Minggu, 08 September 2019


SEKILAS PERJALANAN ILEGAL LOGGING DAN INSTRUMEN HUKUM YANG MENGATURNYA.

Oleh:
FADLI

Materi ini disampaikan dalam Kegiatan Pelatihan Para Legal “Pemahaman Proses Penanganan Kasus Hukum Ilegal Logging dan Peluang Monitoring oleh Masyarakat” 
tanggal 18 – 19 Desember 2008.


A.            Perjalanan Eksploitasi Hutan

Kegiatan eksploitasi hutan tercatat telah dimulai pada era antara tahun 1965-1970 yang dilakukan oleh masyarakat, era tersebut dikenal dengan era “banjir kap” di mana kegiatan eksploitasi hutan dilakukan secara bebas dan hampir tidak ada mekanisme kontrol[1]. Jaman banjir kap kayu-kayu yang ada dipinggir sungai ditebang secara tidak resmi dan dibawa kepada pembeli lewat sungai. Pekerjaan menebang kayu merupakan salah satu pendapatan bagi masyarakat sekitar dan juga masyarakat di sekitar hutan[2]. Di era tersebut belum ada peraturan perundangan yang memadai, sehingga sulit dikatakan bahwa aktivitas masyarakat menebang kayu dikategorikan perbuatan ilegal atau kejahatan kehutanan. Pengaturan pengusahaan hutan dimulai pada awal 1970-an, melalui pemberian izin pengusahaan hutan oleh pemerintah kepada badan-badan usaha yang berbadan hukum dan memiliki kapital yang memadai. Model pertama izin pengusahaan hutan adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang kemudian bertambah dan berkembang dalam bentuk lain seperti Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK), Hak Izin Pengusahaan Hasil Hutan (HIPHH), dan sebagainya.



Melalui izin pengusahaan hutan tersebut, praktik eksploitasi hutan dibekali dengan aturan dan perundangan yang memuat sistem pengelolaan dan pemanfaatan, kewajiban dan sanksi dengan satu sasaran yaitu tercapainya asas kelestarian sumber daya alam. Dalam perjalanannya selain memberi dampak positif pengelolaan dan pemanfaatan hutan juga memberi dampak negatif yang mengakibatkan terdegradasinya sumber daya hutan, baik diakibatkan oleh pelanggaran maupun karena ekses perubahan atau proses penyempurnaan terhadap sistem pengelolaan itu sendiri[3]. Proses perusakan hutan sesungguhnya telah dimulai dari awal praktik eksploitasi dilakukan, baik pada era banjir kap, era Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hingga era sekarang. Namun demikian, praktik eksploitasi secara tidak sah (ilegal) dapat dikatakan baru dimulai sejak era pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada awal 1970-an. Pada era tersebut telah terjadi praktik ilegal seperti praktik tebang “cuci mangkok”, penebangan di luar blok tebangan, di dalam kawasan lindung, melebihi jatah tebangan dan sebagainya serta sebagian lagi praktik “pencurian” kayu yang dilakukan masyarakat atau oknum dalam manajemen badan usaha pemegang izin.

Hingga tahun 1977, praktis dapat dikatakan bahwa praktik-praktik ilegal tersebut belum terangkat menjadi suatu isu penting dalam perjalanan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Indonesia. Praktik-praktik ilegal lebih cenderung dianggap sebagai sebuah pelanggaran, dengan tingkat penyelesaian yang lebih dominan pada sanksi administrasi. Istilah ilegal logging pun belum menjadi “trand”, karena aspek keilegalannya menjadi terbungkus sedemikian rupa dengan legalitas izin pengusahaan dan legalitas penyelesaian melalui pemberian sanksi administrasi5[4].

B.             Istilah Ilegal Logging dan Definisinya

Munculnya istilah Ilegal Logging berangkat dari kondisi pengelolaan hutan yang memprihatinkan dan eksploitasi yang dilakukan terus menerus dan dilakukan secara bebas tanpa ada mekanisme kontrol yang memadai. Munculnya istilah tersebut juga dipengaruhi akibat gencarnya sorotan pengolahan hutan pada kurun waktu antara 1998-2004. Pada kurun waktu tersebut perjalanan pengelolaan hutan mendapat sorotan tajam dari dalam maupun luar negeri, di mana telah terjadi ledakan perusakan hutan akibat praktik eksploitasi hutan oleh pelaku-pelaku baru yang tidak memiliki izin atau memanipulasikan izin pemanfaatan. Pada era ini hutan tidak lagi dimaknai sebagai bagian dari salah satu penentu sistem penyangga kehidupan. Hutan secara utuh telah menjadi bagian dari sistem kapitalis yang harus dieksploitasi, sehingga aspek sosial, religi, budaya dan aspek lingkungan hutan sudah menjadi pudar. Di banyak tempat perusakan hutan dalam praktik eksploitasi ini semakin meluas dan telah menjadi tindak pidana yang terorganisir, bahkan sudah menjadi organisasi industri yang dibiayai oleh orang-orang tertentu baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam keprihatinannya, berbagai pakar dan stakeholders barulah kemudian memberi peristilahan pada kondisi tersebut sebagai praktik-praktik “Ilegal Logging”.

Setelah istilah ilegal logging yang didengungkan oleh para pakar dan stakeholder mulai menjadi perbincangan dan bahkan perdebatan mengenai definisi dan terminologinya, kemudian istilah tersebut semakin populer di kalangan masyarakat, namun demikian sampai sejauh ini masih tidak ada terminologi yang jelas dan tegas tentang istilah ilegal logging. Tidak jelas dan tidak tegasnya definisi ini menyebabkan berbagai pihak membuat definisi sendiri-sendiri, yang akhirnya cenderung menonjolkan aspek dominan dan kepentingannya, sehingga dengan demikian ruang lingkup definisinya menjadi bermacam-macam[5]. Dari aspek peraturan perundang-undangan, pendefinisian ilegal logging juga belum mencakup terminologi yang berkembang. Berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan ilegal logging belum ada yang mengatur secara khusus mengenai ilegal logging[6]. Dari hasil penelusuran dokumen yang dilakukan, hanya Inpres RI No. 5 tahun 2001 yang secara eksplisit memberi batasan ruang lingkupnya, yaitu sebagai penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan ilegal[7]. Sejak itu, semua kegiatan penebangan kayu yang tidak mendapat ijin penebangan dan perdagangan kayu dari pemerintah disebut kayu ilegal. Dari berbagai literatur yang dikumpulkan khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ilegal logging (sebagai pendekatan) maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa definisi ilegal logging yang mendekati perundang-undangan yang ada adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang, atau badan hukum dalam bidang kehutanan atau perdagangan hasil hutan berupa:
  1. Menebang, memanen atau memungut HHK dari kawasan hutan tanpa ijin/hak;
  2. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, memiliki atau menggunakan HHK yang diduga dipungut secara tidak sah;
  3. Mengangkut, menguasai atau memiliki HHK tidak dilengkapi bersama sama SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan);
  4. Membawa alat berat dan alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut/mengambil HHK di dalam kawasan hutan tanpa izin dari yang berwenang;
  5. Membawa alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat berwenang[8].
C.            Instrumen Hukum Pemberantasan Ilegal Logging

Dari hasil penelusuran dokumen yang dilakukan, telah banyak ”rambu-rambu” yang dibuat oleh Pemerintah dalam menanggulangi penyimpangan pemanfaatan hutan agar kelestarian hutan tetap terjaga, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun kebijakan-kebijakan yang bersifat operasional. Tetapi kenyataannya, fakta menunjukkan bahwa perlindungan terhadap hutan agar tetap dilestarikan belum efektif, dibanding tingkat kerusakan hutan yang semakin bertambah. Ilegal Loging tetap marak dimana-mana, kasus demi kasus yang terangkat makin banyak dan makin jelas keterlibatan ”oknum” pejabat Pemerintah bahkan ”oknum” penegak hukum dalam permainan ini.

Praktik Ilegal Loging ini sangat merugikan negara dan masyarakat dan merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Dari aspek hukum, praktik atau perbuatan Ilegal Loging ini merupakan tindak kejahatan kehutanan yang menyangkut pelanggaran tindak pidana, perdata, dan administrasi yang oleh Undang-undang telah diatur sanksi terhadap pelanggaran itu[9]. Adapun peraturan perundangan yang berkaitan dengan ilegal logging adalah sebagai berikut:

1.      Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 19 ayat (1):
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

Pasal 21 ayat (1) huruf a.
Setiap orang dilarang untuk mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati.

Pasal 22
(1)   Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
(2)  Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah
(3)  Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.
(4)    Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Pasal 40
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00(seratus juta rupiah).
(3)  Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4)  Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5)  Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

2.              Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 1 angka 14
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Pasal 41
(1)   Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)  Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 42
(1)  Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)  Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

3.              Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan

Pasal ayat (1)
Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 28 ayat (2)
Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 50
(1)     Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2)  Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(3)      Setiap orang dilarang:
a.   mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b.     merambah kawasan hutan;
c.     melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai;
d.    membakar hutan;
e.   menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f.  menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g.   melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h.  mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i.     menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j.   membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k.   membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l.     membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m.  mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Pasal 78
(1)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4)  Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8)   Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9)   Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

4.       Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup)

Pasal 1 angka 16 menyebutkan bahwa:
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 1 angka 17 menyebutkan bahwa:
Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Selain tercatat dalam undang-undang di atas peraturan yang berhubungan dengan pemberantasan ilegal logging dapat ditemui juga pada Peraturan pemerintah, Instruksi Presiden, dan Keputusan Menteri Kehutanan di antaranya sebagaimana berikut:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;
  3. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu ilegal (ilegal logging);
  4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia;
  5. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-II/1994 tentang Perubahan Pasal 5 Keputusan Menteri Nomor 493/Kpts-II/1989 tentang Sanksi Atas Pelanggaran di Bidang Eksploitasi Kehutanan;
  6. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 168/Kpts-IV/2001 tentang Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Ramin.
Dari sekian banyak peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah, khusus yang menangani ilegal logging, merupakan bukti nyata bahwa pemberantasan ilegal logging telah lama dilakukan, namun upaya tersebut dapat dikatakan masih mengalami kegagalan. Fakta menunjukkan kondisi hutan Indonesia makin memprihatinkan. Selain itu, hingga saat ini hampir tidak ada dalang atau aktor intelektual yang dihukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Menurut catatan ICW, dari putusan di tingkat Mahkamah Agung (MA) dari tahun 2005- 2008, aktor pelaku ilegal logging didominasi oleh petani, operator lapangan, dan sopir sebanyak 78,26 %. Sedangkan pelaku lain dengan jabatan direktur, komisaris utama dan pemilik sawmill 21,74 %. Demikian juga dengan tipologi putusan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. 71,43 % kasus yang melibatkan aktor utama divonis  bebas, dan 14,29% dihukum di bawah 1 tahun. Dari data tersebut terlihat jelas, bahwa yang diajukan ke pengadilan mayoritas hanyalah pelaku ilegal logging kelas midle lower. Kalaupun ada aktor kakap yang ditangani, jumlahnya hanya segelintir saja. Ironisnya, kasus besar tersebut akhirnya berujung putusan bebas seperti kasus ilegal logging dengan terdakwa Adelin Lies di Sumatera Utara dan Prasetyo Gow Alias Asong di Kalbar. Beberapa kasus yang melibatkan oknum pejabat pemerintahan maupun penegak hukum juga dibebaskan seperti kasus Kasat Tipiter Polda Papua Marthen Renuw di Papua[10].

D.           Alternatif yang Menjadi Solusi

Di luar permasalahan perilaku korup oknum aparat penegak hukum yang menangani perkara, bebasnya para terdakwa atau tidak tersentuhnya pelaku ilegal logging kelas kakap juga dipengaruhi lemahnya perundangan. UU Kehutanan mempunyai banyak permasalahan dan tidak menjangkau kejahatan ilegal logging makin canggih atau terorganisir dan terkait dengan kejahatan lain seperti pencucian uang dan korupsi. Lemahnya penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor antara lain peraturan/undang-undang yang lemah atau tidak relevan lagi, kualitas penegak hukum yang tidak memadai lagi baik secara pengetahuan, keterampilan, maupun mental/ moral, sarana/prasarana yang sangat terbatas, budaya yang masih hidup dimasyarakat serta lingkup masyarakat yang kurang responsif[11].

Berdasarkan hal tersebut, proses penegakan hukum dalam penanganan kasus ilegal logging perlu diperluas dan diintegrasikan dengan menggunakan aspek lain dalam peraturan perundangan yang ada, namun adakah undang-undang yang dapat menjawab persoalan tersebut?. Dalam beberapa kajian yang dilakukan oleh lembaga yang fokus pada penanganan ilegal logging ditemukan alternatif baru untuk menjawab persoalan penanganan ilegal logging yaitu dengan menyodorkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai solusi yang ditawarkan untuk menjerat pelaku ilegal logging. Penggunaan undang-undang tersebut bukan tidak beralasan, para pelaku ilegal logging dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi dengan mengacu Pasal 2 dan 3. Pasal tersebut menerangkan bahwa:

Pasal 2
(1)  Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2)  Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dilihat dari unsur aturannya, maka Jaksa harus membuktikan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dalam kasus ILOG yang pada UU Kehutanan hanya dijerat administratif, semua unsur ini terpenuhi. Pertama, unsur melawan hukum sudah terpenuhi ketika ada izin dilanggar. Konsep ini didasarkan pada teori hukum unsur melawan hukum formil, yakni disama artikan dengan “melanggar semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang lahir atas dasar aturan tersebut”. Dan, izin adalah bagian dari perundang-undangan. Kedua, kerugian negara juga terpenuhi. Hutan negara yang belum boleh atau dilarang ditebang sama artinya dengan aset negara. Karena setiap kayu di hutan mempunyai nilai ekonomis yang dapat dikonversikan pada nilai uang. Jika pembalak menebang dan mengambil kayu tersebut, jelas negara dirugikan secara nyata. Dan, Ketiga, akibat dua hal di atas, si pembalak atau pengusaha akan diuntungkan. Sehingga unsur sederhana dari pasal 2 dan 3 UU Korupsi telah terpenuhi. Pembalak liar dapat dihukum sebagai koruptor. Persoalannya, dapatkah Jaksa membaca tafsir sederhana ini? Punya komitmenkah kejaksaan dan penegak hukum lainnya?[12].



[1] Suryanto, dkk “Illegal Logging Sebuah Misteri” dalam Sistem Pengrusakan Hutan Indonesia, (Samarinda: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2005) hlm. 1-2
[2] Moh. Nasir, Laporan Pengumpulan Bahan Informasi Keterangan Kasus Kejahatan Kehutanan Penebangan Kayu, (Nunukan, Agustus 2008).
[3] Sumber daya hutan menjadi primadona penyumbang devisa dan berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
[4] Proses penyelesaian perkara kejahatan kehutanan selalu mengacu pada sanksi administrasi dan kerap dijumpai bahwa penyelesaian perkara dilakukan di bawah tangan antara oknum pejabat kehutanan dengan oknum manajemen HPH dengan praktik jual beli laporan hasil pemeriksaan
[5] Suryanto, dkk “Ilegal Logging Sebuah Misteri” dalam Sistem Perusakan Hutan Indonesia, (Samarinda: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2005) hlm. 8
[6] Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam kategori tindakan ilegal logging masih harus merujuk pada peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, lingkungan hidup dan konservasi.
[7] Baca Inpres RI No. 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (Ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal Di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting Khusunya pada bagian konsideran “Menimbang”
[8] Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan “Kebijakan Pemberantasan Ilegal Logging dan Ilegal Timber Trade Di Indonesia”, Makalah (Samarinda, 15 April 2008).
[9] Saroso Hamongpranoto, “Aspek Hukum dan Sosial dari Paktek Illegal Logging”, Makalah, 15 April 2008
[10] Tor, Focus Group Discussion, “Mencermati Permasalahan Aturan dan Penegakan Hukum dalam Kasus lllegal Logging”, ICW, 12 Juni 2008.
[11] Saroso Hamongpranoto, “Aspek Hukum dan Sosial dari Paktek Illegal Logging”, Makalah, 15 April 2008
[12] www. Pukatkorupsi. Org, “ Terobosan Hukum Menjerat Pembalak Liar”

2 komentar:

  1. Saya suka sekali membaca materi yang disampaikan oleh bpk. Fadli. Penuh ide, tegas,transparan dan tersaji apa adanya. Semua yang disampaikan selalu relevan dengan kondisi bangsa maupun perusahaan yang ada saat ini.
    Tulisan perihal ilegal logging dan instrumen hokum yang mengaturnya memang perlu diingatkan kembali kepada kita sebagai anak Bangsa Indonesia, supaya "kejahatan" ilegal logging jangan sampai terulang kembali seperti di jaman Orde Baru. Di era Reformasi ini masalah ilegal logging harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah dan pengusaha khususnya terkait rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan. Tanpa pengawasan yang ketat,akan banyak pembukaan lahan besar-besaran terhadap hutan di Kalimantan. Jangan biarkan Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia menjadi rusak karena ulah oknum-oknum pejabat. Sebagai pembaca setia saya ucapkan terimakasih kepada bpk Fadli yang mengingatkan kita semua tentang permasalahan ilegal logging ini.
    Saya selalu menantikan tulisan bapak selanjutnya ,salam sumpah pemuda 2019 !

    BalasHapus
  2. Terima kasih Pak, atas respon positifnya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Materi tulisan memang sudah cukup lama karena dihimpun ketika saya masih aktif di salah satu lembaga yang ada di Kalimantan Timur. Namun seiring dengan adanya rencana perpindahan Ibu Kota Negara maka rasanya tulisan ini masih relevan. Untuk itu sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas responya.

    BalasHapus