ANALISIS PUTUSAN HAKIM No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.
F A D L I[2]
Abstrak
Putusan Hakim Nomor 111/Pid.
Sus/2017/PN Sag, berkaitan dengan Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan I
yang di lakukan oleh Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo. Dalam
kasus ini Jaksa Penuntut Umum telah menuntut
Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo dengan tuntutan 5 (lima)
bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta) subsider satu bulan
penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Tetapi kemudian Majelis Hakim memutuskan dengan instrumen
Pasal 116 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyatakan Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk
Anak Fx Surajiyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I
terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan narkotika golongan I jenis
ganja”; Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena itu dengan pidana penjara
selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana penjara selam 1 (satu) bulan; ketiga, menetapkan masa penahanan yang
telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;
keempat, menetapkan agar terdakwa tetap ditahan.
Pendahuluan
Kasus tindak pidana narkotika ini dilakukan oleh
Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo pada hari minggu tanggal 19
Februari 2017 sekitar pukul 11.00 WIB bertempat di Jalan Jenderal Sudirman No.
28 RT. 001 RW. 001 Kelurahan Bunut Kecamatan Kapuas Kabupaten Sangau. Berdasarkan
keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti
yang ada, diperoleh fakta hukum berupa: pertama,
Terdakwa ditangkap petugas dari BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau terkait
narkotika jenis ganja; kedua, pada
tanggal 14 Februari 2017 dilaksanakan tes urine di Kantor Kesbangpol dan dari
hasil tes urine tersebut ada 2 (dua) orang yang positif namun terdakwa tidak
termasuk yang positif tersebut, selanjutnya 2 (dua) orang yang positif dan
terdakwa di bawa ke kantor BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau untuk
dimintai keterangan; ketiga, di
kantor BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau terdakwa ada mengatakan bahwa ia
ada memiliki tanaman obat akan tetapi tidak dijelaskan secara spesifik tanaman
obat yang ditanamnya tersebut adalah ganja, kemudian pihak BNN Sanggau
mendatangi rumah terdakwa dan mendapati tanaman ganja yang ditanam oleh
terdakwa dan istri terdakwa yang sedang terbaring sakit; keempat, bahwa benar ganja yang ditanam oleh terdakwa sebanyak 39
(tiga puluh sembilan) batang pohon, ganja tersebut ditanam terdakwa sejak bulan
Mei tahun 2013, ganja tersebut didapatkan terdakwa dengan membeli dengan cara
memesan lewat seseorang yang tidak sengaja bertemu di terminal Bus Sanggau pada
saat terdakwa sedang membeli makanan, ganja tersebut dibeli terdakwa dengan
harga Rp 900.000 (sembilan ratus ribu rupiah), ganja tersebut terdakwa gunakan
untuk mengobati istri yang menderita sakit Syringomyelia[3] dan benar istri terdakwa
menderita sakit sejak bulan Oktober tahun 2013; kelima, terdakwa sudah melakukan upaya medis untuk mengobati istri
terdakwa yaitu dengan cara membawa istri terdakwa tersebut ke Rumah Sakit Umum
Sanggau, Rumah Sakit Umum di Pontianak dan Rumah Sakit Antonius di Pontianak,
terdakwa juga sudah pernah membawa istri terdakwa tersebut ke Rumah Sakit di
Singkawang untuk diperiksa kejiwaannya selain itu juga terdakwa pernah
mengobati istri terdakwa dengan pengobatan alternatif seperti tukang urut; keenam, terdakwa juga pernah akan
membawa istri terdakwa tersebut untuk berobat di Jawa namun niat tersebut belum
dilakukan karena Dokter mengatakan kondisi terdakwa tidak kuat untuk menjalani
perjalanan jauh dan dikhawatirkan akan drop; ketujuh, menurut Dokter yang merawat istri terdakwa tersebut,
sebenarnya istri terdakwa harus di operasi akan tetapi kondisi istri terdakwa
tidak memungkinkan untuk di operasi karena terlalu berisiko sementara dari
rumah sakit sendiri sudah tidak ada lagi penanganan medis; kedelapan, setelah menjalani berbagai macam pengobatan tersebut
kondisi istri terdakwa tidak kunjung membaik dan semakin parah bahkan tidak
bisa makan; kesembilan, bahwa benar
kemudian terdakwa mendapatkan artikel mengenai ganja di internet; sepuluh, ganja yang ditanam oleh
terdakwa tersebut kemudian digunakan untuk mengobati istri terdakwa; sebelas, ganja yang ditanam oleh
terdakwa tersebut kemudian diolah yaitu bunga ganja tersebut menjadi ekstrak[4] atau minyak yang dioleskan
di luka istri terdakwa yang terdapat di punggung istri terdakwa dan ada juga
yang dicampur ke dalam makanan istri terdakwa sedangkan gaun ganja tersebut
diolah dan dicampurkan ke dalam minuman istri terdakwa dengan cara dijadikan
jus; dua belas, untuk mendapatkan
ekstrak ganja sebanyak 3 ml dibutuhkan 4 batang pohon dan ekstrak ganja
sebanyak 3 ml dapat digunakan selama seminggu; tiga belas, pada tanggal 25 Maret 2017 istri terdakwa meninggal
dunia pada saat terdakwa berada dalam tahanan; empat belas, benar terdakwa tidak pernah terlibat peredaran
narkotika jenis ganja tersebut, terdakwa juga tidak pernah menggunakan
narkotika tersebut untuk dirinya sendiri, ganja tersebut digunakan terdakwa
untuk mengobati istrinya yang sedang sakit, terdakwa juga mengetahui tanaman
ganja tersebut dilarang di Indonesia dari Undang-undang Narkotika, terdakwa
juga pernah menyampaikan masalah ganja ini kepada teman terdakwa yang bekerja
di BNN Sanggau namun hal tersebut hanya sebatas obrolan saja dan tidak pernah
diajukan permohonan untuk penggunaan ganja secara resmi; lima belas, bahwa benar pada saat sebelum terdakwa ditangkap
terlebih dahulu terdakwa memerintahkan adik terdakwa agar mencabut dan membuang
tanaman ganja tersebut dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang
berwenang terkait narkotika jenis ganja tersebut.[5]
Mencermati hal di atas, sebelum Majelis Hakim
menjatuhkan putusan, terlebih dahulu hakim mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Keadaan yang memberatkan terdakwa
yaitu terdakwa tidak mendukung program Pemerintah dalam pemberantasan
Narkotika, sedangkan keadaan yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum
pernah dihukum, terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa
menggunakan narkotika tersebut untuk mengobati istrinya, terdakwa merupakan
tulang punggung keluarga dan tumpuan terakhir anak-anaknya setelah istrinya
meninggal.[6]
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
memutuskan Pertama, Menyatakan
terdakwa Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan
melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa
dan mengedarkan narkotika golongan I jenis ganja”; Kedua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena itu dengan
pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000
(satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; ketiga, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; keempat, menetapkan agar terdakwa tetap ditahan; kelima, menetapkan barang bukti berupa
sebagaimana yang disebutkan ada yang dirampas untuk dimusnahkan, 1 (satu) buah
Kartu Tanda Penduduk atas nama Fidelis Arie Sudewarto dikembalikan kepada
terdakwa, 1 (satu) buah motor Honda Vario Warna Putih dengan nomor polisi KB
3235 UY, 1 (satu) buah STNK dengan nomor polisi KB 3235 UY dikembalikan kepada
saksi Tri Raman Jaya; keenam, membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah).[7]
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, hal yang akan
dikaji dalam putusan ini adalah mengenai tujuan hukum sebagaimana termaktub
dalam putusan serta apakah Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag,[8] mengenai Tindak Pidana
Penggunaan Narkotika Golongan I ini dapat dikategorikan sebagai putusan yang
progresif ?
Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan masalah berupa
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Spesifikasi dalam Penelitian ini adalah penemuan Hukum In
Concreto dengan sumber Bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Metode Pengumpulan Bahan hukumnya meliputi metode Kepustakaan dan
dokumentasi. Metode Penyajian Bahan Hukum dengan cara mereduksi, kategorisasi
dan display dan dianalisis secara normatif kualitatif dengan menggunakan jenis
interpretasi gramatikal, sistematis dan teleologis.
Pembahasan
1.
Pengertian Narkotika
Istilah narkotika[9]
bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu maraknya berita yang
berkaitan dengan narkotika baik dari media cetak maupun elektronik dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Kata “narkotika” berdasarkan Black`s Law Dictionary karangan Bryan A. Garner yang diterbitkan oleh West Publishing pada edisi ke sembilan tahun 2004, narkotika merupakan obat adiktif dari tanaman candu yang dapat mengendalikan, menumpulkan panca indera dan menginduksi orang untuk tidur, obat ini dilarang oleh hukum. Narkotika menurut keterangan penjelasan dari Merriam Webster adalah A drug (as opium or morphine) that in moderate closes dulls the senses, relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or convulsions;[10] A drug (marijuana or LSD) subject to restriction similar to that of addictive narcotics whether phsysiologically addictive and narcotic or not;[11] Something that soothes, relives, or lulls.[12]
berkaitan dengan narkotika baik dari media cetak maupun elektronik dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Kata “narkotika” berdasarkan Black`s Law Dictionary karangan Bryan A. Garner yang diterbitkan oleh West Publishing pada edisi ke sembilan tahun 2004, narkotika merupakan obat adiktif dari tanaman candu yang dapat mengendalikan, menumpulkan panca indera dan menginduksi orang untuk tidur, obat ini dilarang oleh hukum. Narkotika menurut keterangan penjelasan dari Merriam Webster adalah A drug (as opium or morphine) that in moderate closes dulls the senses, relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or convulsions;[10] A drug (marijuana or LSD) subject to restriction similar to that of addictive narcotics whether phsysiologically addictive and narcotic or not;[11] Something that soothes, relives, or lulls.[12]
Menurut William Benton, secara
terminologis, narcotic is general term for substances that produce lethargy or
stuper or the relief of pain. “Narkotika adalah suatu istilah umum untuk semua
zat yang mengakibatkan kelemahan/pembiusan atau mengurangi rasa sakit”.
Soedjono, dalam patologi sosial,
merumuskan definisi narkotika sebagai berikut: Narkotika adalah bahan-bahan
yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran.
Smith Kline dan French Clinical memberikan
definisi narkotika sebagai berikut “Narcotic are drugs which
produce insensibility or stupor due to their depressant effect on then central
system. Included in this definition are opium, opium derivatives (morphine,
codien, heroin) and synthetic opiates (meperidin dan methadon)”.
Narkotika adalah zat-zat yang dapat
mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut
bekerja mempengaruhi susunan pusat syaraf. Dalam definisi narkotika ini sudah
termasuk jenis candu, seperti morpin, cocain dan heroin atau zat-zat yang
dibuat dari candu, seperti (meridian dan methadon). Menurut istilah kedokteran, narkotika
adalah obat yang dapat menghilangkan terutama sakit dan nyeri yang berasal dari
daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat
menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta
menimbulkan adiksi atau kecanduan.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, Pasal 1 angka, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat
atau obat yang berasal dari tanaman yang dapat menyebabkan penurunan dan
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam undang-undang ini. Ketentuan dalam Pasal 6 menentukan bahwa
Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.[13]
Menurut Gatot Supramono
lebih menekankan pada adanya ruang lingkup narkotika yang dipersempit, yaitu
zat dan obat yang bukan narkotika, dengan maksud agar tidak berbenturan dengan
ruang lingkup narkotika. Obat-obatan sebagaimana dimaksud memiliki kasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan mempunyai
hubungan kausalitas pada aktivitas mental dan perilaku penggunanya.[14] Pada dasarnya, narkotika
memiliki khasiat dan bermanfaat digunakan dalam bidang ilmu kedokteran,
kesehatan dan pengobatan, serta berguna bagi penelitian dan pengembangan ilmu
farmasi atau farmakologi. Akan tetapi karena penggunaannya di luar pengawasan
dokter atau dengan kata lain disalah gunakan, maka narkotika telah menjadi
suatu bahaya internasional yang mengancam terutama generasi muda yang akan
menjadi tulang punggung pembangunan bangsa.[15]
Mencermati hal di atas,
diperlukan upaya strategis guna menanggulangi permasalahan penyalahgunaan
narkotika, salah satunya dengan melalui proses pemidanaan. Dalam kaitan ini,
proses pemidanaan telah menjadi hal yang substansial, di samping sebagai salah
satu pokok permasalahan dalam hukum pidana, masalah pidana dan pemidanaan baik
dalam bentuk teori-teori pembenaran pidana maupun dalam bentuk kebijakan dipandang
sangat penting, sebab melalui pemidanaan akan tercermin sistem nilai-nilai
sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi suatu bangsa terhadap
hak-hak asasi manusia.
Dalam hal ini, di antara kegiatan-kegiatan dalam sistem peradilan pidana, kegiatan pemeriksaan di pengadilan (tahap) ajudikasi merupakan kegiatan yang paling dominan, di mana hakim akan memeriksa dan menentukan putusan secara objektif berdasarkan bahan-bahan pemeriksaan di muka sidang pengadilan berdasarkan keyakinannya.
Dalam hal ini, di antara kegiatan-kegiatan dalam sistem peradilan pidana, kegiatan pemeriksaan di pengadilan (tahap) ajudikasi merupakan kegiatan yang paling dominan, di mana hakim akan memeriksa dan menentukan putusan secara objektif berdasarkan bahan-bahan pemeriksaan di muka sidang pengadilan berdasarkan keyakinannya.
Dalam konteks pemeriksaan perkara di muka pengadilan,
pertama-tama hakim akan melakukan tindakan, yaitu hakim akan memeriksa mengenai
peristiwanya ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan;
kedua, hakim akan menentukan keputusannya ialah apakah perbuatan yang
didakwakan itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan atau bersalah; ketiga, hakim menentukan pidananya apabila
memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dipidana.
Berdasarkan hal tersebut, peran dan tugas hakim bukan hanya sebagai pembaca deretan huruf dalam undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Tetapi dalam putusannya memikul tanggung jawab menjadi suara akal sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam kompleksitas dan dinamika kehidupan masyarakat. Hakim progresif akan mempergunakan hukum yang terbaik dalam keadaan yang paling buruk.[16]
2.
Sekilas karakter hukum progresif
Sebelum kemudian kita menguji apakah Putusan Hakim No.
111/Pid. Sus/2017/PN Sag, mengenai Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan
I berkarakter progresif atau tidak maka alangkah lebih baiknya kita mengetahui
tentang karakter hukum progresif. Satjipto Rahardjo mengemukakan pandangannya tentang fungsi
hukum sebagai alat bagi masyarakat yang disebutnya dengan hukum progresif. Aliran
hukum progresif menekankan penafsiran hukum sebagai upaya menggali nilai-nilai
yang hidup di masyarakat sehingga tercipta sebuah putusan yang adil.[17] hukum progresif juga menawarkan
satu cara pandang baru dalam berhukum yaitu dengan melibatkan hati nurani. Berangkat
dari definisi tersebut, terdapat 2 (dua) pokok penekanan Hukum Progresif yaitu hukum
merupakan institusi atau alat dan hukum memiliki tujuan agar adil, sejahtera
dan bahagia. Posisi manusia dalam definisi tersebut lebih menjadi ‘tuan’ yang
dilayani oleh hukum agar dapat menikmati keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Seperti halnya sebuah alat apabila tidak lagi berfungsi dengan baik (yang
diukur dari hasil yang ditunjukkan) maka alat itu pun dapat dibuang oleh sang ‘tuan’
yaitu manusia. Dalam konsep hukum progresif, posisi manusia menjadi sentral utama
dalam menilai hukum apakah benar dan baik ataukah sebaliknya. Implikasinya ketika
manusia dalam setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan
kebutuhan kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut.
Hukum Responsif atau progresif yaitu hukum yang merupakan
sarana respons atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Konsep
hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik, bahwa sering kali hukum
tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita
keadilan. Konsep ini juga merupakan suatu usaha untuk mengintegrasikan kembali teori
hukum, filsafat politik, dan penelaahan sosial. Tesis yang diajukan oleh Nonet
dan Selznik bukanlah suatu teori yang mampu menyelesaikan semua problem
praktis. Namun, tesis tersebut memberikan suatu perspektif dan kriteria untuk
mendiagnosis dan menganalisis problem-problem hukum dan masyarakat dengan
penekanan khusus atas dilema-dilema institusional dan pilihan-pilihan
kebijaksanaan yang kritis.[18]
3. Analisis
Putusan
Untuk
mengetahui suatu putusan dapat dikategorikan sebagai putusan yang progresif
atau tidak, maka batu ujinya adalah nilai kepastian, keadilan dan
kemanfaatan hukum. Kepastian hukum erat kaitannya dengan
sinkronisasi putusan hakim dengan sumber hukum yang berlaku, baik peraturan
perundangan, yurisprudensi, doktrin, traktat, maupun kebiasaannya. Aspek
kepastian hukum dilihat dari prosedur hukum acara pidana dan asas yang
digunakan oleh hakim, maka pada dasarnya dalam putusan ini telah memuat hal-hal
yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 197 jo. Pasal 199 KUHAP.[19]
Putusan ini pun telah didukung oleh dua alat bukti[20] yang sah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
183 jo. Pasal 185 KUHAP, penerapan hukum pembuktiannya telah sesuai dengan
undang-undang dan terdakwa telah diberi hak untuk didampingi penasihat hukum[21] sesuai dengan
ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Selain dari melaksanakan hukum acara pidana
tersebut, terdapat pula asas-asas persidangan yang di gunakan dalam putusan ini
meliputi asas persidangan terbuka untuk umum, pemeriksaan secara langsung, asas
pembelaan dan asas obyektivitas. Dilihat dari aturan yang digunakan, maka dapat
dikatakan bahwa pada dasarnya hakim telah mempertimbangkan Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Dalam kasus Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo didakwa
karena melanggar UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggunakan model
dakwaan alternatif yaitu melanggar Pasal 113 ayat (2)[22]; Pasal 111 ayat (2)[23]; dan Pasal 116 ayat (1)[24] Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Terhadap dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum telah menuntut
Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo dengan tuntutan 5 (lima)
bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta) subsider satu bulan
penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Namun karena dakwaan
berbentuk alternatif maka Majelis Hakim memilih dakwaan ketiga yaitu penerapan
Pasal 116 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan hal
tersebut, maka adalah benar apabila Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa
Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana ”Tanpa Hak Dan Melawan Hukum Menggunakan
Narkotika Golongan I Terhadap Orang Lain”. Namun demikian dari aspek kepastian
hukum yang mengacu pada peraturan perundang-undangan Majelis Hakim belum
sepenuhnya memenuhi ketentuan Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Majelis Hakim cenderung mengabaikan ketentuan lain yang tersebar di
berbagai literatur perundang-undangan, misalnya saja bahwa dalam ketentuan KUHP
disebutkan Alasan pembenar diatur dalam Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49
ayat (1) (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan
Pasal 51 (1) (perintah jabatan). Pada bagian ini apa yang dilakukan terdakwa
dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang didorong oleh karena adanya daya
paksa karena adanya keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana”.
Doktrin daya paksa dalam Pasal 48 KUHP juga menjelaskan jika si
pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang
lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia
didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia
melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat
si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong
dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang. Apa yang telah
disampaikan di atas, maka apa yang dilakukan Fidelis dapat masuk dalam
kualifikasi alasan pembenar sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP. [25]
Uraian
di atas menggambarkan bahwa putusan yang dijatuhkan pada terdakwa (Fidelies)
harusnya berdasarkan alasan-alasan yang lebih rasional meliputi penggunaan
sumber hukum lain berupa doktrin dan yurisprudensi dan sebagainya yang masih
terkait. Selain dari itu, dalam menentukan putusan dilihat dari aspek substansi
hukum, maka pemaknaannya lebih luas daripada sekedar stelsel norma
formal (formele normenstelsel). Dalam hal ini, Friedman memasukkan pola-pola
perilaku sosial dan norma-norma sosial selain hukum sehingga termasuk juga
etika sosial seperti asas-asas kebenaran dan keadilan.[26]
Jadi, yang disebut komponen substansi hukum di sini adalah semua asas dan norma
yang dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam kasus ini, misalnya,
substansi hukum meliputi Undang-undang No. 35 Tahun 2009 dapat ditambahkan dengan
asas-asas hukum tidak tertulis lainnya seperti pelanggaran norma-norma yang
disebut dengan nilai-nilai kebiasaan atau tradisi, termasuk juga asas kepatutan
dan kebenaran yang telah hidup mengakar pada masyarakat.
Pada
dasarnya tidak ada suatu perkara pidana dapat diadili secara serta merta karena
melanggar ketentuan hukum pidana. Perkara pidana yang lebih bersifat konkret dengan
berbagai konteksnya sangat berbeda jauh dengan ketentuan hukum pidana yang
bersifat abstrak. Penafsiran menjadi jembatan penting dalam penerapan ketentuan
hukum yang tepat sehingga terbentuklah penegakan hukum yang baik. Perkembangan manusia
dan interaksinya dalam memenuhi kebutuhan yang pada akhirnya menciptakan berbagai
macam kejahatan dan pelanggaran ternyata tidak semuanya diatur dalam ketentuan
hukum yang berlaku. Ketentuan hukum sering kali sudah banyak tertinggal dengan
kemajuan-kemajuan masyarakat. Bukan berarti dalam hal ini telah terjadi
kekosongan hukum tetapi hukum yang ada harus diisi dan ditemukan lebih lanjut
melalui penemuan hukum. Penafsiran hukum merupakan proses mencari dasar hukum
yang tepat untuk mengadili suatu perkara yang belum jelas ketentuan hukum yang
mengaturnya. Kenyataannya, sejak Indonesia merdeka hingga sampai saat ini
penegakan hukum selalu menjadi masalah utama yang dikeluhkan masyarakat.
Banyaknya kasus hukum yang tidak diselesaikan atau selesai dengan akhir yang
kurang memuaskan membuat hukum semakin tidak dipercaya masyarakat sebagai alat
mencari keadilan.[27]
Pada
akhirnya, jika kemudian pertanyaannya tertuju pada putusan kasus di atas apakah
dapat dikategorikan sebagai putusan progresif atau tidak dari aspek kepastian
hukum, maka penulis dapat menyampaikan bahwa hal tersebut belum memenuhi
kriteria karakter hukum progresif sebab putusan Majelis Hakim tersebut gagal
berimprovisasi untuk menemukan hukum, meskipun kepadanya melekat kekuasaan
untuk menemukan hukum sebagaimana yang telah di uraikan di atas. Putusan
Majelis Hakim dalam kasus di atas lebih pada pola pikir yang masih terkungkung
dalam pikiran legalisticpositivistik. Kondisi inilah yang semakin membuat hukum menjadi terpuruk dan pada
akhirnya sulit mendapat tempat di hati masyarakat karena sama sekali tidak
memberikan jawaban atas kebutuhan hukum yang berkeadilan.
Kemudian
yang selanjutnya adalah apakah Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag, telah memenuhi unsur keadilan
sebagaimana yang diharapkan atau belum. Sebagaimana diketahui bahwa Jaksa
Penuntut Umum telah menuntut Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo
dengan tuntutan 5 (lima) bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus
juta) subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2)
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun kemudian Majelis Hakim memutuskan
Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum
menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan
narkotika golongan I jenis ganja”; Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena
itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp.
1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; Menetapkan
masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana
yang dijatuhkan; Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan; Menetapkan barang
bukti berupa sebagaimana yang disebutkan ada yang dirampas untuk dimusnahkan, 1
(satu) buah Kartu Tanda Penduduk atas nama Fidelis Arie Sudewarto dikembalikan
kepada terdakwa, 1 (satu) buah motor Honda Vario Warna Putih dengan nomor
polisi KB 3235 UY, 1 (satu) buah STNK dengan nomor polisi KB 3235 UY
dikembalikan kepada saksi Tri Raman Jaya; keenam, membebankan kepada terdakwa
untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah).
Menurut Dr. Syarif Hasyim Azizurahman, S.H., M. Hum. Jika
dicermati vonis hukuman yang dijatuhkan pada Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk
Anak Fx Surajiyo jauh lebih ringan dari ancaman hukuman pidana minimal 5 (lima)
tahun penjara hal ini tentunya bahwa hakim tidak hanya melihat
prinsip kepastian hukum tetapi juga keadilan hukum. Dalam posisi di mana ada
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka yang harus didahulukan
adalah prinsip keadilan hukum. Prinsip keadilan hukum
sudah diterapkan dalam kasus ini. Sesuai undang-undang.
Karena Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut 5 (lima) bulan dan Majelis Hakim
memutus 8 (delapan) bulan penjara, maka pengadilan sebenarnya sudah mengarah ke
keadilan hukum. Sangat sulit untuk berharap hukuman bebas murni, karena ada
unsur yang terbukti. Dalam kasus ini baik Jaksa Penuntut Umum Maupun Majelis
Hakim
sudah mempertimbangkan posisi kasus ini yang tujuannya bukan untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain, tetapi dalam kapasitas penyembuhan. Karena itu,
vonis 8 (delapan) bulan penjara akhirnya dijatuhkan, tanpa melihat bahwa sesuai
aturan hukuman minimalnya 5 (lima) tahun penjara.
Pada
penerapan hukuman sepertinya Majelis Hakim tidak kaku mengikuti
undang-undang yang berlaku. Apresiasi yang sama juga diberikan kepada penegak
hukum yang lain termasuk Jaksa Penuntut Umum yang mempertimbangkan alasan dan
tujuan Fidelis menanam ganja, yaitu sebagai bagian dari upaya penyembuhan
istrinya.
Jika
dilihat dari sudut pandang Majelis Hakim atau Jaksa Penuntut Umum, ini adalah
keputusan yang progresif. Tetapi kalau dari sisi terdakwa memang belum, karena
keinginan dari terdakwa adalah dibebaskan. Namun demikian dari gambaran kasus
ini, kita sudah melihat ada arah untuk mempertimbangkan asas hukum yang
progresif tadi. Meskipun belum bisa memuaskan semua pihak, terutama dari pihak
terdakwa.[28]
Namun
demikian apabila ajaran perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederechtelijkheid)
dalam fungsi negatif dapat diterapkan dalam kasus aktual. Ajaran hukum ini pada
intinya menggariskan, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi unsur formil
suatu pasal undang-undang (perbuatannya formil melawan hukum), maka tidak
selalu pelaku dapat dipidana jika ada perkecualian berdasarkan aturan hukum
tidak tertulis atau materiil tidak melawan hukum. Dengan
kata lain, penerapan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif
merupakan alasan penghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan (straftuitsluitings
grond) atau alasan pembenar atau menghalalkan perbuatan yang merupakan
suatu tindak pidana (rechtvaardigings grond). Sisi materiil yang dapat
menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan adalah pandangan hukum atau
kesadaran hukum masyarakat bahwa perbuatan tersebut tidaklah tercela atau dapat
dibenarkan.
Adapun
kriteria dan
syarat penerapan ajaran hukum materiil dalam fungsi positif
dapat dirujuk pendapat ahli hukum terkemuka, seperti Th. W. Van Veen,
Langemeyer dan J.M. Van Bemmelen. Menurut Th. W. Van Veen, kriterianya pendapat
hakim bahwa pembentuk undang-undang sendiri andai menghadapi persoalan ini
sudah pasti dibuatnya perkecualian atau hakim berpendapat perbuatan terdakwa
memiliki tujuan yang baik dan dapat dibenarkan.
Sementara
Langemeyer dan Van Bemmelen ajukan kriteria perbuatan terdakwa lebih
menguntungkan dibanding merugikan. Pada awalnya, ajaran melawan hukum
materiil dalam fungsi negatif pertama kali diterapkan dalam kasus aktual dalam
perkara yang dikenal dengan Arrest Dokter Hewan di kota Huizen, Belanda, berdasarkan
putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tanggal 20 Februari 1933. Seorang
dokter hewan mencampur 7 ekor sapi sehat ke dalam kumpulan sapi yang telah
terjangkit penyakit, dengan pertimbangan supaya ke 7 ekor sapi tersebut tidak
terjangkiti penyakit saat mengeluarkan susu, sebab jika sampai sapi-sapi itu
diserang penyakit menular itu ketika mengeluarkan susu maka sapi-sapi itu akan
mengalami penderitaan yang amat sangat dan lebih rawan menularkan secara lebih
luas lagi. Cuma itu satu-satunya jalan. Pemilik sapi menuntut si dokter hewan
berdasarkan Pasal 82 Veetwet (undang-undang tentang Hewan) karena semua sapinya
terjangkiti penyakit menular. Di tingkat pertama dan banding, si dokter hewan
dinyatakan bersalah. Namun di tingkat Hoge Raad, hakim membebaskan dokter hewan
tersebut. Alasan Mahkamah Agung Belanda, barang siapa melakukan suatu perbuatan
yang memenuhi rumusan pasal undang-undang tidak selalu harus dijatuhi pidana,
meskipun tidak terdapat pengecualian di dalam undang-undang, apabila perbuatan
tersebut secara materiil tidak tercela. Atas dasar itu, sekalipun perbuatan
dokter hewan itu telah jelas-jelas memenuhi unsur Pasal 82 Veetwet, akan tetapi
perbuatan dokter hewan itu dapat dibenarkan sehingga perbuatannya tidak
mengandung sifat melawan hukum secara materiil, karena perbuatan dokter hewan
itu telah sesuai dengan pengetahuan keahliannya.
Oleh
karena sistem hukum pidana umum Indonesia mengadopsi hukum pidana Belanda, maka
ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tersebut, pun, berlaku dalam
kasus-kasus aktual di Indonesia. Ambil contoh perbuatan petugas kesehatan atau
penyuluh yang menyebarluaskan alat-alat pencegah kehamilan, ini jelas melanggar
Pasal 283 Ayat (1) KUHP, sehingga perbuatan ini formil melawan hukum, akan
tetapi secara materiil tidaklah tercela atau tidak melawan hukum atau dapat
dibenarkan atau dapat diterima, karena keluarga berencana (KB) merupakan
program Nasional.
Dalam
kasus Fidelis Arie Sudewarto yang menanam atau memiliki 39 batang ganja, jelas
memenuhi unsur atau melanggar Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3)
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jadi formil melawan hukum, akan tetapi
secara materil tidaklah tercela atau dapat dibenarkan karena ganja itu
dipergunakan untuk mengobati penyakit Syringomyeila yang diderita istrinya. Pengobatan
penyakit Syringomyeila dengan menggunakan ekstrak ganja telah dikenal luas di
dunia. Fidelis terbukti menggunakan ekstrak ganja untuk mengobati istrinya,
bukan untuk yang lain. Kecuali ada bukti bahwa ganja yang ditanam Fidelis
tersebut digunakan sendiri oleh yang bersangkutan untuk kesenangan pribadi atau
dijual untuk mendapatkan manfaat ekonomis, maka dalam kasus begini jelas
memenuhi unsur pasal sekaligus tercela secara materiil. Namun yang terjadi
tidak demikian. Dalam kasus begini, idealnya, hakim berani memutus terdakwa
dengan vonis bebas dengan alasan perbuatan tersebut formil melawan hukum tapi
materiil dapat dibenarkan, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat. Jangan
lupa (harus selalu diingat) pondasi filosofis ini. Bahwa setiap putusan hakim
selalu diawali dengan irah-irah frase berbunyi "Untuk Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Bismar Siregar, irah-irah itu bermakna
sumpah yang merupakan roh putusan. Dengan demikian, putusan hakim selalu untuk
keadilan, bukan untuk hal lain, termasuk bukan untuk undang-undang. Pun, Pasal
5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berikut penjelasan
pasalnya telah mewanti-wanti agar hakim dalam membuat putusan mengikuti
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Norma hukum
ini untuk mengantisipasi hakim terjebak menjadi semata-mata corong
undang-undang dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Mengapa
penting? Sebab, tujuan tertinggi dari hukum adalah sarana atau alat untuk
menghadirkan keadilan. Hukum bukan untuk hukum itu sendiri. Jadi, adalah
tercela jika hakim semata-mata menjadi corong undang-undang dengan mengabaikan
asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat. Memutus Fidelis bersalah karena
perbuatannya dinilai telah memenuhi unsur Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat
(1) dan (3) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah jelas hakimnya
menganut pandangan formil dan lebih mementingkan undang-undang atau menjadi
corong undang-undang ketimbang asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat.[29]
Penutup
Berdasarkan
analisis tersebut di atas, dapat ditarik simpulan dalam putusan ini hakim telah
mengakomodir prosedur hukum acara pidana, asas-asas umum persidangan, dan telah
membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan terdakwa.
Namun hakim belum
sepenuhnya mengakomodir ketentuan atau aturan perundang-undangan yang terkait
dengan masalah di atas. Selain itu, hakim juga tidak menggunakan sumber hukum
lain berupa doktrin, yurisprudensi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal kepastian hukum penulis berpandangan bahwa Putusan Hakim No. 111/Pid.
Sus/2017/PN Sag, belum dapat dikatakan putusan yang progresif karena hakim
tidak menggali ketentuan-ketentuan yang lain selain yang ada dalam
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun demikian pada unsur
keadilan jika mengikuti perspektif Majelis Hakim dapatlah dikatakan bahwa
putusan tersebut cukup progresif karena jarang terjadi putusan yang dijatuhkan
lebih rendah dari ancaman hukuman minimal meskipun ada juga alasan dan
ketentuan lain yang diabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Christianto., Hwian
“Penafsiran Hukum Progresif Dalam Perkara Pidana” dalam Mimbar Hukum, Vol. 23
No. 3, Oktober 2011.
Desiarto., Kurniawan “Menggagas Hukum Post-Represif
(Suatu Alternatif Penegakan Hukum)” dalam Majalah Komisi Yudisial, edisi
Januari-Maret 2017. Hlm. 18-19.
Hanandi.,
Saryono “Analisis Putusan Hakim Nomor 113/Pid.B/2007/PN.Pml
tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika” dalam Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 10. No. 1 Januari 2010.
Lawrence M. Friedman., Bace, 1984, American Law: An
Introduction New York:W.W. Norton & Co, 1984.
Supramono.,
Gatot Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/54d10901a7a6f1d6d050396416f81cc2.
Diakses tanggal 15 Oktober 2018, jam 10.00 Wib.
https://www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-narkotika.html.Diakses
tanggal 15 Oktober 2018, jam 17.00, Wib.
http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-narkotika.html.
Diakses tanggal 15 Oktober 2018, jam 20.25, Wib.
https://www.kompasiana.com/sutomopaguci/59928c70b7687c0d6834af52/fidelis-divonis-bebas-andai-hakim-gunakan-ajaran-hukum-ini?page=2,
diakses tanggal 18 Oktober 2018, Jam 23.30 Wib.
http://icjr.or.id/. diakses pada tanggal 19
Oktober 2018, Jam 10.00 Wib.
[1] Tugas Akhir Mata Kuliah Teori
Hukum, Dosen Dr. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Ignatius Pradipa,
S.H., M.Kn.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana
Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Trisakti
[3] Syringomyelia adalah tumbuhnya
kista berisi cairan (syrinx) di dalam sumsum tulang belakang. Cairan ini
terbentuk dari kumpulan cairan pelindung di otak dan sumsum tulang belakang
yang disebut dengan cairan serebrospinal.
[4] Ekstrak yang dimaksud di sini
adalah zat yang dihasilkan dari ekstraksi bahan mentah dalam mhal ini bunga
ganja yang kemudian menjadi bahan baku untuk dan digunakan secara langsung oleh
terdakwa untuk mengobati luka-luka istrinya.
[5] Tentang fakta-fakta hukum dapat
dibaca pada halaman 44-46 pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.
[6] Hal-hal yang memberatkan dan juga
meringankan dapat dibaca pada halaman 61 pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid.
Sus/2017/PN Sag.
[7] Penjelasan hal tersebut dapat
ditemukan pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid.
Sus/2017/PN Sag. Pada poin Mengadili, hlm. 61.
[8] https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/54d10901a7a6f1d6d050396416f81cc2. Diakses tanggal 15 Oktober 2018,
jam 10.00 Wib.
[9]
Secara etimologis narkotika berasal dari
bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan.
Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti
terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan
narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius. Secara
terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah
obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa
mengantuk atau merangsang.
[10] Sebuah
obat (seperti Opium atau Morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menimbulkan
indra, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis
berlebihan menyebabkan pingsan, koma, atau kejang.
[11] Sebuah
obat (seperti ganja atau LSD) tunduk pada larangan yang sama dengan narkotika
adiktif apakah secara fisiologis adiktif dan narkotika atau tidak;
[12] Sesuatu
yang menerangkan, menghidupkan kembali, atau membodohi.
[13] https://www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-narkotika.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2018,
jam 17.00 Wib.
[14] Baca Gatot Supramono, 2001, Hukum
Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, hlm.17
[15] http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-narkotika.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2018,
jam 20.25 Wib.
[16] Saryono Hanandi
“Analisis Putusan Hakim Nomor 113/Pid.B/2007/PN.Pml
tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika” dalam Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 10. No. 1 Januari 2010. Hlm. 9.
[17] Keadilan menjadi sebuah kebutuhan
hakiki bagi semua orang di mana pun berada terlebih saat berada dalam
permasalahan hukum. Mengingat penafsiran hukum progresif lebih menekankan
kepentingan masyarakat daripada kepastian hukum, hal tersebut jelas memiliki dampak
serius. Pemahaman hukum menurut Hukum Progresif menegaskan: “Hukum adalah suatu
institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
sejahtera dan membuat manusia bahagia.”
[18] Kurniawan Desiarto “Menggagas
Hukum Post-Represif (Suatu Alternatif Penegakan Hukum)” dalam Majalah Komisi
Yudisial, edisi Januari-Maret 2017. Hlm. 18-19.
[19] Baca UU RI No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana
[20] Barang bukti yang sah dapat
dilihat pada penetapan putusan, hlm. 62-63.
[21] Terdakwa didampingi oleh Marcelina
Lin, SH, sebagai Penasihat Hukumnya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal
19 April 2017 dan di daftarkan pada Kepaniteraan Negeri Sanggau dengan Nomor
23/SK/V/2017/PN Sgu tanggal 2 Mei 2017.
[22] Pasal 113 ayat
(2) berbunyi Dalam hal perbuatan memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).
[23] Pasal 111 ayat
(2) berbunyi Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga)
[24] Pasal 116 ayat
(1) berbunyi Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
[25] http://icjr.or.id/. diakses pada
tanggal 19 Oktober 2018, Jam 10.00 Wib.
[26] Baca Lawrence M. Friedman, 1984, American
Law: An Introduction New York:W.W. Norton & Co, hlm.5
[27] Hwian Christianto “Penafsiran Hukum Progresif Dalam Perkara Pidana” dalam
Mimbar Hukum, Vol. 23 No. 3, Oktober 2011, hlm. 479.
[29]https://www.kompasiana.com/sutomo-paguci/59928c70b7687c0d6834af52/fidelis-divonis-bebas-andai-hakim-gunakan-ajaran-hukum-ini?page=2, diakses tanggal 18 Oktober 2018,
Jam 23.30 Wib.
Salam pak Fadli, menarik sekali analisa bapak terkait kasus hukum di atas. Analisis tersebut sangat menambah wawasan dan pengetahuan saya. Terima kasih. (Wendy A)
BalasHapusTerimakasih Pak Wendy, semoga bermanfaat.
Hapus