Minggu, 08 September 2019


ANALISIS PUTUSAN HAKIM No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.
TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN I[1]

Oleh:
F A D L I[2]


Abstrak

Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag, berkaitan dengan Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan I yang di lakukan oleh Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo. Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo dengan tuntutan 5 (lima) bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta) subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tetapi kemudian Majelis Hakim memutuskan dengan instrumen Pasal 116 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan narkotika golongan I jenis ganja”; Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; ketiga, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; keempat, menetapkan agar terdakwa tetap ditahan.




Pendahuluan
Kasus tindak pidana narkotika ini dilakukan oleh Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo pada hari minggu tanggal 19 Februari 2017 sekitar pukul 11.00 WIB bertempat di Jalan Jenderal Sudirman No. 28 RT. 001 RW. 001 Kelurahan Bunut Kecamatan Kapuas Kabupaten Sangau. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti yang ada, diperoleh fakta hukum berupa: pertama, Terdakwa ditangkap petugas dari BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau terkait narkotika jenis ganja; kedua, pada tanggal 14 Februari 2017 dilaksanakan tes urine di Kantor Kesbangpol dan dari hasil tes urine tersebut ada 2 (dua) orang yang positif namun terdakwa tidak termasuk yang positif tersebut, selanjutnya 2 (dua) orang yang positif dan terdakwa di bawa ke kantor BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau untuk dimintai keterangan; ketiga, di kantor BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau terdakwa ada mengatakan bahwa ia ada memiliki tanaman obat akan tetapi tidak dijelaskan secara spesifik tanaman obat yang ditanamnya tersebut adalah ganja, kemudian pihak BNN Sanggau mendatangi rumah terdakwa dan mendapati tanaman ganja yang ditanam oleh terdakwa dan istri terdakwa yang sedang terbaring sakit; keempat, bahwa benar ganja yang ditanam oleh terdakwa sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) batang pohon, ganja tersebut ditanam terdakwa sejak bulan Mei tahun 2013, ganja tersebut didapatkan terdakwa dengan membeli dengan cara memesan lewat seseorang yang tidak sengaja bertemu di terminal Bus Sanggau pada saat terdakwa sedang membeli makanan, ganja tersebut dibeli terdakwa dengan harga Rp 900.000 (sembilan ratus ribu rupiah), ganja tersebut terdakwa gunakan untuk mengobati istri yang menderita sakit Syringomyelia[3] dan benar istri terdakwa menderita sakit sejak bulan Oktober tahun 2013; kelima, terdakwa sudah melakukan upaya medis untuk mengobati istri terdakwa yaitu dengan cara membawa istri terdakwa tersebut ke Rumah Sakit Umum Sanggau, Rumah Sakit Umum di Pontianak dan Rumah Sakit Antonius di Pontianak, terdakwa juga sudah pernah membawa istri terdakwa tersebut ke Rumah Sakit di Singkawang untuk diperiksa kejiwaannya selain itu juga terdakwa pernah mengobati istri terdakwa dengan pengobatan alternatif seperti tukang urut; keenam, terdakwa juga pernah akan membawa istri terdakwa tersebut untuk berobat di Jawa namun niat tersebut belum dilakukan karena Dokter mengatakan kondisi terdakwa tidak kuat untuk menjalani perjalanan jauh dan dikhawatirkan akan drop; ketujuh, menurut Dokter yang merawat istri terdakwa tersebut, sebenarnya istri terdakwa harus di operasi akan tetapi kondisi istri terdakwa tidak memungkinkan untuk di operasi karena terlalu berisiko sementara dari rumah sakit sendiri sudah tidak ada lagi penanganan medis; kedelapan, setelah menjalani berbagai macam pengobatan tersebut kondisi istri terdakwa tidak kunjung membaik dan semakin parah bahkan tidak bisa makan; kesembilan, bahwa benar kemudian terdakwa mendapatkan artikel mengenai ganja di internet; sepuluh, ganja yang ditanam oleh terdakwa tersebut kemudian digunakan untuk mengobati istri terdakwa; sebelas, ganja yang ditanam oleh terdakwa tersebut kemudian diolah yaitu bunga ganja tersebut menjadi ekstrak[4] atau minyak yang dioleskan di luka istri terdakwa yang terdapat di punggung istri terdakwa dan ada juga yang dicampur ke dalam makanan istri terdakwa sedangkan gaun ganja tersebut diolah dan dicampurkan ke dalam minuman istri terdakwa dengan cara dijadikan jus; dua belas, untuk mendapatkan ekstrak ganja sebanyak 3 ml dibutuhkan 4 batang pohon dan ekstrak ganja sebanyak 3 ml dapat digunakan selama seminggu; tiga belas, pada tanggal 25 Maret 2017 istri terdakwa meninggal dunia pada saat terdakwa berada dalam tahanan; empat belas, benar terdakwa tidak pernah terlibat peredaran narkotika jenis ganja tersebut, terdakwa juga tidak pernah menggunakan narkotika tersebut untuk dirinya sendiri, ganja tersebut digunakan terdakwa untuk mengobati istrinya yang sedang sakit, terdakwa juga mengetahui tanaman ganja tersebut dilarang di Indonesia dari Undang-undang Narkotika, terdakwa juga pernah menyampaikan masalah ganja ini kepada teman terdakwa yang bekerja di BNN Sanggau namun hal tersebut hanya sebatas obrolan saja dan tidak pernah diajukan permohonan untuk penggunaan ganja secara resmi; lima belas, bahwa benar pada saat sebelum terdakwa ditangkap terlebih dahulu terdakwa memerintahkan adik terdakwa agar mencabut dan membuang tanaman ganja tersebut dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang terkait narkotika jenis ganja tersebut.[5] 

Mencermati hal di atas, sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusan, terlebih dahulu hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Keadaan yang memberatkan terdakwa yaitu terdakwa tidak mendukung program Pemerintah dalam pemberantasan Narkotika, sedangkan keadaan yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa menggunakan narkotika tersebut untuk mengobati istrinya, terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan tumpuan terakhir anak-anaknya setelah istrinya meninggal.[6]

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis hakim memutuskan Pertama, Menyatakan terdakwa Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan narkotika golongan I jenis ganja”; Kedua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; ketiga, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; keempat, menetapkan agar terdakwa tetap ditahan; kelima, menetapkan barang bukti berupa sebagaimana yang disebutkan ada yang dirampas untuk dimusnahkan, 1 (satu) buah Kartu Tanda Penduduk atas nama Fidelis Arie Sudewarto dikembalikan kepada terdakwa, 1 (satu) buah motor Honda Vario Warna Putih dengan nomor polisi KB 3235 UY, 1 (satu) buah STNK dengan nomor polisi KB 3235 UY dikembalikan kepada saksi Tri Raman Jaya; keenam, membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah).[7]

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, hal yang akan dikaji dalam putusan ini adalah mengenai tujuan hukum sebagaimana termaktub dalam putusan serta apakah Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag,[8] mengenai Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan I ini dapat dikategorikan sebagai putusan yang progresif ?

Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan masalah berupa pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Spesifikasi dalam Penelitian ini adalah penemuan Hukum In Concreto dengan sumber Bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Metode Pengumpulan Bahan hukumnya meliputi metode Kepustakaan dan dokumentasi. Metode Penyajian Bahan Hukum dengan cara mereduksi, kategorisasi dan display dan dianalisis secara normatif kualitatif dengan menggunakan jenis interpretasi gramatikal, sistematis dan teleologis.

Pembahasan

1.    Pengertian Narkotika
Istilah narkotika[9] bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu maraknya berita yang
berkaitan dengan narkotika baik dari media cetak maupun elektronik dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Kata “narkotika” berdasarkan Black`s Law Dictionary karangan Bryan A. Garner yang diterbitkan oleh West Publishing pada edisi ke sembilan tahun 2004, narkotika merupakan obat adiktif dari tanaman candu yang dapat mengendalikan, menumpulkan panca indera dan menginduksi orang untuk tidur, obat ini dilarang oleh hukum. Narkotika menurut keterangan penjelasan dari Merriam Webster adalah A drug (as opium or morphine) that in moderate closes dulls the senses, relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or convulsions;[10] A drug (marijuana or LSD) subject to restriction similar to that of addictive narcotics whether phsysiologically addictive and narcotic or not;[11] Something that soothes, relives, or lulls.[12]

Menurut William Benton, secara terminologis, narcotic is general term for substances that produce lethargy or stuper or the relief of pain. “Narkotika adalah suatu istilah umum untuk semua zat yang mengakibatkan kelemahan/pembiusan atau mengurangi rasa sakit”.

Soedjono, dalam patologi sosial, merumuskan definisi narkotika sebagai berikut: Narkotika adalah bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran.

Smith Kline dan French Clinical memberikan definisi narkotika sebagai berikut “Narcotic are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect on then central system. Included in this definition are opium, opium derivatives (morphine, codien, heroin) and synthetic opiates (meperidin dan methadon)”.

Narkotika adalah zat-zat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan pusat syaraf. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu, seperti morpin, cocain dan heroin atau zat-zat yang dibuat dari candu, seperti (meridian dan methadon). Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan terutama sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan.

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Ketentuan dalam Pasal 6 menentukan bahwa Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.[13]

Menurut Gatot Supramono lebih menekankan pada adanya ruang lingkup narkotika yang dipersempit, yaitu zat dan obat yang bukan narkotika, dengan maksud agar tidak berbenturan dengan ruang lingkup narkotika. Obat-obatan sebagaimana dimaksud memiliki kasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan mempunyai hubungan kausalitas pada aktivitas mental dan perilaku penggunanya.[14] Pada dasarnya, narkotika memiliki khasiat dan bermanfaat digunakan dalam bidang ilmu kedokteran, kesehatan dan pengobatan, serta berguna bagi penelitian dan pengembangan ilmu farmasi atau farmakologi. Akan tetapi karena penggunaannya di luar pengawasan dokter atau dengan kata lain disalah gunakan, maka narkotika telah menjadi suatu bahaya internasional yang mengancam terutama generasi muda yang akan menjadi tulang punggung pembangunan bangsa.[15] 

Mencermati hal di atas, diperlukan upaya strategis guna menanggulangi permasalahan penyalahgunaan narkotika, salah satunya dengan melalui proses pemidanaan. Dalam kaitan ini, proses pemidanaan telah menjadi hal yang substansial, di samping sebagai salah satu pokok permasalahan dalam hukum pidana, masalah pidana dan pemidanaan baik dalam bentuk teori-teori pembenaran pidana maupun dalam bentuk kebijakan dipandang sangat penting, sebab melalui pemidanaan akan tercermin sistem nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi suatu bangsa terhadap hak-hak asasi manusia.

Dalam hal ini, di antara kegiatan-kegiatan dalam sistem peradilan pidana, kegiatan pemeriksaan di pengadilan (tahap) ajudikasi merupakan kegiatan yang paling dominan, di mana hakim akan memeriksa dan menentukan putusan secara objektif berdasarkan bahan-bahan pemeriksaan di muka sidang pengadilan berdasarkan keyakinannya.


Dalam konteks pemeriksaan perkara di muka pengadilan, pertama-tama hakim akan melakukan tindakan, yaitu hakim akan memeriksa mengenai peristiwanya ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan; kedua, hakim akan menentukan keputusannya ialah apakah perbuatan yang didakwakan itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau bersalah; ketiga, hakim menentukan pidananya apabila memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dipidana.

Berdasarkan hal tersebut, peran dan tugas hakim bukan hanya sebagai pembaca deretan huruf dalam undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Tetapi dalam putusannya memikul tanggung jawab menjadi suara akal sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam kompleksitas dan dinamika kehidupan masyarakat. Hakim progresif akan mempergunakan hukum yang terbaik dalam keadaan yang paling buruk.[16]

2.    Sekilas karakter hukum progresif
Sebelum kemudian kita menguji apakah Putusan Hakim No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag, mengenai Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan I berkarakter progresif atau tidak maka alangkah lebih baiknya kita mengetahui tentang karakter hukum progresif. Satjipto Rahardjo mengemukakan pandangannya tentang fungsi hukum sebagai alat bagi masyarakat yang disebutnya dengan hukum progresif. Aliran hukum progresif menekankan penafsiran hukum sebagai upaya menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat sehingga tercipta sebuah putusan yang adil.[17] hukum progresif juga menawarkan satu cara pandang baru dalam berhukum yaitu dengan melibatkan hati nurani. Berangkat dari definisi tersebut, terdapat 2 (dua) pokok penekanan Hukum Progresif yaitu hukum merupakan institusi atau alat dan hukum memiliki tujuan agar adil, sejahtera dan bahagia. Posisi manusia dalam definisi tersebut lebih menjadi ‘tuan’ yang dilayani oleh hukum agar dapat menikmati keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Seperti halnya sebuah alat apabila tidak lagi berfungsi dengan baik (yang diukur dari hasil yang ditunjukkan) maka alat itu pun dapat dibuang oleh sang ‘tuan’ yaitu manusia. Dalam konsep hukum progresif, posisi manusia menjadi sentral utama dalam menilai hukum apakah benar dan baik ataukah sebaliknya. Implikasinya ketika manusia dalam setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut.

Hukum Responsif atau progresif yaitu hukum yang merupakan sarana respons atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik, bahwa sering kali hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan. Konsep ini juga merupakan suatu usaha untuk mengintegrasikan kembali teori hukum, filsafat politik, dan penelaahan sosial. Tesis yang diajukan oleh Nonet dan Selznik bukanlah suatu teori yang mampu menyelesaikan semua problem praktis. Namun, tesis tersebut memberikan suatu perspektif dan kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-problem hukum dan masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-dilema institusional dan pilihan-pilihan kebijaksanaan yang kritis.[18]

3.    Analisis Putusan
Untuk mengetahui suatu putusan dapat dikategorikan sebagai putusan yang progresif atau tidak, maka batu ujinya adalah nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Kepastian hukum erat kaitannya dengan sinkronisasi putusan hakim dengan sumber hukum yang berlaku, baik peraturan perundangan, yurisprudensi, doktrin, traktat, maupun kebiasaannya. Aspek kepastian hukum dilihat dari prosedur hukum acara pidana dan asas yang digunakan oleh hakim, maka pada dasarnya dalam putusan ini telah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 197 jo. Pasal 199 KUHAP.[19] Putusan ini pun telah didukung oleh dua alat bukti[20] yang sah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 183 jo. Pasal 185 KUHAP, penerapan hukum pembuktiannya telah sesuai dengan undang-undang dan terdakwa telah diberi hak untuk didampingi penasihat hukum[21] sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Selain dari melaksanakan hukum acara pidana tersebut, terdapat pula asas-asas persidangan yang di gunakan dalam putusan ini meliputi asas persidangan terbuka untuk umum, pemeriksaan secara langsung, asas pembelaan dan asas obyektivitas. Dilihat dari aturan yang digunakan, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hakim telah mempertimbangkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam kasus Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo didakwa karena melanggar UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggunakan model dakwaan alternatif yaitu melanggar Pasal 113 ayat (2)[22]; Pasal 111 ayat (2)[23]; dan Pasal 116 ayat (1)[24] Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terhadap dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo dengan tuntutan 5 (lima) bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta) subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.



Namun karena  dakwaan berbentuk alternatif maka Majelis Hakim memilih dakwaan ketiga yaitu penerapan Pasal 116 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan hal tersebut, maka adalah benar apabila Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ”Tanpa Hak Dan Melawan Hukum Menggunakan Narkotika Golongan I Terhadap Orang Lain”. Namun demikian dari aspek kepastian hukum yang mengacu pada peraturan perundang-undangan Majelis Hakim belum sepenuhnya memenuhi ketentuan Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Majelis Hakim cenderung mengabaikan ketentuan lain yang tersebar di berbagai literatur perundang-undangan, misalnya saja bahwa dalam ketentuan KUHP disebutkan Alasan pembenar diatur dalam Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan Pasal 51 (1) (perintah jabatan). Pada bagian ini apa yang dilakukan terdakwa dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang didorong oleh karena adanya daya paksa karena adanya keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. 

Doktrin daya paksa dalam Pasal 48 KUHP juga menjelaskan jika si pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang. Apa yang telah disampaikan di atas, maka apa yang dilakukan Fidelis dapat masuk dalam kualifikasi alasan pembenar sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP. [25] Uraian di atas menggambarkan bahwa putusan yang dijatuhkan pada terdakwa (Fidelies) harusnya berdasarkan alasan-alasan yang lebih rasional meliputi penggunaan sumber hukum lain berupa doktrin dan yurisprudensi dan sebagainya yang masih terkait. Selain dari itu, dalam menentukan putusan dilihat dari aspek substansi hukum, maka pemaknaannya lebih luas daripada sekedar stelsel norma formal (formele normenstelsel). Dalam hal ini, Friedman memasukkan pola-pola perilaku sosial dan norma-norma sosial selain hukum sehingga termasuk juga etika sosial seperti asas-asas kebenaran dan keadilan.[26] Jadi, yang disebut komponen substansi hukum di sini adalah semua asas dan norma yang dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam kasus ini, misalnya, substansi hukum meliputi Undang-undang No. 35 Tahun 2009 dapat ditambahkan dengan asas-asas hukum tidak tertulis lainnya seperti pelanggaran norma-norma yang disebut dengan nilai-nilai kebiasaan atau tradisi, termasuk juga asas kepatutan dan kebenaran yang telah hidup mengakar pada masyarakat.


Pada dasarnya tidak ada suatu perkara pidana dapat diadili secara serta merta karena melanggar ketentuan hukum pidana. Perkara pidana yang lebih bersifat konkret dengan berbagai konteksnya sangat berbeda jauh dengan ketentuan hukum pidana yang bersifat abstrak. Penafsiran menjadi jembatan penting dalam penerapan ketentuan hukum yang tepat sehingga terbentuklah penegakan hukum yang baik. Perkembangan manusia dan interaksinya dalam memenuhi kebutuhan yang pada akhirnya menciptakan berbagai macam kejahatan dan pelanggaran ternyata tidak semuanya diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan hukum sering kali sudah banyak tertinggal dengan kemajuan-kemajuan masyarakat. Bukan berarti dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum tetapi hukum yang ada harus diisi dan ditemukan lebih lanjut melalui penemuan hukum. Penafsiran hukum merupakan proses mencari dasar hukum yang tepat untuk mengadili suatu perkara yang belum jelas ketentuan hukum yang mengaturnya. Kenyataannya, sejak Indonesia merdeka hingga sampai saat ini penegakan hukum selalu menjadi masalah utama yang dikeluhkan masyarakat. Banyaknya kasus hukum yang tidak diselesaikan atau selesai dengan akhir yang kurang memuaskan membuat hukum semakin tidak dipercaya masyarakat sebagai alat mencari keadilan.[27]

Pada akhirnya, jika kemudian pertanyaannya tertuju pada putusan kasus di atas apakah dapat dikategorikan sebagai putusan progresif atau tidak dari aspek kepastian hukum, maka penulis dapat menyampaikan bahwa hal tersebut belum memenuhi kriteria karakter hukum progresif sebab putusan Majelis Hakim tersebut gagal berimprovisasi untuk menemukan hukum, meskipun kepadanya melekat kekuasaan untuk menemukan hukum sebagaimana yang telah di uraikan di atas. Putusan Majelis Hakim dalam kasus di atas lebih pada pola pikir yang masih terkungkung dalam pikiran legalisticpositivistik. Kondisi inilah yang semakin membuat hukum menjadi terpuruk dan pada akhirnya sulit mendapat tempat di hati masyarakat karena sama sekali tidak memberikan jawaban atas kebutuhan hukum yang berkeadilan.

Kemudian yang selanjutnya adalah apakah Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag, telah memenuhi unsur keadilan sebagaimana yang diharapkan atau belum. Sebagaimana diketahui bahwa Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo dengan tuntutan 5 (lima) bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta) subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun kemudian Majelis Hakim memutuskan Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan narkotika golongan I jenis ganja”; Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan; Menetapkan barang bukti berupa sebagaimana yang disebutkan ada yang dirampas untuk dimusnahkan, 1 (satu) buah Kartu Tanda Penduduk atas nama Fidelis Arie Sudewarto dikembalikan kepada terdakwa, 1 (satu) buah motor Honda Vario Warna Putih dengan nomor polisi KB 3235 UY, 1 (satu) buah STNK dengan nomor polisi KB 3235 UY dikembalikan kepada saksi Tri Raman Jaya; keenam, membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah).

Menurut Dr. Syarif Hasyim Azizurahman, S.H., M. Hum. Jika dicermati vonis hukuman yang dijatuhkan pada Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo jauh lebih ringan dari ancaman hukuman pidana minimal 5 (lima) tahun penjara hal ini tentunya bahwa hakim tidak hanya melihat prinsip kepastian hukum tetapi juga keadilan hukum. Dalam posisi di mana ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka yang harus didahulukan adalah prinsip keadilan hukum. Prinsip keadilan hukum sudah diterapkan dalam kasus ini. Sesuai undang-undang.

Karena Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut 5 (lima) bulan dan Majelis Hakim memutus 8 (delapan) bulan penjara, maka pengadilan sebenarnya sudah mengarah ke keadilan hukum. Sangat sulit untuk berharap hukuman bebas murni, karena ada unsur yang terbukti. Dalam kasus ini baik Jaksa Penuntut Umum Maupun Majelis Hakim sudah mempertimbangkan posisi kasus ini yang tujuannya bukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tetapi dalam kapasitas penyembuhan. Karena itu, vonis 8 (delapan) bulan penjara akhirnya dijatuhkan, tanpa melihat bahwa sesuai aturan hukuman minimalnya 5 (lima) tahun penjara.

Pada penerapan hukuman sepertinya Majelis Hakim tidak kaku mengikuti undang-undang yang berlaku. Apresiasi yang sama juga diberikan kepada penegak hukum yang lain termasuk Jaksa Penuntut Umum yang mempertimbangkan alasan dan tujuan Fidelis menanam ganja, yaitu sebagai bagian dari upaya penyembuhan istrinya.

Jika dilihat dari sudut pandang Majelis Hakim atau Jaksa Penuntut Umum, ini adalah keputusan yang progresif. Tetapi kalau dari sisi terdakwa memang belum, karena keinginan dari terdakwa adalah dibebaskan. Namun demikian dari gambaran kasus ini, kita sudah melihat ada arah untuk mempertimbangkan asas hukum yang progresif tadi. Meskipun belum bisa memuaskan semua pihak, terutama dari pihak terdakwa.[28]

Namun demikian apabila ajaran perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederechtelijkheid) dalam fungsi negatif dapat diterapkan dalam kasus aktual. Ajaran hukum ini pada intinya menggariskan, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi unsur formil suatu pasal undang-undang (perbuatannya formil melawan hukum), maka tidak selalu pelaku dapat dipidana jika ada perkecualian berdasarkan aturan hukum tidak tertulis atau materiil tidak melawan hukum. Dengan kata lain, penerapan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif merupakan alasan penghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan (straftuitsluitings grond) atau alasan pembenar atau menghalalkan perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana (rechtvaardigings grond). Sisi materiil yang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan adalah pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat bahwa perbuatan tersebut tidaklah tercela atau dapat dibenarkan.

Adapun kriteria dan syarat penerapan ajaran hukum materiil dalam fungsi positif dapat dirujuk pendapat ahli hukum terkemuka, seperti Th. W. Van Veen, Langemeyer dan J.M. Van Bemmelen. Menurut Th. W. Van Veen, kriterianya pendapat hakim bahwa pembentuk undang-undang sendiri andai menghadapi persoalan ini sudah pasti dibuatnya perkecualian atau hakim berpendapat perbuatan terdakwa memiliki tujuan yang baik dan dapat dibenarkan.

Sementara Langemeyer dan Van Bemmelen ajukan kriteria perbuatan terdakwa lebih menguntungkan dibanding merugikan.  Pada awalnya, ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif pertama kali diterapkan dalam kasus aktual dalam perkara yang dikenal dengan Arrest Dokter Hewan di kota Huizen, Belanda, berdasarkan putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tanggal 20 Februari 1933. Seorang dokter hewan mencampur 7 ekor sapi sehat ke dalam kumpulan sapi yang telah terjangkit penyakit, dengan pertimbangan supaya ke 7 ekor sapi tersebut tidak terjangkiti penyakit saat mengeluarkan susu, sebab jika sampai sapi-sapi itu diserang penyakit menular itu ketika mengeluarkan susu maka sapi-sapi itu akan mengalami penderitaan yang amat sangat dan lebih rawan menularkan secara lebih luas lagi. Cuma itu satu-satunya jalan. Pemilik sapi menuntut si dokter hewan berdasarkan Pasal 82 Veetwet (undang-undang tentang Hewan) karena semua sapinya terjangkiti penyakit menular. Di tingkat pertama dan banding, si dokter hewan dinyatakan bersalah. Namun di tingkat Hoge Raad, hakim membebaskan dokter hewan tersebut. Alasan Mahkamah Agung Belanda, barang siapa melakukan suatu perbuatan yang memenuhi rumusan pasal undang-undang tidak selalu harus dijatuhi pidana, meskipun tidak terdapat pengecualian di dalam undang-undang, apabila perbuatan tersebut secara materiil tidak tercela. Atas dasar itu, sekalipun perbuatan dokter hewan itu telah jelas-jelas memenuhi unsur Pasal 82 Veetwet, akan tetapi perbuatan dokter hewan itu dapat dibenarkan sehingga perbuatannya tidak mengandung sifat melawan hukum secara materiil, karena perbuatan dokter hewan itu telah sesuai dengan pengetahuan keahliannya.

Oleh karena sistem hukum pidana umum Indonesia mengadopsi hukum pidana Belanda, maka ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tersebut, pun, berlaku dalam kasus-kasus aktual di Indonesia. Ambil contoh perbuatan petugas kesehatan atau penyuluh yang menyebarluaskan alat-alat pencegah kehamilan, ini jelas melanggar Pasal 283 Ayat (1) KUHP, sehingga perbuatan ini formil melawan hukum, akan tetapi secara materiil tidaklah tercela atau tidak melawan hukum atau dapat dibenarkan atau dapat diterima, karena keluarga berencana (KB) merupakan program Nasional.

Dalam kasus Fidelis Arie Sudewarto yang menanam atau memiliki 39 batang ganja, jelas memenuhi unsur atau melanggar Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jadi formil melawan hukum, akan tetapi secara materil tidaklah tercela atau dapat dibenarkan karena ganja itu dipergunakan untuk mengobati penyakit Syringomyeila yang diderita istrinya. Pengobatan penyakit Syringomyeila dengan menggunakan ekstrak ganja telah dikenal luas di dunia. Fidelis terbukti menggunakan ekstrak ganja untuk mengobati istrinya, bukan untuk yang lain. Kecuali ada bukti bahwa ganja yang ditanam Fidelis tersebut digunakan sendiri oleh yang bersangkutan untuk kesenangan pribadi atau dijual untuk mendapatkan manfaat ekonomis, maka dalam kasus begini jelas memenuhi unsur pasal sekaligus tercela secara materiil. Namun yang terjadi tidak demikian. Dalam kasus begini, idealnya, hakim berani memutus terdakwa dengan vonis bebas dengan alasan perbuatan tersebut formil melawan hukum tapi materiil dapat dibenarkan, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat. Jangan lupa (harus selalu diingat) pondasi filosofis ini. Bahwa setiap putusan hakim selalu diawali dengan irah-irah frase berbunyi "Untuk Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Bismar Siregar, irah-irah itu bermakna sumpah yang merupakan roh putusan. Dengan demikian, putusan hakim selalu untuk keadilan, bukan untuk hal lain, termasuk bukan untuk undang-undang. Pun, Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berikut penjelasan pasalnya telah mewanti-wanti agar hakim dalam membuat putusan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Norma hukum ini untuk mengantisipasi hakim terjebak menjadi semata-mata corong undang-undang dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.

Mengapa penting? Sebab, tujuan tertinggi dari hukum adalah sarana atau alat untuk menghadirkan keadilan. Hukum bukan untuk hukum itu sendiri. Jadi, adalah tercela jika hakim semata-mata menjadi corong undang-undang dengan mengabaikan asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat. Memutus Fidelis bersalah karena perbuatannya dinilai telah memenuhi unsur Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah jelas hakimnya menganut pandangan formil dan lebih mementingkan undang-undang atau menjadi corong undang-undang ketimbang asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat.[29]

Penutup
Berdasarkan analisis tersebut di atas, dapat ditarik simpulan dalam putusan ini hakim telah mengakomodir prosedur hukum acara pidana, asas-asas umum persidangan, dan telah membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan terdakwa. 

Namun hakim belum sepenuhnya mengakomodir ketentuan atau aturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah di atas. Selain itu, hakim juga tidak menggunakan sumber hukum lain berupa doktrin, yurisprudensi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal kepastian hukum penulis berpandangan bahwa Putusan Hakim No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag, belum dapat dikatakan putusan yang progresif karena hakim tidak menggali ketentuan-ketentuan yang lain selain yang ada dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun demikian pada unsur keadilan jika mengikuti perspektif Majelis Hakim dapatlah dikatakan bahwa putusan tersebut cukup progresif karena jarang terjadi putusan yang dijatuhkan lebih rendah dari ancaman hukuman minimal meskipun ada juga alasan dan ketentuan lain yang diabaikan.


DAFTAR PUSTAKA

Christianto., Hwian “Penafsiran Hukum Progresif Dalam Perkara Pidana” dalam Mimbar Hukum, Vol. 23 No. 3, Oktober 2011.
Desiarto., Kurniawan “Menggagas Hukum Post-Represif (Suatu Alternatif Penegakan Hukum)” dalam Majalah Komisi Yudisial, edisi Januari-Maret 2017. Hlm. 18-19.
Hanandi., Saryono “Analisis Putusan Hakim Nomor 113/Pid.B/2007/PN.Pml tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10. No. 1 Januari 2010.
Lawrence M. Friedman., Bace, 1984, American Law: An Introduction New York:W.W. Norton & Co, 1984.
Supramono., Gatot Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
https://www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-narkotika.html.Diakses tanggal 15 Oktober 2018, jam 17.00, Wib.
http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-narkotika.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2018, jam 20.25, Wib.
http://icjr.or.id/. diakses pada tanggal 19 Oktober 2018, Jam 10.00 Wib.




[1] Tugas Akhir Mata Kuliah Teori Hukum, Dosen Dr. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Ignatius Pradipa, S.H., M.Kn.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Trisakti
[3] Syringomyelia adalah tumbuhnya kista berisi cairan (syrinx) di dalam sumsum tulang belakang. Cairan ini terbentuk dari kumpulan cairan pelindung di otak dan sumsum tulang belakang yang disebut dengan cairan serebrospinal.
[4] Ekstrak yang dimaksud di sini adalah zat yang dihasilkan dari ekstraksi bahan mentah dalam mhal ini bunga ganja yang kemudian menjadi bahan baku untuk dan digunakan secara langsung oleh terdakwa untuk mengobati luka-luka istrinya.
[5] Tentang fakta-fakta hukum dapat dibaca pada halaman 44-46 pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.
[6] Hal-hal yang memberatkan dan juga meringankan dapat dibaca pada halaman 61 pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.
[7] Penjelasan hal tersebut dapat ditemukan pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag. Pada poin Mengadili, hlm. 61.
[9] Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius. Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.
[10] Sebuah obat (seperti Opium atau Morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menimbulkan indra, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan pingsan, koma, atau kejang.
[11] Sebuah obat (seperti ganja atau LSD) tunduk pada larangan yang sama dengan narkotika adiktif apakah secara fisiologis adiktif dan narkotika atau tidak;
[12] Sesuatu yang menerangkan, menghidupkan kembali, atau membodohi.
[13] https://www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-narkotika.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2018, jam 17.00 Wib.
[14] Baca Gatot Supramono, 2001, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, hlm.17
[15] http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-narkotika.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2018, jam 20.25 Wib.
[16] Saryono Hanandi “Analisis Putusan Hakim Nomor 113/Pid.B/2007/PN.Pml tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10. No. 1 Januari 2010. Hlm. 9.
[17] Keadilan menjadi sebuah kebutuhan hakiki bagi semua orang di mana pun berada terlebih saat berada dalam permasalahan hukum. Mengingat penafsiran hukum progresif lebih menekankan kepentingan masyarakat daripada kepastian hukum, hal tersebut jelas memiliki dampak serius. Pemahaman hukum menurut Hukum Progresif menegaskan: “Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.”
[18] Kurniawan Desiarto “Menggagas Hukum Post-Represif (Suatu Alternatif Penegakan Hukum)” dalam Majalah Komisi Yudisial, edisi Januari-Maret 2017. Hlm. 18-19.
[19] Baca UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
[20] Barang bukti yang sah dapat dilihat pada penetapan putusan, hlm. 62-63.
[21] Terdakwa didampingi oleh Marcelina Lin, SH, sebagai Penasihat Hukumnya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 19 April 2017 dan di daftarkan pada Kepaniteraan Negeri Sanggau dengan Nomor 23/SK/V/2017/PN Sgu tanggal 2 Mei 2017.
[22] Pasal 113 ayat (2) berbunyi Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
[23] Pasal 111 ayat (2) berbunyi Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)
[24] Pasal 116 ayat (1) berbunyi Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
[25] http://icjr.or.id/. diakses pada tanggal 19 Oktober 2018, Jam 10.00 Wib.
[26] Baca Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An Introduction New York:W.W. Norton & Co, hlm.5
[27] Hwian Christianto “Penafsiran Hukum Progresif Dalam Perkara Pidana” dalam Mimbar Hukum, Vol. 23 No. 3, Oktober 2011, hlm. 479.

2 komentar:

  1. Salam pak Fadli, menarik sekali analisa bapak terkait kasus hukum di atas. Analisis tersebut sangat menambah wawasan dan pengetahuan saya. Terima kasih. (Wendy A)

    BalasHapus