Senin, 09 September 2019


ANALISIS EKONOMI TERHADAP POKOK-POKOK KESEPAKATAN DIVESTASI SAHAM PT FREEPORT INDONESIA
Oleh:
F A D L I
2018

Pendahuluan
Pada bulan Juli 2018 Publik sempat dikejutkan dengan berita penandatanganan Pokok-Pokok Kesepakatan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia antara Pemerintah Indonesia melalui Holding Industri Pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), atau INALUM dengan Freeport-McMoran Inc. (FCX). Spontan pemberitaan tersebut menjadi perhatian publik karena adanya pro dan kontra terhadap langkah-langkah yang di ambil oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bagaimana tidak ? Penandatanganan Pokok-Pokok Kesepakatan Divestasi tersebut terjadi setelah melalui proses yang cukup panjang, bahkan ditengarai adanya saling ancam antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Freeport McMoran Inc. (FCX).

Bagi pihak yang pro, langkah divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium, merupakan bukti kebangkitan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas salah satu sumber kekayaan alam. Namun tidak demikian pandangan pihak yang kontra, menilai harga divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) yang mencapai US$ 3,85 miliar, setara Rp 55 Triliun, terlalu mahal untuk dibayar Pemerintah Indonesia. Apalagi mengingat masa operasi PT Freeport Indonesia jika merujuk pada Kontrak Karya (KK), akan berakhir pada 2021. Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara mengatakan, harga US$ 3,85 miliar sangat tidak masuk akal karena pada dasarnya sebagian besar aset yang dibayar oleh pemerintah Indonesia adalah milik negara dan bangsa sendiri.


Menurut Marwan, mestinya rujukan perhitungan harga saham adalah periode kontrak karya tambang PT Freeport Indonesia yang akan berakhir pada tahun 2021 dan bukan periode KK hingga 2041 seperti yang diinginkan Freeport. Dengan masa berlaku KK yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, ia memproyeksikan nilai aset dan bisnis PT Freeport jauh lebih rendah dari US$3-4 miliar. Dengan rujukan periode kontrak yang tinggal 3-4 tahun, IRESS yakin nilai 41,64% saham PT Freeport hanya berkisar US$ 1-1,5 miliar. Jika sanksi-sanksi hukum akibat kerusakan lingkungan yang nilainya sangat besar diperhitungkan maka nilai yang harus dibayar negara untuk 41,64% saham divestasi PT Freeport diperkirakan hanya beberapa ratus juta dolar AS saja.

Pro kontra tersebut tentunya tidak akan berakhir begitu saja bahkan disinyalir akan terus terjadi sampai pada saat penandatanganan Sales and Purchase Agrrement. Namun demikian posisi penulisan makalah ini tidak fokus pada pro dan kontra tersebut. Tetapi hal tersebut menjadi “pemanis” dalam kajian ataupun analisis yang akan diuraikan dalam makalah ini. Tentunya dengan adanya pro dan kontra menjadi semakin menarik untuk membahasnya dari perspektif analisis ekonomi atas hukum.

Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada analisis ekonomi atas hukum khususnya dalam proses penegakan hukum Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 dalam perspektif analisis ekonomi dan analisis ekonomi terhadap penandatanganan Pokok-Pokok Kesepakatan (HoA) dan Sales and Purchase Agreement. Walaupun di sajikan dalam bentuk sederhana dan umum namun harapannya tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya atau setidaknya dapat memberikan pemahaman secara umum betapa pentingnya analisis ekonomi atas penegakan hukum di Indonesia.

Pembahasan 
Penegakan Hukum PP No. 1 Tahun 2017 Dalam Perspektif Analisis Ekonomi.
Sebagai konsekuensi yuridis dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan tersebut digadang-gadang sebagai cerminan suatu kedaulatan Negara atas pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut dapat dilihat pada isinya, setidaknya ada 6[1] (enam) pokok poin penting yang terdapat di dalamnya yaitu:
  1. Perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51% secara bertahap. Divestasi 51% Ini menurut Menteri ESDM menjadi sangat penting karena instruksi Presiden, dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah ini maka semua pemegang Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan sebagainya itu wajib tunduk kepada Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan wajib untuk melakukan divestasi saham sampai 51% sejak masa produksi sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 Pasal 97 ayat (2) dinyatakan tahapan divestasi yakni, tahun keenam 20 % (dua puluh persen), tahun ketujuh 30 % (tiga puluh persen), tahun kedelapan 37 % (tiga puluh tujuh persen), tahun kesembilan 44 % (empat puluh empat persen) dan tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham;
  2. Perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk Izin Usah Pertambangan (IUP) dan Izin Usah Pertambangan Khusus (IUPK), paling cepat 5 (lima) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha;
  3. Pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batu bara;
  4. Pemerintah mewajibkan pemegang Kontrak Karya itu untuk mengubah izinnya menjadi rezim perijinan pertambangan khusus operasi produksi;
  5. Penghapusan ketentuan bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu; dan
  6. Pengaturan lebih lanjut terkait tata cara pelaksanaan Peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Poin-poin di atas jika dicermati memang menjadi indikasi kebangkitan dan gambaran kedaulatan Negara Republik Indonesia atas penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara, sekaligus dalam rangka pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dengan mengusung semangat kedaulatan negara terhadap penguasaan sumber daya alam maka Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tanggal 10 Februari 2017 menerbitkan IUPK Operasi Produksi untuk PT Freeport Indonesia dan meminta PT Freeport Indonesia mematuhi syarat perpanjangan sesuai ketentuan perundang-undangan, namun kemudian apa yang terjadi bahwa pada tanggal 20 Februari 2017 melalui konferensi pers di Hotel Fairmont Jakarta, PT Freeport Indonesia menolak IUPK, menolak divestasi 51%, dan bersiap ke arbitrase. Penolakan tersebut seakan mencoreng dan meruntuhkan keinginan Pemerintah Republik Indonesia berdaulat atas Sumber Daya Alam. Kedaulatan yang digaungkan Pemerintah Republik Indonesia seakan tak “bertaring” bagaimana tidak seakan-akan produk hukum yang dibuat menjadi “Macan Ompong”. Padahal, jika mengacu pada aturan mainnya, mengenai ketentuan divestasi 51 % sangat jelas sebagaimana yang di uraikan di atas. Demikian pula halnya terkait dengan Kontrak Karya (KK) di ubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Apabila PT Freeport menolak ketentuan tersebut maka ancamannya nyata dan jelas yaitu penghentian operasional sekaligus menghentikan kegiatan eksport konsentrat. Artinya dengan aturan yang ada, Pemerintah Republik Indonesia mempunyai posisi tawar yang tinggi ditambah lagi kepastian perpanjangan kontrak PT Freeport di Indonesia akan berakhir Tahun 2021. Opsinya perpanjanagan kontrak akan diberikan Pemerintah RI, hanya jika PT Freeport Indonesia tunduk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Jika langkah tersebut diambil maka Pemerintah RI telah menunjukkan kedaulatan suatu negara yang sesuai dengan Pancasila yaitu Sila Kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan Pasal 33 ayat (3) UUD NKRI 1945 mengenai substansi bumi, air, dan kekayaan alam “di kuasi negara” dan “dipergunakan sebesar-besar kemakmuran Rakyat”. [2]Dengan demikian tak perlu ragu dan khawatir atas ancaman Arbitrase Internasional PT Freeport.

Kenyataannya pada tanggal 4 Mei 2017 Pemerintah Republik Indonesia membuka perundingan dengan PT Freeport Indonesia terkait poin divestasi saham 51%, pembangunan smelter, stabilitas penerimaan negara dan kelangsungan operasi PT Freeport Indonesia di Indonesia; tanggal 29 Agustus 2017 PT Freeport Indonesia menyetujui 4 (empat) poin kesepakatan dasar perundingan yang dilanjutkan dengan pembahasan detail teknis terkait divestasi dan kepastian investasi; pada tanggal 12 Juli 2018 Pemerintah dan PT Freeport Indonesia menyepakati semua detail teknis perundingan yang ditegaskan melalui penandatanganan Pokok-Pokok Perjanjian Divestasi Saham PT Freeport Indonesia.

Penandatanganan Pokok-Pokok Perjanjian Divestasi Saham PT Freeport Indonesia (PTFI) yang berlangsung hari Kamis, 12 Juli 2018, di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta menjadi “barter” antara Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia terkait keberlangsungan kegiatan operasinya di Indonesia yang menyepakati empat poin yaitu:
  1. Divestasi saham sebesar 51% untuk kepemilikan peserta Indonesia, sesuai Kontrak Karya dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba);
  2. Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama 5 (lima) tahun;
  3. Stabilitas penerimaan negara, sesuai Pasal 169 dalam UU Minerba, peralihan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia menjadi IUPK akan memberikan penerimaan negara yang secara agregat lebih besar daripada penerimaan negara melalui Kontrak Karya; dan
  4. Perpanjangan Operasi Produksi 2 x 10 tahun, sesuai ketentuan perundang-undangan. Setelah PT Freeport Indonesia menyepakati empat poin di atas, maka PT Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2 x 10 tahun hingga tahun 2041.
Pemerintah RI, beranggapan bahwa penandatanganan ini menjadi langkah strategis Pemerintah untuk mencapai kepemilikan mayoritas perusahaan pertambangan yang mengelola sumber daya alam oleh Peserta Indonesia sesuai dengan amanat Undang-undang Mineral dan Batubara. Pemerintah telah menunjuk PT Inalum (Persero) untuk melaksanakan pembelian saham PT Freeport Indonesia melalui Perseroan Khusus selaku pemegang saham mayoritas yang akan mendukung terhadap hal-hal yang bersifat strategis nasional.

Kemudian langkah terakhir dari finalisasi skema yang disepakati oleh Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia, pada tanggal 27 September 2018 berlangsung penandatanganan Sales and Purchase Agrrement. Jika dicermati keputusan pemerintah melanjutkan proses negosiasi sampai akhirnya dilakukan penandatanganan Sales and Purchase Agrrement merupakan strategi penegakan hukum dengan menggunakan konsep ekonomi. Kenapa hal ini dilakukan karena pemerintah tentunya memiliki pertimbangan dan kalkulasi mengenai untung ruginya.

Pola yang dilakukan oleh pemerintah begitu jelas mengacu pada pemikiran Jeremy Bentham (1789), yang menguji sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare).[3] Konsep ini kemudian dilanjutkan oleh Steven Shavell yang membagi atas dua analisis yang mendasar, yaitu deskriptif dan normatif. Kedua analisis ini dirancang oleh Shavell untuk memberi klarifikasi teoritis yang tegas antara hukum dan perilaku sosial, sebelum keduanya melebur menjadi analisis ekonomi terhadap hukum. Model analisa deskriptif menjabarkan efek aturan hukum, sedangkan model analisa normatif menjabarkan ekspektasi masyarakat terhadap hukum.[4]

Analisis deskriptif mengasumsikan terdapat peran individu yang rasional. Bahwa tiap orang bersikap dan berpandangan ke depan untuk memaksimalkan harapannya, maka pengaruh aturan hukum bagi perilaku masyarakat dapat dipastikan. Dengan kalimat lain, efek hukum mempengaruhi tingkat rasionalitas masyarakat. Sebagai contoh, adanya ancaman denda bagi pengemudi mobil yang tidak menggunakan sabuk pengaman akan mempengaruhi perilaku pengendara. Ketentuan efek denda sebagai ancaman hukuman, akan membuat masyarakat dipastikan bersikap rasional dengan cara menggunakan sabuk pengaman setiap kali berkendara. [5] atau juga mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya risiko diajukan ke pengadilan.[6]

Artinya dengan menggunakan analisis ekonomi atas hukum, apa yang menjadi tujuan Pemerintah Republik Indonesia yaitu divestasi kepemilikan saham 51%, pembangunan pengolahan (smelter) dan stabilitas penerimaan negara yang lebih besar serta hal lainnya sebagaimana yang dimandatkan undang-undang menjadi maksimal dan merupakan keuntungan bagi Pemerintah Republik Indonesia yang tentunya untuk kesejahteraan sosial. Demikian pula sebaliknya, jika Pemerintah Republik Indonesia tidak membuka ruang negosiasi dan meladeni ancaman gugatan Arbitrase Internasional yang mengacu pada Kontrak Karya (KK) sebelumnya serta bersikukuh menjalankan PP No. 1 Tahun 2017 secara normatif, bisa saja Pemerintah Republik Indonesia akan mendapatkan “luka” pulang dengan kekalahan tanpa mendapat apa-apa serta mengeluarkan energi dan biaya yang besar. Inilah kemudian, bahwa analisis ekonomi atas hukum menjadi begitu sangat penting dalam proses penegakan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian pergaulan hidup. Terkait hal ini, Satjipto Rahardjo berpendapat, pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep dan dengan demikian boleh digolongkan kepada sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak ini termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Dengan demikian apabila kita berbicara mengenai penegakan hukum, maka pada hakikatnya berbicara mengenai ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide yang pada hakikatnya merupakan hakikat dari penegakan hukum.[7]

Bertolak dari uraian tentang penegakan hukum di atas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pembentukan perundang-undangan (tahap formulasi), tahap aplikasi maupun tahap eksekusi telah sangat berpengaruh di Indonesia. Melalui analisis ekonomi terhadap hukum.[8]

Analisis Ekonomi Terhadap Head Of Agreement (HoA) Dan Sales and Purchase Agrrement.
Penandatanganan Pokok-Pokok Kesepakatan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia antara Pemerintah Indonesia melalui Holding Industri Pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), atau INALUM dengan Freeport-McMoran Inc. (FCX), yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan Sales and Purchase Agrrement, menjadi menarik untuk di kaji dari sudut analisis ekonomi atas hukum dalam perspektif keputusan pemerintah.

Keputusan pemerintah, atas divestasi saham PT Freeport Indonesia merupakan transformasi hukum dan bagian dari proses globalisasi yang terjadi secara langsung. Terdapat tiga macam transformasi hukum yang dapat dikemukakan, yaitu transnasionalisasi peraturan hukum negara bangsa yang berbeda, hukum integrasi regional dan lex mercatoria. Perbedaan hukum antar negara dipengaruhi secara kuat oleh perubahan-perubahan hukum di bidang ekonomi, transaksi perdagangan, unifikasi hukum dan modernisasi hukum untuk diterapkan oleh negara-negara di dunia. Unifikasi hukum itu juga terjadi antara Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Inalum dengan Freeport terwujud melalui Head Of Agreement (HoA) dan Sales and Purchase Agrrement. Meskipun terintegrasi melalui harmonisasi hukum namun memiliki kompleksitas tersendiri.

Untuk mereduksi kerumitan tersebut, dapat digunakan analisis ekonomi atas hukum, demi mencapai keputusan yang rasional dalam memaksimalkan manfaat regulasi Head Of Agreement (HoA) dan Sales and Purchase Agrrement. Analisis ekonomi atas hukum memandang hukum dari perspektif ekonomi. Beberapa aspek fundamental dari ekonomi akan dikaji terlebih dahulu sebelum dielaborasi menjadi analisa hukum. 

Kajian dari sisi atau faktor analisis ekonomi atas hukum bukanlah sesuatu yang baru dalam hal penentu keputusan, setidaknya sesuai dengan perkembangan analisis ekonomi (ekonomi empiris) paling tidak memberikan tiga kontribusi penting, yaitu; pertama, ekonomi memberikan suatu model yang sederhana tentang bagaimana individu berperilaku di hadapan hukum, kebanyakan dari kita melakukan yang terbaik terhadap apa yang kita punya, atau dalam bahasa ekonomi, kita memaksimalkan keuntungan di dalam melakukan suatu aktivitas tertentu; kedua, ekonomi relatif kaku dalam analisis empirisnya. Prioritas utama dalam analisis ekonomi empiris adalah untuk membedakan antara hubungan dan sebab. Hal ini dikarenakan para ekonom berasumsi bahwa manusia di dalam berperilaku adalah rasional dan memiliki tujuan-tujuan tertentu; dan ketiga, ekonomi menyediakan sebuah metrik yang jelas di dalam mengevaluasi sukses tidaknya suatu kebijakan.[9]

Robert Cooter dan Thomas Ulen menyatakan bahwa analisis ekonomi terhadap hukum merupakan upaya untuk menjawab celah-celah hukum yang ada. Celah tersebut diisi dengan analisis ekonomi untuk memprediksi pengaruh sanksi hukum atas perilaku. Aspek ekonomi pada umumnya mengajukan teori perilaku untuk memprediksi bagaimana masyarakat merespon hukum berdasar asumsi ekonomi yang fundamental, yaitu maximization, equilibrium, dan efficiency. Maksimalisasi merupakan perilaku yang rasional bahwa seseorang akan memenuhi kebutuhannya secara maksimal. Meskipun terdapat hambatan, maka perilaku tersebut akan beralih mencari alternatif terbaik menyesuaikan kemampuan yang tersisa.

Prinsip Rasionalitas dan Efisiensi
Secara umum dapat dikatakan bahwa prinsip utama yang digunakan untuk memahami analisis ekonomi Head Of Agreement (HoA) dan Sales and Purchase Agrrement. adalah prinsip rasionalitas dan prinsip efisiensi. Prinsip rasionalitas mengandung suatu pengertian bahwa manusia di dalam melakukan suatu aktivitas tertentu, termasuk melakukan negosiasi, kesepakatan maupun penegakan undang-undang, berpikir secara rasional dengan tujuan utamanya untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan (maximizing the expected utility). Yang dimaksud dengan rasionalitas di sini adalah memilih sarana-sarana yang paling baik untuk tujuan pemilih. Sebagai contoh, seseorang yang ingin tetap hangat ketika musim dingin tiba akan membandingkan semua sarana yang dapat digunakan untuk mewujudkan kehangatan dalam hubungannya dengan biaya yang harus dikeluarkan. Sarana dengan biaya yang harus dikeluarkan paling sedikit akan dipilihnya sebagai sarana untuk mewujudkan kehangatan tersebut.

Russel B. Korobkin dan Thomas Ulen mengemukakan paling tidak ada empat pengertian tentang rasionalitas ini; pertama, manusia adalah pemaksimal yang rasional di dalam mencapai keuntungan/tujuannya (a man is a rational maximizer of his ends). Kedua, pengertian rasinalitas dikonsepsikan dengan keuntungan yang diharapkan (the expected utility). Ketiga, kepentingan diri (self interest) yang mengandung arti bahwa pelaku akan berusaha mewujudkan keuntungan dan dengan sarana apa ia mewujudkan tujuan/keuntungan itu bergantung pada kepentingan masing-masing pelaku, dan terakhir adalah maksimalisasi kekayaan (the wealth maximization) yang mengandung arti bahwa pelaku akan berusaha untuk memaksimalkan kekayaan yang ada. Pengertian ini merupakan pengertian yang paling spesifik dan paling kuat.

Lalu pertanyaannya adalah bagaimana prinsip rasionalitas itu ditemukan pada saat menyepakati Head Of Agreement (HoA) dan Sales and Purchase Agrrement. Jika konsep rasionalitas di atas dikaitkan dengan langkah Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 4 Mei 2017 membuka perundingan dengan PTFI terkait poin divestasi saham 51%, pembangunan smelter, stabilitas penerimaan Negara dan kelangsungan operasi PTFI di Indonesia, yang kemudian berlanjut pada penandatanganan Head Of Agreement (HoA) dan Sales and Purchase Agrrement. Asumsi yang dilahirkan adalah bahwa pemerintah mengambil langkah-langkah rasional ekonomis yang menimbang antara untung rugi. Menguntungkan mana mendapatkan divestasi saham 51% dan syarat-syarat lainnya sebagaimana kesepakatan atau harus menunggu sampai Kontrak Karya berakhir tahun 2021. Sebab ada yang berpandangan “lebih baik menunggu kontrak Freeport di Papua habis di 2021 daripada melakukan divestasi sekarang, karena jika menunggu sampai 2021, tentunya akuisisi akan gratis”.

Namun Pemerintah punya pandangan yang berbeda berakhir atau tidaknya Kontrak Karya (KK) Freeport pada 2021 kemungkinan akan tetap menjadi perdebatan, karena berdasarkan pencermatan terdapat perbedaan antara Pemerintah dan PT Freeport di dalam menafsirkan substansi KK. PT Freeport menafsirkan bahwa berdasarkan ketentuan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041. Perbedaan dalam menafsirkan substansi KK tersebut berpotensi akan berakhir di arbitrase. Meskipun nantinya Freeport Mc Moran (FCX) bersedia bahwa kontrak mereka berakhir pada 2021, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis. Pemerintah harus membeli aset PT Freeport Indonesia minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited dilaporkan sebesar US$ 6 miliar. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 22 ayat 1 yang intinya berbunyi, sesudah pengakhiran persetujuan karena alasan berakhirnya jangka waktu, semua kekayaan KK milik perusahaan yang bergerak atau tidak bergerak, yang terdapat di wilayah-wilayah proyek dan pertambangan harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar, mana yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari Nilai Buku. Ditambah, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya diestimasi lebih dari Rp 2 triliun.

Dengan demikian divestasi saham Freeport memiliki nilai strategis bagi Indonesia baik ditinjau dari aspek konstitusi maupun aspek ekonomi. Dalam hal ini divestasi merupakan implementasi dari Pasal 33 Konstitusi UUD 1945. Sementara dari aspek ekonomi, manfaat ekonomi pengusahaan tambang Freeport baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah akan semakin meningkat jika divestasi dilaksanakan.[10] Hal yang sama juga diungkapkan oleh Head of Corporate Communication and Goverment Relation PT Inalum, Rendy Witoelar[11]

Artinya proses negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah merupakan pilihan rasional dan efisien sebab hitung-hitungan biaya untuk divestasi saham 51% jauh lebih rendah dengan biaya yang harus dikeluarkan apabila menunggu sampai Kontrak Karya berakhir.

Konsep Maksimalisasi
Dalam menjual sesuatu barang, misalnya, seorang pedagang akan menggunakan semaksimal mungkin keadaan yang paling menguntungkan baginya. Ditinjau dari segi konsep maksimalisasi, kiranya dapatlah dimengerti mengapa seorang pengusaha akan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menjual saham perusahaannya 10 hingga 15 kali harga nominal di pasar modal perdana Jakarta. Semula konsep maksimalisasi ini hanya dipergunakan dalam bidang pemasaran, tetapi kemudian juga dipergunakan dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang perkawinan, peperangan, konsumsi, politik dan birokrasi.[12]

Dengan berlandaskan “Konsep Maksimalisasi” Pada kasus divestasi saham PTFI, Pemerintah Republik Indonesia betul-betul memaksimalkan instrumen hukum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Melalui instrumen hukum tersebut akhirnya Pemerintah berhasil memaksimalkan kepemilikan saham mayoritas 51%, Kontrak Karya (KK) diubah menjadi Izin Pertambangan Khusus Operasi Produksi, pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batu bara, mengatur lebih lanjut terkait tata cara pelaksanaan Peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, dan sebagainya itu wajib tunduk kepada Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Konsep maksimalisasis berhasil di implementasikan oleh Pemerintah untuk menekan PTFI meskipun harus dengan cara negosiasi yang berkepanjangan tetapi menjadikan hal tersebut menjadi maksimal terutama terkait kepemilikan saham mayoritas.

Konsep Keseimbangan
Bisa dikatakan bahwa konsep kesimbangan ini adalah konsep yang dapat mengimbangi konsep maksimalisasi. Apabila konsep maksimalisasi tidak dikendalikan dengan baik, maka penggunaan konsep ini akan membawa ekses-ekses yang membahayakan tatanan kehidupan manusia. Di bidang birokrasi, misalnya, penggunaan konsep maksimalisasi mungkin akan menjurus ke praktik- praktik yang kurang dapat dipertanggung jawabkan. Jelaslah kini bahwa walaupun konsep maksimalisasi dibutuhkan agar pranata hukum dapat berperan dalam proses pembangunan, tetapi konsep ini membutuhkan pengendalian. Apabila tidak ada mekanisme yang mengendalikan konsep maksimalisasi, anarki diberbagai bidang akan terjadi. Konsep maksimalisasi karenanya perlu diimbangi dengan konsep keseimbangan demi menjaga kehidupan manusia yang tertib dan bermoral.

Apabila tiap-tiap anggota masyarakat menggunakan kesempatan yang ada padanya semaksimal mungkin tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, maka benturan antara para anggota masyarakat pasti akan terjadi. Konsep keseimbangan tidak berusaha menghilangkan sama sekali benturan atau gangguan tersebut, tetapi berusaha menekannya serendah mungkin benturan bersangkutan. Di dalam melaksanakan strategi pembangunan nasional, penggunaan konsep maksimalisasi tanpa sesuatu kendali dapat menggagalkan rencana pembangunan itu sendiri. Tiap-tiap usaha pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik atau pendidikan, selalu akan mendatangkan gangguan atau gejolak masyarakat. Yang wajib dijaga adalah agar gangguan ini selalu berada pada tingkat minimum dan terkendali. Seorang ahli ekonomi melihat tiap-tiap gejala sosial sebagai suatu keseimbangan di antara anggota masyarakat yang berlomba-lomba melaksanakan konsep maksimalisasi. Tentu saja anggota masyarakat itu tidak terbatas pada manusia tetapi juga meliputi lembaga dan badan hukum. 

Jika dikaitkan dengan proses negosiasi pada saat HoA antara Pemerintah dan pihak PTFI hampir bisa dikatakan salah satu peran yang dimainkan adalah konsep kesimbangan. Artinya jika pada saat negosiasi pemerintah RI menginginkan divestasi saham 51% dan ketentuan yang lainnya sebagaimana yang telah di uraikan di atas maka untuk mengimbangi permintaan pihak Pemerintah RI pihak PT FI mengajukan penawaran atau perpanjangan kontrak hingga 2041 yang semestinya akana berakhir pad tahun 2021. Artinya dengan konsep kesimbangan posisi Pemerintah RI dan PT FI menjadi seimbang 50:50.

Penutup
Analisis ekonomi atas penegakan hukum dalam perspektif PP No. 1 Tahun 2017 dan Head Of Agreement (HoA) serta Sales and Purchase Agrrement. Merupakan jawaban yang tepat untuk mengurai benag kusut yang timbul antara Pemerintah dan pihak PT. Freeport serta untuk menjawab kritik berbagai pihak. Konsep penyelesaian yang dibutuhkan yaitu prinsip rasional karena pada dasarnya manusia adalah makhluk rasional yang di dalam berperilaku/melakukan keputusan menimbang antara biaya yang dikeluarkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika keuntungan yang akan diperoleh ternyata, berdasarkan kalkulasinya, melebihi biaya yang dikeluarkan, maka seseorang akan melakukan keputusan tersebut meski mendapat sorotan dan juga kritik. Analisis ekonomi atas atas divestasi saham PT. Freeport mendasari konsepsinya pada prinsip efisiensi, suatu prinsip yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dengan sarana-sarana yang paling sedikit di dalam menghabiskan sumber daya.

Konsep maksimalisasi dan keseimbangan juga digunakan untuk mengurai persoalan yang ada. Konsep maksimalisasi digunakan untuk menjawab bagaimana memanfaatkan situasi semaksimal mungkin agar apa yang menjadi ketentuan bisa didapatkan secara maksimal. Sementara konsep keseimbangan metupaka jalan tengah dari apa yang akan disepakati.



Daftar Pustaka
Ahmad Redi “Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Dalam Perspektif Pancasila dan UUD NRI 1945” dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 13. No. 3. September 2016.
Ady Irawan, “Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Dalam Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”  dalam Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 7. No. 1, Januari -Juni 2017. 
Ch. Himawan “Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum” (disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FHUI, Jakarta, 1991).
Mahrus Ali “Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas Hukum)”, dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 15 April 2008.
Syukri Hidayatullah “Perbandingan Hukum Pengaturan Standarisasi Menurut Agreement TBT Dan Undang-undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan”, dalam Jurnal Arena Hukum Vol. 9 No. 2, Agustus 2016.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
2018, jam 17.50 WIB.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.



[1] https://www.petrogas.co.id/ini-enam-pokok-point-penting-pp-no-1-tahun-2017.
[2] Ahmad Redi “Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Dalam Perspektif Pancasila dan UUD NRI 1945” dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 13. No. 3. September 2016. Hlm. 614
[3] Ady Irawan, “Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Dalam Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”  dalam Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 7. No. 1, Januari -Juni 2017, hlm. 29.
[4] Syukri Hidayatullah “Perbandingan Hukum Pengaturan Standarisasi Menurut Agreement TBT Dan Undang-undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan”, dalam Jurnal Arena Hukum Vol. 9 No. 2, Agustus 2016, hlm....
[5] Ibid,
[6] Ibid, hlm. 29-30.
[7] Ibid. Hlm, 32-33.
[8] Ibid. Hlm, 33.
[9] Mahrus Ali “Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas Hukum)”, dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 15 April 2008, hlm. 225-226.
[12] Ch. Himawan “Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum” (disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FHUI, Jakarta, 1991), Hal. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar