SEKILAS PERJALANAN ILEGAL LOGGING DAN INSTRUMEN HUKUM YANG
MENGATURNYA.
Oleh:
FADLI
Materi ini
disampaikan dalam Kegiatan Pelatihan Para Legal “Pemahaman Proses Penanganan Kasus Hukum
Ilegal Logging dan Peluang Monitoring oleh Masyarakat”
tanggal 18 – 19 Desember 2008.
A.
Perjalanan Eksploitasi Hutan
Kegiatan eksploitasi hutan tercatat telah dimulai pada era antara tahun 1965-1970 yang dilakukan oleh masyarakat, era tersebut dikenal dengan era “banjir kap” di mana kegiatan eksploitasi hutan dilakukan secara bebas dan hampir tidak ada mekanisme kontrol[1]. Jaman banjir kap kayu-kayu yang ada dipinggir sungai ditebang secara tidak resmi dan dibawa kepada pembeli lewat sungai. Pekerjaan menebang kayu merupakan salah satu pendapatan bagi masyarakat sekitar dan juga masyarakat di sekitar hutan[2]. Di era tersebut belum ada peraturan perundangan yang memadai, sehingga sulit dikatakan bahwa aktivitas masyarakat menebang kayu dikategorikan perbuatan ilegal atau kejahatan kehutanan. Pengaturan pengusahaan hutan dimulai pada awal 1970-an, melalui pemberian izin pengusahaan hutan oleh pemerintah kepada badan-badan usaha yang berbadan hukum dan memiliki kapital yang memadai. Model pertama izin pengusahaan hutan adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang kemudian bertambah dan berkembang dalam bentuk lain seperti Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK), Hak Izin Pengusahaan Hasil Hutan (HIPHH), dan sebagainya.
Melalui
izin pengusahaan hutan tersebut, praktik eksploitasi hutan dibekali dengan aturan
dan perundangan yang memuat sistem pengelolaan dan pemanfaatan, kewajiban dan
sanksi dengan satu sasaran yaitu tercapainya asas kelestarian sumber daya alam.
Dalam perjalanannya selain memberi dampak positif pengelolaan dan pemanfaatan
hutan juga memberi dampak negatif yang mengakibatkan terdegradasinya sumber daya
hutan, baik diakibatkan oleh pelanggaran maupun karena ekses perubahan atau
proses penyempurnaan terhadap sistem pengelolaan itu sendiri[3].
Proses perusakan hutan sesungguhnya telah dimulai dari awal praktik eksploitasi
dilakukan, baik pada era banjir kap, era Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hingga era
sekarang. Namun demikian, praktik eksploitasi secara tidak sah (ilegal) dapat
dikatakan baru dimulai sejak era pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada
awal 1970-an. Pada era tersebut telah terjadi praktik ilegal seperti praktik
tebang “cuci mangkok”, penebangan di luar blok tebangan, di dalam kawasan
lindung, melebihi jatah tebangan dan sebagainya serta sebagian lagi praktik
“pencurian” kayu yang dilakukan masyarakat atau oknum dalam manajemen badan
usaha pemegang izin.
Hingga
tahun 1977, praktis dapat dikatakan bahwa praktik-praktik ilegal tersebut belum
terangkat menjadi suatu isu penting dalam perjalanan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan di Indonesia. Praktik-praktik ilegal lebih cenderung dianggap sebagai
sebuah pelanggaran, dengan tingkat penyelesaian yang lebih dominan pada sanksi
administrasi. Istilah ilegal logging pun belum menjadi “trand”, karena aspek keilegalannya
menjadi terbungkus sedemikian rupa dengan legalitas izin pengusahaan dan
legalitas penyelesaian melalui pemberian sanksi administrasi5[4].
B.
Istilah Ilegal Logging dan
Definisinya
Munculnya istilah Ilegal Logging berangkat dari kondisi pengelolaan hutan yang memprihatinkan dan eksploitasi yang dilakukan terus menerus dan dilakukan secara bebas tanpa ada mekanisme kontrol yang memadai. Munculnya istilah tersebut juga dipengaruhi akibat gencarnya sorotan pengolahan hutan pada kurun waktu antara 1998-2004. Pada kurun waktu tersebut perjalanan pengelolaan hutan mendapat sorotan tajam dari dalam maupun luar negeri, di mana telah terjadi ledakan perusakan hutan akibat praktik eksploitasi hutan oleh pelaku-pelaku baru yang tidak memiliki izin atau memanipulasikan izin pemanfaatan. Pada era ini hutan tidak lagi dimaknai sebagai bagian dari salah satu penentu sistem penyangga kehidupan. Hutan secara utuh telah menjadi bagian dari sistem kapitalis yang harus dieksploitasi, sehingga aspek sosial, religi, budaya dan aspek lingkungan hutan sudah menjadi pudar. Di banyak tempat perusakan hutan dalam praktik eksploitasi ini semakin meluas dan telah menjadi tindak pidana yang terorganisir, bahkan sudah menjadi organisasi industri yang dibiayai oleh orang-orang tertentu baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam keprihatinannya, berbagai pakar dan stakeholders barulah kemudian memberi peristilahan pada kondisi tersebut sebagai praktik-praktik “Ilegal Logging”.
Setelah
istilah ilegal logging yang didengungkan oleh para pakar dan stakeholder
mulai menjadi perbincangan dan bahkan perdebatan mengenai
definisi dan terminologinya,
kemudian istilah tersebut semakin populer di kalangan masyarakat,
namun demikian sampai sejauh ini masih tidak ada terminologi
yang jelas dan tegas tentang istilah
ilegal logging. Tidak jelas dan tidak tegasnya definisi ini
menyebabkan berbagai pihak membuat definisi sendiri-sendiri,
yang akhirnya cenderung menonjolkan
aspek dominan dan kepentingannya, sehingga dengan
demikian ruang lingkup definisinya menjadi bermacam-macam[5].
Dari aspek peraturan perundang-undangan,
pendefinisian ilegal logging juga belum mencakup terminologi
yang berkembang. Berbagai peraturan perundangan yang berkaitan
dengan ilegal logging belum ada
yang mengatur secara khusus mengenai ilegal logging[6].
Dari hasil penelusuran dokumen
yang dilakukan, hanya Inpres RI No. 5 tahun 2001 yang secara eksplisit memberi
batasan ruang lingkupnya, yaitu sebagai penebangan kayu liar dan
peredaran hasil hutan ilegal[7].
Sejak itu, semua kegiatan penebangan kayu yang tidak
mendapat ijin penebangan dan perdagangan kayu dari pemerintah
disebut kayu ilegal. Dari berbagai
literatur yang dikumpulkan khususnya peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan ilegal logging (sebagai pendekatan) maka
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
definisi ilegal logging yang mendekati perundang-undangan yang
ada adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap
orang/kelompok orang, atau badan
hukum dalam bidang kehutanan atau perdagangan hasil hutan
berupa:
- Menebang, memanen atau memungut HHK dari kawasan hutan tanpa ijin/hak;
- Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, memiliki atau menggunakan HHK yang diduga dipungut secara tidak sah;
- Mengangkut, menguasai atau memiliki HHK tidak dilengkapi bersama sama SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan);
- Membawa alat berat dan alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut/mengambil HHK di dalam kawasan hutan tanpa izin dari yang berwenang;
- Membawa alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat berwenang[8].
C.
Instrumen Hukum Pemberantasan Ilegal
Logging
Dari hasil penelusuran dokumen yang dilakukan, telah banyak ”rambu-rambu” yang dibuat oleh Pemerintah dalam menanggulangi penyimpangan pemanfaatan hutan agar kelestarian hutan tetap terjaga, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun kebijakan-kebijakan yang bersifat operasional. Tetapi kenyataannya, fakta menunjukkan bahwa perlindungan terhadap hutan agar tetap dilestarikan belum efektif, dibanding tingkat kerusakan hutan yang semakin bertambah. Ilegal Loging tetap marak dimana-mana, kasus demi kasus yang terangkat makin banyak dan makin jelas keterlibatan ”oknum” pejabat Pemerintah bahkan ”oknum” penegak hukum dalam permainan ini.
Praktik
Ilegal Loging ini sangat merugikan negara dan masyarakat
dan merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Dari aspek
hukum, praktik atau perbuatan Ilegal Loging ini
merupakan tindak kejahatan kehutanan yang menyangkut pelanggaran tindak pidana,
perdata, dan administrasi yang oleh Undang-undang telah diatur sanksi terhadap
pelanggaran itu[9]. Adapun peraturan
perundangan yang berkaitan dengan ilegal logging adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 5 tahun
1990 Tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal
19 ayat (1):
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Pasal 21
ayat (1) huruf a.
Setiap orang dilarang untuk mengambil,
menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati.
Pasal 22
(1) Pengecualian
dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk
keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan
dan satwa yang bersangkutan.
(2) Termasuk
dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau
penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin
Pemerintah
(3) Pengecualian
dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula
dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan
kehidupan manusia.
(4) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
ayat (1) dan ayat (3)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Setiap
orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan
dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Pasal 40
(1) Barang
siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
(2) Barang
siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
100.000.000,00(seratus juta rupiah).
(3) Barang
siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(4) Barang
siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) adalah
pelanggaran.
2.
Undang-undang Nomor 23 tahun
1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 1 angka 14
Perusakan
lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan
hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pasal 41
(1) Barang siapa yang secara melawan hukum
dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling
banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
(1) Barang
siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama
tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Jika
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau
luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
3.
Undang-undang Nomor 41 tahun
1999 Tentang Kehutanan
Pasal ayat (1)
Pemanfaatan
hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 28 ayat (2)
Pemanfaatan
hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu,
izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan
kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana
dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan.
(3)
Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau
menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari
tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri
kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi
sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua)
kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali
selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai;
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut
hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima
tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui
atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau
eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil
hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan
hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang
berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil
hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan
untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat
menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau
kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut
tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal
dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Pasal 78
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau
huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3)
huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan,
dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha,
tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana
masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
(15) Semua
hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk
alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Pengganti
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup)
Pasal 1 angka 16 menyebutkan
bahwa:
Perusakan lingkungan hidup adalah
tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 1
angka 17 menyebutkan bahwa:
Kerusakan lingkungan hidup adalah
perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.
Selain
tercatat dalam undang-undang di atas peraturan yang berhubungan dengan
pemberantasan
ilegal logging dapat ditemui juga pada Peraturan pemerintah, Instruksi
Presiden,
dan Keputusan Menteri Kehutanan di antaranya sebagaimana berikut:
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;
- Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu ilegal (ilegal logging);
- Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia;
- Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-II/1994 tentang Perubahan Pasal 5 Keputusan Menteri Nomor 493/Kpts-II/1989 tentang Sanksi Atas Pelanggaran di Bidang Eksploitasi Kehutanan;
- Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 168/Kpts-IV/2001 tentang Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Ramin.
Dari
sekian banyak peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah, khusus yang
menangani
ilegal logging, merupakan bukti nyata bahwa pemberantasan ilegal
logging
telah lama dilakukan, namun upaya tersebut dapat dikatakan masih mengalami
kegagalan.
Fakta menunjukkan kondisi hutan Indonesia makin memprihatinkan. Selain
itu,
hingga saat ini hampir tidak ada dalang atau aktor intelektual yang dihukum
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Menurut
catatan ICW, dari putusan di tingkat Mahkamah Agung (MA) dari tahun 2005-
2008,
aktor pelaku ilegal logging didominasi
oleh petani, operator lapangan, dan sopir sebanyak 78,26 %.
Sedangkan pelaku lain dengan jabatan direktur, komisaris utama dan
pemilik
sawmill 21,74 %. Demikian juga dengan tipologi putusan di tingkat Pengadilan
Negeri
dan Pengadilan Tinggi. 71,43 % kasus yang melibatkan aktor utama divonis bebas, dan 14,29% dihukum di bawah 1
tahun. Dari data tersebut terlihat jelas, bahwa
yang diajukan ke pengadilan mayoritas hanyalah pelaku
ilegal logging kelas midle lower. Kalaupun
ada aktor kakap yang ditangani, jumlahnya hanya
segelintir saja. Ironisnya, kasus besar tersebut akhirnya berujung
putusan
bebas seperti kasus ilegal logging dengan
terdakwa Adelin Lies di Sumatera Utara dan Prasetyo Gow Alias
Asong di Kalbar. Beberapa kasus yang melibatkan oknum pejabat
pemerintahan
maupun penegak hukum juga dibebaskan seperti kasus Kasat Tipiter
Polda
Papua Marthen Renuw di Papua[10].
D.
Alternatif yang Menjadi Solusi
Di
luar permasalahan perilaku korup oknum aparat penegak hukum yang menangani
perkara,
bebasnya para terdakwa atau tidak tersentuhnya pelaku ilegal logging kelas
kakap
juga dipengaruhi lemahnya perundangan. UU Kehutanan mempunyai banyak
permasalahan
dan tidak menjangkau kejahatan ilegal logging makin
canggih atau terorganisir dan terkait dengan kejahatan
lain seperti pencucian uang dan korupsi. Lemahnya penegakan
hukum dipengaruhi beberapa faktor antara lain peraturan/undang-undang
yang lemah atau tidak relevan lagi, kualitas penegak
hukum
yang tidak memadai lagi baik secara pengetahuan, keterampilan, maupun
mental/
moral, sarana/prasarana yang sangat terbatas, budaya yang masih hidup
dimasyarakat
serta lingkup masyarakat yang kurang responsif[11].
Berdasarkan
hal tersebut, proses penegakan hukum dalam penanganan kasus ilegal
logging
perlu diperluas dan diintegrasikan dengan menggunakan aspek lain dalam
peraturan
perundangan yang ada, namun adakah undang-undang yang dapat
menjawab
persoalan tersebut?. Dalam beberapa kajian yang dilakukan oleh lembaga
yang
fokus pada penanganan ilegal logging ditemukan alternatif baru untuk menjawab
persoalan
penanganan ilegal logging yaitu dengan menyodorkan Undang-undang
Nomor
31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana Korupsi, sebagai solusi yang ditawarkan untuk menjerat pelaku ilegal
logging.
Penggunaan
undang-undang tersebut bukan tidak beralasan, para pelaku ilegal logging
dapat
dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi dengan mengacu Pasal 2 dan
3. Pasal tersebut menerangkan bahwa:
Pasal
2
(1) Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal
3
Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Dilihat
dari unsur aturannya, maka Jaksa harus membuktikan unsur melawan hukum, merugikan
keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dalam
kasus
ILOG yang pada UU Kehutanan hanya dijerat administratif, semua unsur ini
terpenuhi.
Pertama, unsur melawan hukum sudah terpenuhi ketika ada izin dilanggar.
Konsep
ini didasarkan pada teori hukum unsur melawan hukum formil, yakni
disama
artikan dengan “melanggar semua peraturan perundang-undangan dan
kebijakan
yang lahir atas dasar aturan tersebut”. Dan, izin adalah bagian dari
perundang-undangan.
Kedua, kerugian negara juga terpenuhi. Hutan negara yang
belum
boleh atau dilarang ditebang sama artinya dengan aset negara. Karena setiap
kayu
di hutan mempunyai nilai ekonomis yang dapat dikonversikan pada nilai uang.
Jika
pembalak menebang dan mengambil kayu tersebut, jelas negara dirugikan secara
nyata.
Dan, Ketiga, akibat dua hal di atas, si pembalak atau pengusaha akan diuntungkan.
Sehingga unsur sederhana dari pasal 2 dan 3 UU Korupsi telah terpenuhi.
Pembalak
liar dapat dihukum sebagai koruptor. Persoalannya, dapatkah Jaksa membaca
tafsir
sederhana ini? Punya komitmenkah kejaksaan dan penegak hukum lainnya?[12].
[1] Suryanto, dkk “Illegal Logging Sebuah Misteri” dalam Sistem
Pengrusakan Hutan Indonesia, (Samarinda: Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Kalimantan, 2005) hlm. 1-2
[2] Moh. Nasir, Laporan Pengumpulan Bahan Informasi Keterangan
Kasus Kejahatan Kehutanan Penebangan Kayu, (Nunukan, Agustus 2008).
[3] Sumber daya hutan menjadi primadona penyumbang devisa dan
berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
[4]
Proses penyelesaian perkara kejahatan kehutanan selalu mengacu
pada sanksi administrasi dan kerap dijumpai bahwa penyelesaian perkara
dilakukan di bawah tangan antara oknum pejabat kehutanan dengan oknum manajemen
HPH dengan praktik jual beli laporan hasil pemeriksaan
[5] Suryanto, dkk “Ilegal Logging Sebuah Misteri” dalam Sistem
Perusakan Hutan Indonesia, (Samarinda: Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Kalimantan, 2005) hlm. 8
[6] Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam kategori
tindakan ilegal logging masih harus merujuk pada peraturan perundang-undangan
di bidang kehutanan, lingkungan hidup dan konservasi.
[7] Baca Inpres RI No. 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Ilegal (Ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal Di
Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting Khusunya pada
bagian konsideran “Menimbang”
[8] Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan “Kebijakan
Pemberantasan Ilegal Logging dan Ilegal Timber Trade Di Indonesia”, Makalah
(Samarinda, 15 April 2008).
[9] Saroso Hamongpranoto, “Aspek Hukum dan Sosial dari Paktek
Illegal Logging”, Makalah, 15 April 2008
[10] Tor, Focus Group Discussion, “Mencermati Permasalahan Aturan
dan Penegakan Hukum dalam Kasus lllegal
Logging”, ICW, 12 Juni 2008.
[11] Saroso Hamongpranoto, “Aspek Hukum dan Sosial dari Paktek
Illegal Logging”, Makalah, 15 April 2008
[12]
www. Pukatkorupsi. Org, “ Terobosan Hukum Menjerat Pembalak
Liar”
Saya suka sekali membaca materi yang disampaikan oleh bpk. Fadli. Penuh ide, tegas,transparan dan tersaji apa adanya. Semua yang disampaikan selalu relevan dengan kondisi bangsa maupun perusahaan yang ada saat ini.
BalasHapusTulisan perihal ilegal logging dan instrumen hokum yang mengaturnya memang perlu diingatkan kembali kepada kita sebagai anak Bangsa Indonesia, supaya "kejahatan" ilegal logging jangan sampai terulang kembali seperti di jaman Orde Baru. Di era Reformasi ini masalah ilegal logging harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah dan pengusaha khususnya terkait rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan. Tanpa pengawasan yang ketat,akan banyak pembukaan lahan besar-besaran terhadap hutan di Kalimantan. Jangan biarkan Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia menjadi rusak karena ulah oknum-oknum pejabat. Sebagai pembaca setia saya ucapkan terimakasih kepada bpk Fadli yang mengingatkan kita semua tentang permasalahan ilegal logging ini.
Saya selalu menantikan tulisan bapak selanjutnya ,salam sumpah pemuda 2019 !
Terima kasih Pak, atas respon positifnya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Materi tulisan memang sudah cukup lama karena dihimpun ketika saya masih aktif di salah satu lembaga yang ada di Kalimantan Timur. Namun seiring dengan adanya rencana perpindahan Ibu Kota Negara maka rasanya tulisan ini masih relevan. Untuk itu sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas responya.
BalasHapus