Selasa, 10 September 2019


PERMASALAHAN PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN KEHUTANAN (ILLEGAL LOGGINGDI KALIMANTAN TIMUR.

Oleh:
F A D L I

Tulisan ini merupakan tulisan lama yang pernah di publis sekitar tahun 2008.  
Merupakan hasil penelitian singkat dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung pada proses penegakkan hukum illegal logging ketika itu di Provinsi Kalimantan Timur. Tulisan ini tentunya membutuhkan penyesuaian-penyesuain kekinian, mengingat masa penulisan sudah cukup lama sekitar tahun 2008.

A.    Latar Belakang.
Pada kurun waktu antara 1998-2004, perjalanan pengelolaan hutan mendapat sorotan tajam dari dalam maupun luar negeri. Pada kurun waktu terseebut, telah terjadi ledakan pengrusakan hutan akibat praktik eksploitasi yang tidak terkendali. Hal ini ditandai dengan muncul dan maraknya praktik eksploitasi hutan oleh pelaku-pelaku baru yang tidak memiliki izin atau memanipulasi izin pemanfaatan. 
Memasuki fase 2006-Sampai saat ini, praktik illegal logging memainkan modus baru dengan cara mengurus izin perkebunan kelapa sawit. Modus ini menjadi sorotan utama dan menjadi perbincangan hangat, hal ini tidak lain karena illegal logging telah dipandang sebagai sebuah aktivitas mafia yang seolah tak pernah tersentuh hukum. Kejahatan illegal logging itu sendiri telah berhasil menciptakan suatu karya terbesar dalam kerusakan hutan di Indonesia dengan berbagai modus yang digunakan. Bahkan ada yang beranggapan bahwa kejahatan illegal logging dapat disejajarkan dengan korupsi maupun sekelas terorisme sekalipun.

Proses hukum terhadap pelaku illegal logging yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai saat ini belum maksimal. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan belum menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik illegal logging di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya putusan bebas bagi terdakwa illegal logging dan putusan yang sangat ringan bagi terdakwa illegal logging di sejumlah daerah di Indonesia. Persoalan ini menimbulkan sinyalemen yang kuat bahwa Aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan tidak serius dalam memproses hukum pelaku illegal logging di Indonesia.
Di luar permasalahan perilaku korup oknum aparat penegak hukum yang menangani perkara, bebasnya para terdakwa atau tidak tersentuhnya pelaku illegal logging kelas kakap juga dipengaruhi lemahnya perundangan. Undang-undang Kehutanan mempunyai banyak permasalahan dan tidak menjangkau. Kejahatan illegal logging makin canggih atau terorganisir dan terkait dengan kejahatan lain seperti pencucian uang dan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, proses penegakan hukum dalam penanganan kasus illegal logging perlu diperluas dan diintegrasikan dengan menggunakan aspek lain dalam peraturan perundangan yang ada, yakni UU Lingkungan Hidup, UU Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang.
Untuk mendukung proses penanganan hukum yang terpadu tersebut, maka dilakukan identifikasi ke lembaga penegak hukum, instansi pemerintah yang terkait dengan sektor kehutanan dan lembaga non pemerintah yang konsen terhadap isu penegakan hukum illegal logging, untuk mengetahui apa yang menjadi masalah dan hambatan dalam proses tersebut serta apa yang bisa dilakukan untuk mendukung proses-proses tersebut. 
B.     Permasalahan Dalam Penegakan Hukum
Dari hasil identifikasi yang dilakukan di Kalimantan Timur yang dilakukan di tiga tempat Balikpapan, Samarinda dan Berau khususnya pada Instansi Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (POLDA KALTIM), Kejaksan Tinggi Kalimantan Timur, Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Polres Berau, Kejaksaan Negeri Berau, Pengadilan Negeri Berau, Dinas Kehutanan Kabupaten Berau dan NGO yang ada di Kalimantan Timur. Dapat dikumpulkan mengenai informasi yang menjadi masalah dalam proses penegakan hukum illegal logging yang sekaligus menjadi hambatan dalam penegakan hukumnya, informasi tersebut diperoleh dari hasil wawancara pada responden yang memiliki data-data pada kasus penanganan illegal logging. 
1.      Masalah secara umum
Secara umum kendala dalam penegakan hukum illegal logging (penebangan dan penyeludupan kayu), adalah banyaknya instansi dalam mata rantai pemberantasan illegal logging yang berjumlah 18 instansi. Selain itu, penegakan hukum masih lemah sehingga mafia kayu beraksi dengan bebas. Bahkan modus penebangan liar dengan oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak pidana kehutanan, di samping juga menjadi “backing”. Kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta aparat cenderung menjadi tidak kondusif terhadap kelestarian hutan dan penegakkan hukum. Ketahanan dan kemandirian masyarakat yang masih rendah dengan pembodohan yang berdalih pemberdayaan masyarakat. Masih terdapat industri pengolahan kayu yang menerima dan mengolah kayu illegal.
Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kasus illegal logging, karena melihat kontribusi sektor kehutanan dan industri turunannya dapat menopang perekonomian menjadi salah satu faktor pendukung maraknya illegal logging yang tentunya hal ini sekaligus menjadi masalah tersendiri dalam hal penegakkan kasus illegal logging. Kontribusi sektor kehutanan ini juga bukan hanya dilihat oleh masyarakat sebagai penopang perekonomian tetapi dilihat juga oleh daerah sebagai potensi penyumbang Pendapatan Asli Daerah melalui perusahaan yang mengantongi Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang pada kenyataannya banyak perusahaan melanggar ijin tersebut.
2.      Masalah menurut para pihak
Menurut (Hamongpranoto, Saroso: 2008), Dalam seminar sehari di bidang kehutanan bahwa permasalahan penegakan hukum illegal loging terletak pada tiga aktor yang saling terkait dan merupakan ”Team Work” yang cukup handal dalam praktik Illegal Loging, yaitu Pejabat Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat. Masing-masing dari ketiga ”Oknum” tersebut mempunyai kepentingan yang sama yaitu adanya ”keuntungan” yang dapat memberikan ”kesejahteraan bagi kehidupan pribadi dan keluarganya”. Keterkaitan ketiga “Aktor” tersebut makin terlihat ketika kasus illegal logging makin banyak terungkap, tentunya dengan fungsi dan perannya masing-masing yaitu:
  • Pejabat Pemerintah dan pejabat penegak hukum, memberikan fasilitas sesuai dengan kewenangannya agar perbuatan atau praktik Illegal Loging dapat berjalan lancar.
  • Pengusaha sebagai pelaku utama meminta fasilitas dengan memberikan imbalan uang yang memadai.
  • Masyarakat yang serba kekurangan dan kesadaran hukum yang rendah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk ikut serta dalam praktik ini.
Keterkaitan tersebut makin terlihat jelas sebagaimana yang terungkap dari hasil penelitian tim LIPI pada tahun 2005 kerap terjadi usaha pencurian kayu termasuk Illegal Loging oleh Pengusaha di daerah perbatasan, alasannya adalah:
  • Harga bersaing untuk pasar kayu bantalan atau olahan di Tawau sangat tinggi sekitar dua kali lipat dibanding harga lokal di Nunukan dan Tarakan.
  • Pengawasan oleh aparatur pemerintah sangat lemah dan dapat dinegosiasi dengan damai sehingga pengapalan kayu ke Tawau relatif terjamin.
  • Pemerintah Pusat dan Daerah Nunukan tidak memperoleh pendapatan memadai dari adanya aktivitas perdagangan kayu yang sangat potensial ini.
  • Rusaknya ekosistem hutan di kawasan perbatasan karena penjarahan kayu oleh aktor pengusaha kayu Illegal yang menyuruh masyarakat lokal untuk menebang kayu baik di hutan lindung maupun hutan produktif.
  • Para pelaku atau aktor lain banyak yang tidak menerapkan konsep Sustainable Forest Management dalam pengelolaan hutan karena lemahnya penegakan hukum di lapangan.
APHI melihat kesenjangan suplai dan tersedianya bahan baku industri serta lemahnya penegakkan hukum ditambah lagi kepintaran cukong kayu memanfaatkan masyarakat miskin jadi penyebab praktik ini terjadi, sehingga perlu tekad bersama untuk memberantasnya. 
3.      Masalah dalam konteks perundangan
Selain itu yang menjadi masalah adalah lemahnya penegakan hukum yang dipengaruhi beberapa faktor antara lain peraturan/undang-undang yang lemah atau tidak relevan lagi, kualitas penegak hukum yang tidak memadai lagi baik secara pengetahuan, keterampilan, maupun mental/moral, sarana/prasarana yang sangat terbatas, budaya yang masih hidup dimasyarakat serta lingkup masyarakat yang kurang responsif.
Dari konteks undang-undang, masalah tersebut dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sejatinya undang-undang tersebut digunakan sebagai instrumen dalam penegakan hukum illegal logging dengan mengacu pada Pasal 78. Penerapan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disisi lain menimbulkan masalah hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 80 ayat (2) menyatakan: 
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif. 
Karena banyak perbuatan yang tidak diatur dalam ketentuan pidana Pasal 78, maka para pembalak liar sering kali menggunakan celah ini, atau sengaja melakukan pelanggaran yang termasuk dalam kategori pelanggaran administratif.  Misalnya saja, dalam Pasal 78, pelaku penebangan hutan tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda. Tapi bagaimana bila pemegang izin melakukan penebangan hutan dengan sengaja di luar RKT, melakukan penebangan tidak dengan sistem tebang pilih atau menebang tapi tidak menanam kembali. Dalam praktik, hal tersebut banyak dilakukan dan menjadi modus pembalakan liar.
Permasalahan lain terlihat juga pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, permasalahan vertikal mengenai kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat menjadi masalah tersendiri. Selain itu pertentangan yang terjadi antara Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, juga menjadi masalah yaitu menyangkut pemberian izin oleh kepala daerah pada sektor kehutanan sementara di satu sisi menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa proses pemberian izin yang dilakukan oleh kepala daerah untuk mengeluarkan kayu-kayu dari hutan bertentangan dengan undang-undang yang telah ada yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun1999 tentang Kehutanan, yang selama ini dijadikan landasan dalam proses penegakan hukum di sektor kehutanan.
Disisi penegakan hukum, hingga saat ini selalu terjadi saling lempar kewenangan dalam penanganan illegal logging. Kepolisian dan Kejaksaan yang harusnya menjadi aktor utama penegakan hukum pun telah patah arang, sehingga membutuhkan bantuan dari instansi teknis kehutanan. Sementara instansi teknis kehutanan selalu menyatakan bahwa kewenangan penegakan hukum hanya ada di Kepolisian dan Kejaksaan. Lalu siapa yang sebenarnya berhak untuk melakukan penegakan hukum? Haruskah hukum rimba yang berlaku? (Fadli, Ade: 2004).
4.      Masalah korupsi yang mengakar.
Korupsi merupakan sebuah akar dari keseluruhan permasalahan negeri. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi aktual kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima? upeti? dari penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan hutan.
Korupsi yang telah diterima sebagai sebuah budaya di berbagai tingkat masyarakat akhirnya telah menutup kepentingan kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan hutan saat ini. Hal ini juga diperparah dengan tidak terjadinya penegakan hukum di sektor kehutanan yang membuat sebagian besar masyarakat menjadi antipati terhadap sebuah slogan pelestarian hutan. Kayu tak sebesar pil ekstasi, namun penegakan hukum terhadap pelaku pencurian kayu lebih sulit dibandingkan penegakan hukum bagi pelaku narkoba. Demikian pula bila melihat dampak yang terjadi akibat pencurian kayu yang dapat menyebabkan kerugian bagi komunitas masyarakat dalam jumlah besar, dibandingkan dengan pengguna dan pengedar narkoba yang hanya merugikan pihak pengguna dan pengedar saja. Pencuri kayu dapat menghadirkan kerusakan hutan yang berpotensi menjadikan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. (Fadli, Ade: 2004) 
5.      Masalah menurut aparat penegak hukum Kaltim
Hasil wawancara dengan responden penegak hukum terungkap bahwa yang menjadi masalah dalam penegakan hukum illegal logging adalah proses penuntutan menyangkut barang bukti, selama ini barang bukti yang digunakan untuk kejahatan kehutanan seperti truk bukan milik pelaku atau terdakwa dalam kasus illegal logging sehingga barang bukti tersebut sulit dirampas untuk negara sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Berbeda halnya dengan barang bukti berupa kayu hasil curian, hasil kejahatan ini bisa saja langsung dirampas untuk negara. (Sumber: Tengku Othmansyah. Bagian Pidana umum Kejati Kal-Tim).
Keterangan yang diambil dari (Farid) Polres Berau, mengungkapkan bahwa yang menjadi masalah dalam penegakan hukum illegal logging di Berau karena keterbatasan sarana dan prasarana. Polres Berau dalam penanganan kasus illegal logging wilayah cakupannya sangat luas khususnya mengawasi penyeludupan yang menempuh jalur laut, sementara Polres Berau dalam proses pengawasan wilayah Berau hanya dibekali 3 (tiga) buah speed boat. 
Selain hal tersebut di atas persoalan mendasar yang menjadi masalah bagi Polres Berau dalam hal melakukan penyelidikan dan penyidikan apabila ada perusahaan yang terindikasi melakukan penebangan di luar areal izin yang telah dimilikinya, karena ketiadaan peta kawasan perusahaan tersebut, perusahaan tidak pernah memberikan peta kawasan tersebut pada pihak Polres Berau. Hal ini menyebabkan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan menjadi terkendala. Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan khususnya menyangkut perusahaan dan areal tebang, menjadi persoalan tersendiri bagi Polres Berau. Keterbatasan personil Polres Berau dan juga kemampuan membaca peta sehingga monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan perusahaan tidak diketahui menjadi penghambat dalam pemberantasan illegal logging. Penangkapan yang dilakukan oleh Polres Berau dalam operasi illegal logging di dominasi masyarakat, hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran kehutanan oleh perusahaan. 
Menurut kejaksaan Negeri Berau (Widji Susilo, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum). Pemberantasan Illeggal Logging terbentur pada persoalan lapangan dan teknis, kurangnya sarana dan prasarana menjadi persoalan tersendiri bagi Kejaksaan Negeri Berau, di beberapa kasus yang ditangani pihak Kejaksaan Negeri Berau masalah tersebut datang dari anggaran, biaya untuk melakukan eksekusi lapangan lebih besar dibandingkan dengan putusan pengadilan, banyak kayu illegal loging yang tidak terlelang karena jarak yang tidak terjangkau dan minimnya dukungan sarana dan prasarana serta biaya yang tinggi untuk menjangkau lokasi eksekusi, akibatnya negara dirugikan dan tidak terpenuhinya kehendak dalam upaya pemberantasan kejahatan Illegal Logging. Sedangkan Pengadilan Negeri Tarakan (Andre Purwanto/Humas Pengadilan Negri Berau) mengatakan yang menjadi masalah dalam penegakan hukum Illegal Logging adalah putusan bebas terhadap perusahaan yang melakukan kegiatan Illegal Logging, putusan bebas tersebut karena didasari pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan tindak pidana kejahatan kehutanan, yang terbukti bahwa perusahaan tersebut hanya melakukan pelanggaran administrasi. 
Tim mengumpulkan cukup banyak informasi mengenai kendala dalam penanganan kasus illegal loggin di Kaltim yang diperoleh dari hasil wawancara responden kunci dalam penanganan kasus ini. Hambatan-hambatan tersebut dilihat pada matriks di bawah ini.
Matrik
Hambatan-hambatan dalam penangan kasus pencurian kayu di Kaltim
Instansi
Hambatan yang dihadapi
Polda Kaltim
· Pada umumnya kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kegiatan adalah terlambatnya dukungan anggaran untuk operasi Kepolisian, sehingga kurang mendukung kegiatan operasional secara maksimal.
Polres Berau
·       Tidak lengkapnya sarana prasarana, dengan luas kawasan yang di tangani oleh Polres Berau saat ini sarana yang dimiliki Polres Berau hanya 3 speed untuk mengawasi peradaran kayu illegal loging yang ada di Berau.
·     Perusahaan tidak pernah memberikan peta kawasan – juga tidak ada sumber daya di Kepolisian yang dapat membaca peta sehingga monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan perusahaan tidak di ketahui.
·      Penangkapan yang dilakukan oleh Polres Berau dalam operasi ILOG di dominasi masyarakat, hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran kehutanan oleh perusahaan.
Kejaksanaan Tinggi Kaltim
·     Banyaknya penebangan yang melibatkan masyarakat yang tidak mengetahui bahwa yang dilakukan adalah bentuk kejahatan kehutanan dengan alasan mencari nafkah. (Petani, sopir truk dll)
·    Tidak terungkapnya pelaku utama yang ada hanya masyarakat kecil, sehingga ini menjadi sorotan publik dengan mengatakan pihak kejaksaan tidak serius memberantas illegal logging padahal berkas yang masuk dari penyidik (Polisi) memang berkas pelaku kelas kecil seperti masyarakat tadi dan sopir truk.
·         Banyak pelanggaran administrasi saja.
·   Kejaksaan belum pernah melimpahkan perkara yang masuk kategori kelas utama, sebab tidak pernah berkasnya dilimpahkan oleh Polisi
·   Belum adanya koordinasi, masing-masing instansi menjalankan instruksi secara sendiri-sendiri seperti Inpres Nomor 4 tahun 2005, sehingga hasilnya tidak maksimal.
·        Tidak jelasnya batas-batas hutan, tidak diketahui luasan areal suatu perusahaan berapa? Ini tidak jelas jadi kami selaku penyidik mengalami kesulitan.
·      Sampai saat ini pun yang ada kita tidak ketahui batas-batasnya, yang mana hutan lindung, yang mana produksi dan lain sebagainya. Koordinasi seperti ini yang kurang sosialisasi dari Dinas Kehutanan, tidak pernah memberitahukan bahwa si A telah melanggar sebab ia telah melakukan kejahatan masuk dalam areal hutan lindung misalnya, bagaimana mau bilang begitu hutan lindung saja batasnya tidak diketahui.
·      Adanya petugas khusus yang menangani tindak kejahatan kehutanan darià Polisi khusus à penyidik khusus demikian juga hakimnya. Mereka ini perlu dilatih dan dididik khusus untuk menangani kasus Illog.
·    Adanya pasal yang mengatakan “ barang bukti yang digunakan untuk kejahatan dirampas untuk negara ”  sementara dalam pembuktian barang bukti yang digunakan bukan milik tersangka seperti mobil truk yang digunakan mengangkut hasil kejahatan kehutanan, si tersangka hanya sebagai sopir.
Kejaksaan Negeri Berau
·          Saranan prasarana yang kurang.
·   Dibeberapa kasus biaya untuk melakukan eksekusi lapangan lebih besar dibandingkan dengan putusan pengadilan,
·    Banyak kayu illegal loging yang tidak terlelang disebabkan jarak yang tidak terjangkau, sarana dan prasarana serta biaya yang tinggi untuk menjangkau lokasi ekseskusi sehingga negara tidak mendapat pemaksaan dari tangkapan tersebut.
·         Kesulitan melakukan lelang barang bukti hasil pencurian kayu karena tidak sesuai dengan harga standar yang ditetapkan oleh Dephut
·    Kesulitan melakukan penegakan hukum ilog karena banyak pihak yang terlibat.
Pengadilan Tinggi Kaltim.
·      Masalah mendasar dalam upaya penegakan hukum illegal logging adalah pembuktian, dan pelaku illegal logging itu sendiri.
·      Pada tingkat banding banyak barang bukti yang tidak bisa dirampas untuk negara sebab berkaitan dengan kepemilikan barang.
·     Pelaku banyak yang tidak mengetahui apa yang ia perbuat adalah kejahatan Illegal Logging (masyarakat, sopir, dan petani).
·   Menangani perkara Illegal Logging membutuhkan pengetahuan yang lebih.
Pengadilan Negeri Berau
·           Ada beberapa kasus illegal loging di putus bebas karena dalam persidangan terbukti perusahaan hanya melakukan pelanggaran administrasi.
Dinas Kehutanan Berau
·           Keterbatasan personil lapangan;
·           Medan yang sulit dijangkau;
·           Keterbatasan biaya untuk penanganan kasus pencurian kayu.
Tim Lapangan
·      Kesulitan mendapatkan data yang valid dari instansi yang menangani kasus ini;
·        Pasca OHL besar-besaran yang dilakukan di Kaltim, saat ini pencurian kayu menurun.
·    Instansi yang ditemui tim ini cukup hati-hati dalam memberikan data kepada tim karena tidak ingin tersangkut kasus.
·       Banyaknya pihak yang terlibat dalam pencurian kayu di Kaltim sehingga sulit memberantas kasus ini.
·     Pos dan personil perbatasan antara Indonesia-Malaysia sangat terbatas, hanya ada 40 pos dengan panjang perbatasan lebih 2000 km atau rata-rata 1 pos per 50 km.
·     Pihak kepolisian laut Malaysia mendukung masuknya kayu-kayu curian dari Indonesia.
·       Medan yang berat menyulitkan melakukan penanganan pencurian kayu di daerah perbatasan.
·    Para cukong kayu mempunyai backing yang kuat sehingga sulit ditangkap.
LSM
·    Tidak adanya monitoring lembaga LSM pada proses penegakkan hukum Illegal Logging dari tahap penyelidikan hingga tahap putusan di pengadilan
·         Terjadinya konflik antar masyarakat.

C.    Apa Yang Harus Dilakukan Di Kalimantan Timur?
Bagian ini merupakan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, stakeholder kehutanan dan lembaga donor dalam upaya mendukung dan memperkuat Proses Penegakan Hukum Illegal Logging di Kalimantan Timur yang tujuannya tidak lain untuk memperbaiki pengelolaan hutan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasilnya, memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin dan termarginalisasikan, dan menjaga jasa lingkungan dan nilai-nilai keanekaragaman hayati.
Dari hasil identifikasi yang dilakukan maka dapat dipetahkan bahwa permasalahan yang mendasar dalam proses penegakan hukum illegal logging di Kalimantan Timur sebagaimana yang diketahui dari hasil wawancara dengan responden kunci dan data-data yang ada, sebagaimana yang telah disebutkan dia atas dan untuk itu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki proses tersebut maka dukungan dari Pemerintah Pusat, stakeholder kehutanan dan lembaga donor untuk memperbaiki hal tersebut  dapat melakukan:
1.      Penegakan hukum
·         Bantuan-bantuan yang diberikan dapat mendukung upaya koordinasi antar-instansi untuk memerangi kriminalitas dibidang kehutanan. Upaya-upaya ini mencakup penguatan kapasitas, penguatan hukum, dan membangun preseden melalui penindakan para penjahat kehutanan kelas kakap, termasuk kejahatan keuangan dan pencucian uang. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim) dalam bentuk pelatihan atau kursus mengenai proses penanganan kasus kejahatan kehutanan beserta metodeloginya. Pengembangan sistem untuk menegakkan aturan pencucian uang sangat diperlukan oleh karena itu perlu keterlibatan KPK dalam pemberantasan illegal logging di Kalimantan Timur sebab peristiwa illegal logging di dalamnya terdapat unsur korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat yang berwenang dalam hal pemberian izin. Selain itu unsur suap antara pengusaha kayu dengan pejabat yang berwenang kerap menjadi perbincangan di semua kalangan. Keterlibatan KPK tersebut juga lebih difokuskan pada adanya unsur kerugian negara pada kasus illegal logging. Penegakkan aturan harus menjadi prioritas, hal ini dilakukan untuk mengurangi praktik-praktik negatif di sektor kehutanan. 
·         Upaya-upaya kelompok masyarakat untuk menggunakan media dan melakukan investigasi untuk mengungkap korupsi dan kejahatan juga merupakan kontribusi penting untuk perbaikan Pemerintahan. Diperlukan pula penegakkan peraturan yang dapat membantu mengurangi dampak negatif penebangan legal, mengurangi pembukaan lahan dengan cara pembakaran, dan memperbaiki penerimaan iuran dan pungutan kehutanan. Bersama masyarakat sipil mengawal proses penanganan kasus illegal logging hingga tahap pengadilan. Dukung upaya LSM untuk menggunakan media dan investigasi untuk mengekspos korupsi dan kriminalitas dibidang kehutanan. 
·         Kembangkan/tegakkan aturan atau kewajiban sukarela untuk memelihara areal dengan nilai konservasi yang tinggi.
·         Diperlukan petugas khusus yang memang dibekali dengan kemampuan yang cukup dan penguasaan metodelogi khusus menangani kasus illegal logging di Kalimantan Timur, dimiliki oleh setiap instansi penegak hukum (Polisi khusus demikian juga hakimnya).
2.      Perundang-undangan
·         Jika dilihat dalam konteks permasalahan yang ada bahwa yang menjadi masalah adalah lemahnya penegakan hukum, salah satunya karena dipengaruhi undang-undang maka yang harus dilakukan ke depan adalah (untuk jangka panjang) perlu didorong adanya revisi undang-undang kehutanan dan pembentukan undang-undang khusus illegal logging, namun disadari untuk mencapai hal tersebut terciptanya undang-undang yang ideal dalam pemberantasan Illegal logging membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk itu yang segera dilakukan dalam pemberantasan illegal logging tidak hanya menggunakan instrumen hukum yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, tetapi perlu juga menggunakan instrumen hukum lain seperti undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan undang-undang pencucian uang. Penggunaan undang-undang tersebut bukan tanpa alasan pelaku ILOG dapat dijerat UU Korupsi (UU 31/1999 dan 20/2001), khususnya Pasal 2 atau Pasal 3 UU Korupsi. Dilihat dari unsur aturannya, maka Jaksa harus membuktikan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dalam kasus ILOG yang pada UU Kehutanan hanya dijerat administratif, semua unsur ini terpenuhi. Pertama, unsur melawan hukum sudah terpenuhi ketika ada izin dilanggar. Konsep ini didasarkan pada teori hukum unsur melawan hukum formil, yakni disama artikan dengan “melanggar semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang lahir atas dasar aturan tersebut”. Dan, izin adalah bagian dari perundang-undangan. Kedua, kerugian negara juga terpenuhi. Hutan negara yang belum boleh atau dilarang ditebang sama artinya dengan aset negara. Karena setiap kayu di hutan mempunyai nilai ekonomis yang dapat dikonversikan pada nilai uang. Jika pembalak menebang dan mengambil kayu tersebut, jelas negara dirugikan secara nyata. Dan, Ketiga, akibat dua hal di atas, si pembalak atau pengusaha akan diuntungkan. Sehingga unsur sederhana dari pasal 2 dan 3 UU Korupsi telah terpenuhi. Pembalak liar dapat dihukum sebagai koruptor. Persoalannya, dapatkah Jaksa membaca tafsir sederhana ini? Punya komitmenkah kejaksaan dan penegak hukum lainnya? (Tulisan ini disalin dari Koran Jakarta, Kamis, 05 Juni 2008)
·         Diperlukan aturan yang jelas mengenai pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang hal tersebut namun masih terdapat kekurangan dan ketidak tegasan, selain itu perlu dilihat juga harmonisasi antara Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang kadang aturan yang dimuat oleh kedua undang-undang tersebut saling bertentangan. 
3.      Departemen Kehutanan
Banyak kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan Indonesia, baik itu mengidentifikasi masalah kehutanan maupun apa yang harus diprioritaskan. Tidak sedikit juga program dan strategi yang coba diluncurkan oleh Departemen Kehutanan sebagai bentuk perhatian pada sektor kehutanan yang memang menjadi tanggung jawabnya, namun yang menjadi pertanyaan adalah sudakah Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten/kota menjalankan instruksi Departemen Kehutanan lewat  rencana strategisnya dan berbagai program yang telah diluncurkannya?. Perlu adanya sinergi antara Departemen  Kehutanan (Pemerintah Pusat) dan Dinas Kehutanan (Pemerintah Daerah). Untuk itu apa yang harus dilakukan di Kalimantan Timur khususnya Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat meneruskan apa yang menjadi program kerja Departemen Kehutanan dengan serius dan bersungguh-sungguh hal ini tidak lain tujuannya untuk kelestarian hutan di Kalimantan Timur, adapun yang dapat dilakukan di Kalimantan Timur adalah sebagai berikut:
·           Merealisasikan Rencana Strategis Departemen Kehutanan dengan Visi: Menciptakan pengelolaan hutan yang lestari dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi mereka yang paling banyak mengandalkan hidupnya kepada sumber daya hutan.
·           Melakukan identifikasi masalah kehutanan di Kalimantan Timur dan melaksanakan program penyempurnaan peraturan dan perbaikan pengelolaan hutan, termasuk rehabilitasi dan reklamasi hutan juga sinkronisasi undang-undang dan peraturan, peningkatan efektivitas pengelolaan hutan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan hutan, dan menciptakan aparat kehutanan yang bersih dan berwibawa.
·           Lemahnya koordinasi antara instansi dalam hal pemberantasan Illegal Logging di Kalimantan Timur juga menjadi persoalan tersendiri, untuk itu hal yang dapat dilakukan adalah mengintensifkan koordinasi antar instansi tentang langkah-langkah, operasi dan penyelesaian kasus penebangan liar dan melaksanakan operasi di lapangan untuk memerangi kriminalitas dibidang kehutanan yang didahului dengan adanya informasi tentang lokasi yang rawan penebangan liar di wilayah Kalimantan Timur.
·           Departemen Kehutanan menginstruksikan kepada setiap Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menetapkan, petakan dan buatkan tanda batas yang diiringi dengan sosialisasi lintas instansi, stakeholder, pengusaha dan masyarakat pada umumnya untuk memudahkan penegakan hukum dan pengawasan itu sendiri.
·           Satuan Polisi Hutan Tanggap Cepat yang telah dibentuk dibekali dengan kemampuan yang memadai serta sarana yang menunjang tugas dan fungsinya tersebut. 
·           Dalam hal kejahatan kehutanan yang di dalamnya terdapat unsur kerugian negara maka dalam proses penegakan hukum diperlukan keterlibatan PPATK untuk mengungkap kriminalitas dibidang kehutanan dan Anti-Pencucian Uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ditugaskan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyebarluaskan informasi tentang pencucian uang, termasuk pendapatan dari penebangan liar. 
4.      Pemberdayaan masyarakat
Menurut (Hamongpranoto, Saroso: 2008), peran serta masyarakat sangat penting dalam penegakan hukum, hal ini bisa terwujud jika kesadaran masyarakat tinggi. Kesadaran masyarakat sangat dipengaruhi beberapa faktor yaitu pengetahuan, pemahaman, hidup dan perilaku serta kondisi sosial lainnya, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kekerabatan (lingkungan sosial). Peran penegak hukum dengan masyarakat sangat penting dalam hal penegakan hukum termasuk dalam memerangi Illegal Loging. Bagi penegak hukum peranannya adalah penerapan sanksi pidana yang tepat dan teknik penyelidikan yang cukup akurat. Bagi masyarakat perorangan adalah melepaskan terjadinya praktik ini dan mendapat perlindungan hukum sebagai saksi, sehingga ada keberanian. Memberikan pemahaman pada masyarakat merupakan langkah yang tepat, karena masyarakat terutama kelompok lapis bawah merupakan komunitas yang tahu betul apa yang terjadi dan apa yang diperbuat oleh para pelaku di lapangan.  Masalahnya adalah bagaimana masyarakat sebagai ”Agent” dalam memerangi Illegal Logging yang sadar bahwa praktik illegal logging ini merupakan perbuatan yang sangat merugikan terutama dampak sosialnya. Menyadarkan masyarakat suatu hal yang penting agar mereka tidak dimanfaatkan oleh para pelaku illegal logging. Problema yang dihadapi masyarakat seperti masalah kemiskinan merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesadaran masyarakat atau rendahnya pendidikan sehingga kurangnya memahami akibat dari illegal loging secara umum. Untuk itu yang dapat dilakukan sebagaimana yang pernah dirilis oleh (Cifor, dll: 2006) dalam Opsi-opsi Strategis untuk Bantuan Kehutanan di Indonesia, adalah:
·           Kesadaran dan Pendidikan Masyarakat, kesadaran mengenai lingkungan hidup dan pentingnya konservasi perlu dijelaskan pada masyarakat sebagaimana yang sedang berkembang pada masyarakat Indonesia yang dimotori oleh lembaga-lembaga non pemerintah. Pendidikan lingkungan dan program-program peningkatan kesadaran yang lebih inovatif dapat didukung, termasuk melalui sekolah dan lembaga-lembaga keagamaan. Banyak contoh dan mitra yang ada untuk mendukung program ini, namun investasi yang lebih komprehensif dan bersifat jangka panjang diperlukan untuk mengubah sikap dan praktik-praktik yang ada pada saat ini.
·           Penyuluhan dan Pelayanan Masyarakat. Lebih dari sekedar akses terhadap hutan dan lahan, masyarakat dan kaum miskin membutuhkan keterampilan, kredit, infrastruktur dan pasar. Masyarakat mungkin membutuhkan bantuan teknis dan penguatan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memperoleh keuntungan dari peluang-peluang yang ada dalam memanfaatkan kawasan hutan. Lembaga-lembaga bantuan yang memberikan pelayanan secara langsung dapat membantu kelompok masyarakat ini untuk mengerti aturan-aturan akses, mengembangkan struktur organisasi yang tepat, meningkatkan keterampilan bisnis dan mengidentifikasi peluang. Pelayanan-pelayanan ini akan menurunkan biaya transaksi masyarakat untuk dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan pada skala yang lebih kecil dengan fleksibilitas yang lebih besar.
·           Pembagian Manfaat. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memperoleh pembagian keuntungan yang didapat dari sektor kehutanan komersial, negara-negara donor dapat terus melanjutkan upaya untuk mempromosikan pengaturan perizinan yang bersifat inovatif, perjanjian penggunaan lahan di tingkat lokal, usaha kecil, kemitraan dan kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Terdapat peluang untuk mendukung perubahan peraturan dan perundang-undangan yang memungkinkan akses yang lebih besar bagi masyarakat dan kelompok yang termarjinalkan terhadap sumber daya hutan. Terdapat pula peluang untuk mendukung usaha-usaha berbasis masyarakat, agroforestry, dan mata pencaharian tradisional.
·           Untuk memperkecil perbedaan antara sumberdaya hutan yang melimpah dengan penduduk yang miskin, kemajuan-kemajuan dapat dicapai dengan menyadari bahwa kawasan hutan adalah bagian dari ekonomi pedesaan dan mata pencaharian penduduk. Kebijakan-kebijakan yang dibuat seyogyanya dapat lebih memperhatikan kaitan antara mata pencaharian masyarakat, investasi, pasar dan infrastruktur, ketimbang hanya melihat hutan sebagai sumber bahan baku untuk industri pengolahan yang berorientasi ekspor. 
·           Hutan untuk Masyarakat. Kemajuan-kemajuan dapat diperoleh dengan mengakui bahwa masyarakat, kelompok adat, pemilik lahan kecil dan kaum miskin yang kehidupannya bergantung pada hutan merupakan Opsi-opsi Strategis untuk Bantuan Kehutanan di Indonesia stakeholder yang sah di sektor kehutanan dan harus memiliki hak, peran, tanggungjawab dan mendapatkan manfaat yang seimbang dengan pengguna lahan hutan lainnya. Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
·           Negara-negara donor dapat mendukung dan mendorong hutan kemasyarakatan dan usaha kecil dan menengah. Barangkali ini merupakan bagian dari program Perhutanan Sosial. Hal yang dapat dilakukan meliputi pemberian insentif, hak-hak yang lebih jelas dan bantuan teknis bagi kelompok-kelompok masyarakat atau koperasi. Usaha-usaha kecil dan berbasis masyarakat memiliki kelebihan dalam hal menciptakan lapangan kerja lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan industri besar, yang terkonsentrasi dan bersifat padat modal.
·           Kesepakatan dan Rencana Pemanfaatan Lahan Kolaboratif. Kegiatan-kegiatan pada kawasan hutan lindung dapat meliputi pengembangan peraturan dan kemitraan (dalam kerangka kerja desentralisasi) untuk mengelola kawasan hutan yang lebih luas untuk perlindungan dan produksi jasa lingkungan. Rencana pemanfaatan yang dikembangkan pada tingkat lokal melalui kerjasama dengan para pengguna pada umumnya dapat mengidentifikasi dan memungkinkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang sesuai, seperti agroforestry berbasis masyarakat, pada lahan-lahan tertentu yang tidak terlalu curam atau rentan.
·           Negosiasi dan kesepakatan yang berbasis masyarakat menciptakan peluang untuk mempertahankan fungsi-fungsi jasa lingkungan, dan juga memungkinkan berbagai pemanfaatan secara tradisional di daerah aliran sungai. Pembayaran jasa lingkungan yang didasarkan pada nilai pasokan air atau penyerapan karbon dapat menawarkan sebagian kompensasi bagi kegiatan pemeliharaan yang lebih baik di dataran tinggi. Inisiatifinisiatif ini membutuhkan pengembangan kelembagaan dan dukungan kebijakan baik pada tingkat nasional maupun regional.
5.  Hal lain yang dapat dilakukan
Hal lain yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Lembaga Donor di Kalimantan Timur dalam upaya penegakan hukum illegal logging dan pelestarian hutan, terdapat peluang untuk memberi bantuan melalui proses-proses dibawah ini:
·           Perlu dibuka ruang dialog diantara semua kalangan pemerhati hutan di Kalimantan Timur yang dirasakan cukup penting untuk mendukung upaya penegakan hukum di sektor kehutanan, mendiskusikan tentang kerangka hukum yang akan diberlakukan apakah didalamnya terdapat unsur keadilan atau tidak. Perlu juga untuk mendiskusikan apa yang dapat diperbuat untuk menyelesaikan persoalan kehutanan di Kalimantan Timur khususnya mengenai hak-hak yang terdapat pada sektor kehutanan, peraturan, peran, dan tanggungjawab. Negara-negara donor dapat mensponsori diskusi untuk mencapai kesepakatan mengenai arah pembangunan sektor kehutanan, untuk kepentingan semua pengelolaan sumberdaya alam. Organisasi-organisasi baru banyak bermunculan sebagai mitra yang bermanfaat dalam diskusi ini. Lembaga-lembaga bantuan pembangunan dapat juga mendukung inisiatif-inisiatif yang sedang berjalan pada saat ini yang mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat, termasuk inisiatif mengenai transparansi dan kampanye-kampanye memberantas kriminalitas dibidang kehutanan (Cifor, dll: 2006).
·           Dibutuhkan adanya transparansi bagi seluruh instansi yang terkait dengan penegakan hukum Illegal Logging, bantuan-bantuan dapat diberikan pada pihak-pihak yang memegang peranan penting dalam hal informasi, data, dan pembuat keputusan. Instansi tersebut harus didorong melaksanakan inisiatif transparansi pada sektor kehutanan dengan kebijakan dan tindakan yang jelas. Bantuan untuk terciptanya transparansi dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas dan teknologi bagi pembuatan kebijakan  yang dinamis didasarkan atas informasi yang dapat dipercaya, akurat dan terkini. Diperlukan dukungan pembangunan dan pelaksanaan kebijakan transparan yang komprehensif, mekanisme keterbukaan yang efektif. Selain itu bantuan juga dapat diberikan pada instansi yang terkait dalam hal peningkatan prosedur akuntabilitas dan mekanisme untuk perusahaan kehutanan. Dibutuhkan keterbukaan kepada publik dan mekanisme transparansi yang efektif sehingga masyarakat umum dan stakeholder yang terkait dapat mengakses informasi secara efektif.
·           Terdapat kebutuhan yang sangat besar untuk memperkuat Dinas-dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten agar sejalan dengan Pemerintah Pusat. Pilihan bantuan dapat dimulai dengan dukungan terhadap pengembangan institusi untuk memfasilitasi pelaksanaan dan interpretasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Kabupaten dan Provinsi dalam mengelola, melaksanakan, memberikan izin, dan mengawasi kegiatan-kegiatan kehutanan agar sejalan dengan perubahan perundang-undangan tahun 2004. Peluang untuk membantu Pemerintah Daerah harus diperkuat dengan kebutuhan untuk melakukan cara-cara yang konsisten dan sejalan dengan hukum dan perundang-undangan nasional. 
·           Realokasi dapat mendorong investasi dalam bidang sumberdaya lahan dan hutan, meningkatkan produktifitas dan pendapatan, memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan dan mengurangi kemiskinan, serta mengurangi konflik dan membangun kemitraan antara masyarakat dan perusahaan untuk memperluas distribusi manfaat, dan juga mengupayakan kawasan untuk produksi.
·           Diperlukan tekad bersama dan kuat untuk berantas illegal logging yang ditunjang dengan harmonisasi kebijakan lintas sektor yang lebih baik  hal ini diperlukan untuk menghindari adanya kesalahpahaman. 
·           Melakukan pengawasan terhadap instansi pemerintah yang terkait dalam pemberian izin pemanfaatan hutan, hal ini dilakukan agar pemberian izin pemanfaatan hutan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pengawasan ini bertujuan untuk memangkas praktik-praktik pemberian izin yang tidak prosedural atau koruptif dan juga sekaligus sebagai kontrol pada instansi yang bersangkutan.
Hal ini harus dipandang sebagai langkah awal untuk turut memperbaiki masalah-masalah kemiskinan, demokrasi, desentralisasi, investasi, keuangan negara, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Walaupun reformasi besar besaran di bidang Pemerintahan dan demokrasi terus menciptakan peluang-peluang baru, harus diakui bahwa kemajuan-kemajuan yang bersifat praktis masih dapat dicapai di berbagai bidang. Terdapat pula peluang untuk memberikan bantuan “di luar bidang kehutanan,” bersama-sama dengan berbagai lembaga Pemerintahan yang dapat berpengaruh terhadap sektor kehutanan dan juga bersama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
D.      Penutup
Kegiatan identifikasi dilaksanakan di tiga tempat yang diidentifikasi praktik illegal logging-nya mempunyai kecenderungan berskala besar dan mempunyai dampak yang sangat luas, yaitu : Balikpapan, Samarinda dan Berau. Balikpapan dipilih sebagai tempat identifikasi karena berkaitan dengan tempat dan kedudukan Polda Kaltim yang berada diwilayah Kota Balikpapan. Sebagaimana yang diketahui bahwa Polda Kaltim merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang menangani kasus illegal logging di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Kota Samarinda dipilih sebagai tempat identifikasi kedua karena kedudukannya sebagai Ibu Kota Provinsi dan juga berkaitan dengan tempat  dan kedudukan lembaga penegak hukum yang menangani kasus illegal logging yaitu Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, sedangkan pilihan tempat identifikasi ketiga jatuh pada Kabupaten Berau. Kabupaten Berau menurut data tahun 2008 sebagai salah satu kabupaten yang intensitas illegal loggingnya paling banyak. 
Dari hasil identifikasi yang dilakukan di tiga wilayah yaitu Kota Balikpapan, Kota Samarinda dan Kabupaten Berau diketahui institusi dan lembaga yang menangani kasus pencurian kayu atau illegal logging ada Lembaga Penegak Hukum (Polres Berau; Kejaksaan Negeri Berau; Pengadilan Negeri Berau; Kepolisian Daerah Kalimantan Timur; Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur; Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur) dan Instansi Pemerintah dan NGO (Dinas Kehutanan Kabupaten Berau; NGO yang konsen pada isu lingkungan di antaranya Walhi Kaltim, KBCF, Yayasan Padi dan Perkumpulan Menapak).
Setiap institusi sudah memiliki perannya masing-masing, misalnya Polda Kaltim sebagai badan pelaksana utama Polri pada tingkat kewilayahan bertugas menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta tugas-tugas lain dalam daerah hukumnya, sesuai ketentuan hukum dan peraturan/kebijakan yang berlaku dalam organisasi Polri. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut di atas, Polda menyelenggarakan fungsi atau kegiatan pemberian pelayanan kepolisian kepada warga masyarakat yang membutuhkan, intelejen dalam bidang keamanan, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, kesamaptaan kepolisian, lalu lintas kepolisian, kepolisian perairan, bimbingan masyarakat, pembinaan kemitraan, dan fungsi-fungsi lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Salah satu Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Kejaksaan Tinggi, yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
Dalam hal terjadi tindak pidana khususnya tindak pidana kejahatan kehutanan maka kejaksaan bertugas dan berwenang melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dinas Kehutanan Kabupaten Berau melakukan operasi lapangan yang mencari dan menemukan kayu-kayu yang tidak memiliki dokumen sah dari dinas kehutanan. Setelah menemukan kayu/log yang tidak memiliki dokumen yang sah selanjutnya Dishut melaporkan ke Polres Berau. Polisi dapat menyita kayu dan menangkap oknum yang mencuri kayu tersebut. Selanjutnya kasus tersebut diproses sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam pencurian kayu.
Lembaga non pemerintah seperti LSM yang konsen pada isu pembalakan liar (illegal logging) melakukan kampanye anti illegal logging dan terus melakukan monitoring pada proses penegakan hukum, memberikan data-data yang berkaitan dengan pembalakan liar yang terjadi di suatu daerah dan terus menerus memberi masukan dalam hal upaya penegakkan hukum illegal logging.
Dari hasil identifikasi yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi dalam hal penegakan illegal logging dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) aspek adalah sebagai berikut:
1.      Aspek penegakan hukum
·   Lemahnya penegakan hukum yang dipengaruhi beberapa faktor antara lain Peraturan/undang-undang yang lemah atau tidak relevan lagi, kualitas penegak hukum yang tidak memadai lagi baik secara pengetahuan, keterampilan, maupun mental/moral, sarana prasarana yang sangat terbatas, keterbatasan personil, kurangnya koordinasi antara sesama penegak hukum, dakwaan yang lemah bahkan cenderung dilemahkan, hakim yang tidak sensitip terhadap pentingnya kelestarian hutan dan lingkungan hidup dan budaya yang masih hidup dimasyarakat serta lingkup masyarakat yang kurang responsif. Hal tersebut tercermin pada banyaknya mafia kayu beraksi dengan bebas karena banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya bahkan modus penebangan liar dengan oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak pidana kehutanan, di samping juga menjadi “backing”, selain itu Pejabat Pemerintah dan pejabat penegak hukum, memberikan fasilitas sesuai dengan kewenangannya agar perbuatan atau praktik Illegal Loging dapat berjalan lancar. Lemahnya penegakan hukum juga berdampak pada banyaknya aktor atau pelaku tidak menerapkan konsep Sustainable Forest Management dalam pengelolaan hutan. 
·      Keterbatasan anggaran untuk melakukan eksekusi dan lokasi yang tidak terjangkau hal ini menyebabkan banyak kayu hasil sitaan tidak terlelang, kesulitan melakukan lelang juga karena harga kayu tidak sesuai dengan harga standar yang ditetapkan oleh Dephut. Sering juga terjadi pada proses penuntutan hal-hal yang dituduhkan tidak dapat dibuktikan karena kurangnya barang bukti dan yang terjadi hanya berupa pelanggaran administrasi saja merupakan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum Illegal Logging.
·   Pada umumnya kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kegiatan adalah terlambatnya dukungan anggaran untuk operasi kepolisian, sehingga kurang mendukung kegiatan operasional secara maksimal. Tidak lengkapnya sarana prasarana, dengan luas kawasan yang harus diawasi menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum Illegal Logging di Kaltim. Tidak transparansinya proses pemberian Izin pada perusahaan dengan tidak pernah memberikan peta kawasan dan batas-batas wilayah yang menjadi hak perusahaan merupakan kendala tersendiri untuk penegakan hukum. Tidak jelasnya batas-batas hutan, tidak diketahui luasan areal suatu perusahaan, merupakan kendala tersendiri dalam melakukan penyidikan, sampai saat ini tidak ada pemberitahuan dari Dinas Kehutanan mengenai batas-batas wilayah yang mana masuk kategori hutan lindung, hutan produksi, areal perusahaan dan lain sebagainya sehingga jika terjadi kejahatan yang dilakukan salah satu pihak misalnya perusahaan telah merambah hutan lindung kami tidak bisa mengetahuinya sebab batas-batas tersebut tidak diketahui, hal tersebut terjadi karena kurangnya koordinasi antara instansi yang terkait. Selain itu keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki pihak kepolisian seperti tidak adanya personil polisi yang bisa membaca peta menjadi persoalan tersendiri,  hal ini akan menyulitkan proses monitoring yang dilakukan pada pihak perusahaan. Keterbatasan kemampuan untuk mengungkap kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh perusahaan adalah persoalan serius yang dihadapi oleh kepolisian, sehingga tidak heran masyarakat biasa yang mendominasi kejahatan illegal logging karena ketidak berdayaan aparat kepolisian setempat mengungkap kasus kejahatan illegal logging yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
·    Tidak terungkapnya pelaku utama yang ada hanya masyarakat kecil, yang tidak mengetahui bahwa yang dilakukan adalah bentuk kejahatan kehutanan dengan alasan mencari nafkah (Petani, sopir truk dll) sehingga ini menjadi sorotan publik dengan mengatakan pihak kejaksaan tidak serius memberantas illegal logging padahal berkas yang masuk dari penyidik (Polisi) memang berkas pelaku kelas kecil seperti masyarakat tadi dan sopir truk.
·  Masalah mendasar dalam upaya penegakan hukum illegal logging adalah pembuktian, dan pelaku illegal logging itu sendiri. Pada tingkat banding banyak barang bukti yang tidak bisa dirampas untuk negara sebab berkaitan dengan kepemilikan barang. Adanya pasal yang mengatakan “barang bukti yang digunakan untuk kejahatan dirampas untuk negara”  sementara dalam pembuktian barang bukti yang digunakan bukan milik tersangka seperti mobil truk yang digunakan mengangkut hasil kejahatan kehutanan, si tersangka hanya sebagai sopir.
2.      Aspek perundang-undangan
·     Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan yang masih bermasalah sebab melihat persoalan kehutanan dalam kacamata hukum administratif, undang-undang bukan melindungi hutan tapi sifatnya mengatur, pengaturan Pasal 80 ayat (2) yang cenderung membebaskan aktor utama pembalakan liar karena dijerat dengan sanksi administratif dan denda. Selain Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 permasalahan juga terjadi pada Undang-undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
·     Permasalahan korupsi yang terus meraja lelah karena lemahnya undang-undang yang ada serta tidak selektifnya pemberian izin di sektor kehutanan.
3.      Aspek lain
·    Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kasus Illegal Logging, karena melihat kontribusi sektor kehutanan dan industri turunannya dapat menopang perekonomian menjadi salah satu faktor pendukung maraknya illegal logging yang tentunya hal ini sekaligus menjadi masalah tersendiri dalam hal peneggakan kasus illegal logging. Kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat yang serba kekurangan dan kesadaran hukum yang rendah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk ikut serta dalam praktik ini serta aparat cenderung menjadi tidak kondusif terhadap kelestarian hutan dan penegakan hukum yang juga dipengaruhi ketahanan dan kemandirian masyarakat yang masih rendah dengan pembodohan yang berdalih pemberdayaan masyarakat. Kontribusi sektor kehutanan ini juga bukan hanya dilihat oleh masyarakat sebagai penopang perekonomian tetapi dilihat juga oleh daerah sebagai potensi penyumbang Pendapatan Asli Daerah melalui perusahaan yang mengantongi Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang pada kenyataannya banyak perusahaan melanggar ijin tersebut.
·      Rusaknya ekosistem hutan di kawasan perbatasan karena penjarahan kayu oleh aktor pengusaha kayu Illegal yang menyuruh masyarakat lokal, memfasilitasi dan memberikan imbalan uang yang memadai untuk menebang kayu baik di hutan lindung maupun hutan produktif. Rusaknya ekosistem tersebut juga diperparah dengan industri pengolahan kayu yang menerima dan mengolah kayu illegal yang kemudian dipasok pada pasar kayu bantalan atau olahan di Tawau dengan tawaran harga sangat tinggi sekitar dua kali lipat dibanding harga lokal di Nunukan dan Tarakan akibatnya Pemerintah Pusat dan Daerah tidak memperoleh pendapatan memadai dari adanya aktivitas perdagangan kayu yang sangat potensial ini.
·   Pihak kepolisian laut Malaysia mendukung masuknya kayu-kayu curian dari Indonesia.
·   Tidak adanya monitoring lembaga LSM pada proses penegakan hukum Illegal Logging dari tahap penyelidikan hingga tahap putusan di pengadilan
·       Terjadinya konflik antar masyarakat.
B. Rekomendasi
Bagian dari rekomendasi ini sebagaimana yang diketahui dari permasalahan-permasalahan serta hambatan dalam hal pemberantasan illegal logging di Kalimantan Timur. Untuk itu rekomendasi yang disampaikan tidak lepas dari permasalahan yang dihadapi. Secara keseluruhan rekomendasi yang ingin disampaikan telah tertuang pada bagian ”Apa yang harus dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur”.
Demikian hasil laporan identifikasi ini kami sampaikan, mudah-mudahan apa yang tertuang pada edisi laporan kali ini dapat sedikit memberikan gambaran instansi dan lembaga-lembaga non pemerintah yang konsen dan bersungguh-sungguh dalam mengupayakan penegakkan hukum illegal logging di Kalimantan Timur serta hal-hal apa saja yang menjadi permasalahan dan hambatan dalam pemberantasan illegal logging di Kalimantan Timur,  laporan ini dapat terselesaikan atas dukungan para narasumber yang bersedia kami wawancarai dan mengungkapkan serta memberikan informasi berupa data-data dalam hal penegakkan hukum illegal logging di Kalimantan Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar