin tersebut.
· Rusaknya ekosistem hutan di kawasan perbatasan karena
penjarahan kayu oleh aktor pengusaha kayu Illegal yang menyuruh
masyarakat lokal, memfasilitasi dan memberikan imbalan uang yang memadai untuk
menebang kayu baik di hutan lindung maupun hutan produktif. Rusaknya ekosistem
tersebut juga diperparah dengan industri pengolahan kayu yang menerima dan
mengolah kayu illegal yang kemudian dipasok pada pasar kayu bantalan atau
olahan di Tawau dengan tawaran harga sangat tinggi sekitar dua kali lipat
dibanding harga lokal di Nunukan dan Tarakan akibatnya Pemerintah Pusat dan
Daerah tidak memperoleh pendapatan memadai dari adanya aktivitas perdagangan
kayu yang sangat potensial ini.
· Pihak kepolisian laut Malaysia mendukung masuknya
kayu-kayu curian dari Indonesia.
· Tidak adanya monitoring lembaga LSM pada proses penegakan
hukum Illegal Logging dari tahap penyelidikan hingga tahap putusan di
pengadilan
· Terjadinya
konflik antar masyarakat.
B. Rekomendasi
Bagian
dari rekomendasi ini sebagaimana yang diketahui dari permasalahan-permasalahan
serta hambatan dalam hal pemberantasan illegal logging di Kalimantan Timur.
Untuk itu rekomendasi yang disampaikan tidak lepas dari permasalahan yang
dihadapi. Secara keseluruhan rekomendasi yang ingin disampaikan telah tertuang
pada bagian ”Apa yang harus dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur”.
Demikian
hasil laporan identifikasi ini kami sampaikan, mudah-mudahan apa yang tertuang
pada edisi laporan kali ini dapat sedikit memberikan gambaran instansi dan
lembaga-lembaga non pemerintah yang konsen dan bersungguh-sungguh dalam
mengupayakan penegakkan hukum illegal logging di Kalimantan Timur serta hal-hal
apa saja yang menjadi permasalahan dan hambatan dalam pemberantasan illegal
logging di Kalimantan Timur, laporan ini
dapat terselesaikan atas dukungan para narasumber yang bersedia kami wawancarai
dan mengungkapkan serta memberikan informasi berupa data-data dalam hal
penegakkan hukum illegal logging di Kalimantan Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar