Senin, 15 November 2021

CATATAN SINGKAT SEPUTAR FILSAFAT ILMU (Rene Descartes, George Berkeley, John Locke, dan David Hume)

Fadli 


Rene Descartes “Discourse on Method”

Bertujuan membentuk suatu sistem filsafat yang sama kuat dengan sistem ilmu-ilmu pengetahuan alam dan matematika. Dimulai dengan metode keraguan terhadap semua ilmu pengetahuan. Keraguan yang metodis. Descartes melihat pemikiran filsafat yang umum masih kurang sistematis, terutama kekurangan suatu metode ilmiah. Menurutnya, metode yang cocok untuk membaharui filsafat adalah kesangsian metodis. Inilah yang menjadi dasar filsafatnya tentang metode: segala sesuatu itu dapat diragukan. Hanya apa yang  dapat diungkapkan dalam ide yang terang dan terpilah baik-baik, seperti ide-ide matematika, dapat diterima sebagai kebenaran (clara et distincta).

Originalitas Karya Rene Descartes

Meragukan semua pemikiran (ide) yang pernah diajarkan oleh guru-gurunya, bahkan mencurigai kemungkinan terkecoh oleh mahluk-mahluk gaib; Melakukan perenungan (refleksi); Keraguan radikal yang metodis (tidak skeptis); dan Akhirnya memperoleh kepastian. Dalam novelty (kebaruan) karyanyaAda satu hal yang tidak mungkin diragukan manusia yakni kesadarannya sendiri (cogito); Dipastikan pula adanya subyek yang berpikir (ergo sum); Bertolak dari kesadaran manusia, dan Descartes menetapkan subyek sebagai dasar dan titik tolak filsafat”.

Rene Descartes, berhasil membuat Filsafat sebagai ilmu yang sejajar dengan ilmu pengetahuan lain melalui kesangsian metodis (bahwa segala sesuatu itu dapat diragukan). Suatu fenomena agar dapat dipahami, hal itu harus diragukan terlebih dahulu. Saat meletakkan keraguan sebagai pembuka jalan menuju kebenaran, ketika itu pula muncul suatu aliran filsafat rationalism yang mengandalkan akal budi sebagai satu-satunya jalan demi mencapai kebenaran pada zamannya. Rene Descartes yang mendirikan aliran rationalism berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan yang ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti. Itulah mengapa Rene Descartes dapat dikatakan berhasil membuat filsafat sejajar dengan ilmu pengetahuan lain.

Descartes membutuhkan cara agar pemikirannya dapat tersusun dengan baik. Maka dari itu lahirlah metode matematika yang menjadi pisau bedah agar seorang subjek dapat mencapai kebenaran. Metode matematika ini dibagi menjadi dua, yaitu intuisi dan deduksi. Metode matematika secara intuisi artinya mereka membuktikan diri dengan menggunakan akal. Sedangkan, deduksi adalah pemikiran atau kesimpulan logis yang ditarik dari aksioma, seperti halnya semua geometri dipikirkan dalam urutan pasti dengan menggunakan deduksi dari aksioma. Sederhananya, semesta fakta ini dapat disusun secara deduktif dan logis. Hal inilah yang menjadi impian Descartes dalam permenungannya agar memiliki landasan filsafat yang dapat menyimpulkan dan tiba pada kebenaran absolut. Karena permenungannya yang terus bergerak akhirnya memunculkan hal baru, bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi yaitu pikiran. Slogan yang terkenal darinya adalah cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Inilah yang menjadi inti dari keseluruhan pemikirannya.

Dengan apa yang telah dilakukan Rene Descartes melahirkan dua aliran filsafat yaitu Rasionalisme dan Empirisme sehingga gelar sebagai “Bapak Filsafat Modern” yang diberikan pada Rene Descartes, memang layak dan pantas, hal tersebut juga sebagaimana dikatakan Bertnand Russel gelar itu diberikan kepada Rene Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri di atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional.[1]

Perbedaan “Realitas semesta” Dari Tiga Tokoh

George Berkeley

Tak mungkin ada benda atau persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi tersebut, subyek (akala tau si yang tau) seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang disebut materi atau benda-benda) bahwa apa yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.

John Locke

Bahwa diluar kesadaran, ada realitas konkret (benda-benda) benda punya kualitas primer/ sekunder. Pandangan tersebut kebalikan dari pandangan George Berkeley. Salah satu pemikiran John Lock mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan, bisa lebih diterima. Loock dalam pemikirannya mengatakan, seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini adalah posisi empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio atau pikiran manusia. Meskipun demikian, rasio atau pikiran berperan juga di dalam proses manusia memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum berfungsi atau masih kosong. Situasi tersebut diibaratkan Locke seperti sebuah kertas putih (tabula rasa) yang kemudian mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu. Rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.

Lebih lanjut, Locke menyatakan ada dua macam pengalaman manusia, yakni pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation) dan pengalaman batiniah[2] (internal sense atau reflection). Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca indra manusia. Kemudian pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya. Kedua bentuk pengalaman manusia inilah yang akan membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya.

Dari perpaduan dua bentuk pengalaman manusia, pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah, diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple ideas) yang berfungsi sebagai data-data empiris. Ada empat jenis pandangan sederhana: Pandangan yang hanya diterima oleh satu indra manusia saja. Misalnya, warna diterima oleh mata, dan bunyi diterima oleh telinga. Pandangan yang diterima oleh beberapa indra, misalnya saja ruang dan gerak. Pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia, misalnya ingatan. Pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan dan refleksi. Misalnya, rasa tertarik, rasa heran, dan waktu.

Di dalam proses terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini, rasio atau pikiran manusia bersifat pasif atau belum berfungsi. Setelah pandangan-pandangan sederhana ini tersedia, baru rasio atau pikiran bekerja membentuk 'pandangan-pandangan kompleks' (complex ideas). Rasio bekerja membentuk pandangan kompleks dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan menghubung-hubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut. Ada tiga jenis pandangan kompleks yang terbentuk: Substansi atau sesuatu yang berdiri sendiri, misalnya pengetahuan tentang manusia atau tumbuhan. Modi (cara mengada suatu hal) atau pandangan kompleks yang keberadaannya bergantung kepada substansi. Misalnya, siang adalah modus dari hari. Hubungan sebab-akibat (kausalitas). Misalnya saja, pandangan kausalitas dalam pernyataan: "air mendidih karena dipanaskan hingga suhu 100° Celcius".[3]

David Hume

Dunia yang kita lihat tertata rapi jangan-jangan hanya sebuah illusi. Inti penemuan Pemikiran David Hume adalah sebagai berikut:

1.          Dipengaruhi pandangan pemikiran George Berkeley dan John Locke.

2.   Semua pengetahuan tentang dunia, berbasis pada persepsi kita. Menganut prinsip epistemologis “nihil est intelctu quod non antea fuerit in sensu” tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data indrawi.

3.  Ada dua bentuk persepsi impresi (kesan) dasn Ide (ideas). Kesan merupakan penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas kesan-kesan.

4.          Impresi sifatnya lebih kuat dan jelas, ide-ide sifatnya lebih lemah dan kurang jelas.

5.          Tidak ada ide-ide tanpa didahului impresi.

6.          Impresi atau ide dapat sederhana atau kompleks

7.          Dari ide kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana

8.     Pikiran manusia bekerja berdasarkan tiga prinsip. Prinsip kemiripan mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Prinsip kedekatan, kalua kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendela, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman indrawi sebelumnya. Prinsip sebab-akibat jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit yang diakibatkannya.

David Hume “semesta” (dunia luar) hanya “sebuah illusi”

Didahului kritik kerasnya terhadap asumsi epistemologi warisan filsafaty Yunani kuno yang selalu mengklaim bahwa pengetahuan kita mampu untuk menjangkau semesta sesungguhnya. Hume mengemukakkan bahwa klaim tentang semesta sesungguhnya di balik penampakan tidak dapat dipastikan melalui pengalaman factual maupun prinsip-prinsip non-kontradiksi.

1.      Kritik Hume merupakan sikap skeptis terhadap hukum sebab akibat yang diyakini oleh kaum rasionalis sebagai prinsip utama pengatur semesta.

2.     Keniscayaan sebab-akibat tidak pernah bisa diamati karena semuanya masih bersifat kemungkinan.

3.    Hubungan sebab akibat didapatkan berdasrkan kebiasaan dan harapan berlaku dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain. Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit di Timur selalu diikuti peristiwa tenggelam di Barat dania akan mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di masa yang akan dating.

4.    Bagi Hume, bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi keniscayaan, namun demikian David Hume memang mengakui ada kebenaran Apriori tetapi tidak pernah menambah pengetahuan tentang dunia.

5.      Pengetahuan tentang dunia, hanya bisa bertambah lewat pengalaman empiris atau secara aposteriori.

6.     Dengan adanya inti pemikiran tersebut maka kemudian David Hume menyimpulkan bahwa tidak ada impresi tentang dunia luar. Ide tentang dunia luar itu hanya sebuah illusi.

Problem Induksi

Argumen induktif yang dipergunakan tidak dapat membenarkan prinsip induksi. Dalam hal ini maksudnya kita tidak dapat mempergunakan induksi untuk membenarkan induksi. Kesulitan seperti ini melekat pada cara pembenaran induksi.

Mengapa Muncul Problem Induksi

Adanya masalah pembenaran infrensi induktif dari yang diamati ke yang tidak teramati. Itu diberikan formulasi klasiknya oleh David Hume (1711–1776), yang mencatat bahwa semua kesimpulan seperti itu bergantung, secara langsung atau tidak langsung, pada premis yang tidak berdasar secara rasional bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu. Ada dua varian utama masalahnya; yang pertama mengacu pada keseragaman yang diamati di alam, sedangkan yang kedua bergantung pada pengertian sebab dan akibat, atau "hubungan yang diperlukan".[4]

1.          Karena adanya lompatan yang mengabaikan sifat kesementaraan suatu peristiwa;

2.   Didasarkan pada kebiasaan dan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain;

3.        Selain itu problem induksi muncul karena adanya pertanyaan filosofis mengenai apakah penalaran induktif akan membawa kita ke pengetahuan dalam arti filosofis klasik, karena masalah ini berpusat kepada kurangnya justifikasi dalam menggeneralisasi properti kelas objek yang didasarkan dari pengamatan beberapa benda dari kelas tersebut (misalnya, pernyataan bahwa "semua angsa yang terlihat berwarna hitam, dan maka semua angsa hitam" sebelum penemuan angsa hitam), atau menduga bahwa serangkaian peristiwa pada masa depan akan terjadi sama seperti pada masa lalu (misalnya keberlangsungan hukum fisika). Hume menyebutnya Prinsip keseragaman Alam.[5]

Immanuek Kant “Tidur Dogmatis”

Bahwa ia selama ini bertahan pada paham dogmatis (dogmatisme) yaitu model berpikir dengan percaya mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dulu. Immanuel Kant berhasil mengatasi “Skeptisisme” David Hume setelah terbagun dari “Tidur Dogmatisnya” dengan membangun filsafat kritisnya. Paham kritis (Kritisme) itu diletakan sebagai lawan bagi paham dogmatis (dogmatisme). Paham kritisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan batas-batas rasio.[6]

Secara khusus Immanuel Kant mengatasi “Skepitisme” David Hume pada pandangan tentang dunia luar. Immanuel Kant mengatakan, dunia luar adalah hasil konstruksi akal budi dan subyek mengetahui dunia luar (bukan sebuah ilusi).

Persamaan dan perbedaan antara pemikiran David Hume dengan Immanuel Kant dapat ditemukan pada pandangan mereka mengenai ilmu pengetahuan. Baik David Hume maupun Immanuel Kant sama-sama menolak pandangan metafisika. Namun perbedaannya adalah Jika David Hume secara keras menyatakan bahwa pengetahuan sejati (genuine knowledge) dibentuk tak lain selain fakta dan rerangkai matematis. Sehingga, terlepas dari keduanya, pengetahuan tersebut salah dan tidak menyatakan realitas. Di lain hal, Immanuel Kant menyatakan bahwa, tidak seperti Hume yang menolak mentah-mentah pengetahuan selain hal yang empiris dan terukur, terdapat suatu lokus pengetahuan yang disebut sintetis a priori. Menurut Kant, terdapat suatu pengetahuan sejati yang terdiri atas fakta-fakta pengetahuan yang independen, lepas dari pengalaman empiris seperti pengetahuan atas ruang, waktu, dan kausalitas.[7]

REFERENSI

 

Bertrand, Russell. “Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang”. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).

 

Dahlan, Moh. “Pemikir Filsafat Moral Immanuel Kant: Deentilogi, Impresif Kategoris dan Postulat Rasio Praktis”. (Jurnal Ilmu Usbuluddin, ISSN 14412-5188. Vol. 8. No. 1. Januari 2009).

 

Hartanto, Rudy. “Rene Descartes (1596-1650) Bapak Filsafat Modern, Sumbangan Pemikiran Ilmu Pengetahuan”. (Bahan kuliah Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2021).

------------, Rudy. “John Locke (1632-1704) Perintis Empirisme Modern”. (Bahan kuliah Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2021).

 

------------, Rudy. “David Hume (1711-1776) Filsuf Skeptis”. (Bahan kuliah Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2021).

 

------------, Rudy. “Filsafat Ilmu, Immanuel Kant (1724-1804), Keterbatasan Rasio Memahami Semesta”. (Bahan kuliah Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2021).

Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008).

--------------, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. (Jakarta: PT Gramedia Jakarta, 1986).


M. Led Al Munir. “Tinjauan Terhadap Metode Emprisme dan Rasionalisme”. (Jurnal Filsafat, Jilid 38, Nomor 3 Desember 2004).

 

Satvia. “Emprisisme, Sebuah Pendekatan Penelitian Arsitektural”. (Jurnal INERSIA, Vol. VII No. 2, Desember 2011).

 

https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke 

https://delphipages.live/id/filsafat-agama/masalah-filsafat/problem-of-induction

https://id.wikipedia.org/wiki/Masalah_induksi

https://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika#Penolakan_terhadap_metafisika

 



[1] Russell Bertrand, 2007. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

[2] Satvia, Emprisisme, Sebuah Pendekatan Penelitian Arsitektural, INERSIA, Vol VII No. 2, Desember 2011

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke

[4] https://delphipages.live/id/filsafat-agama/masalah-filsafat/problem-of-induction

[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Masalah_induksi

[6] Moh. Dahlan. Pemikir Filsafat Moral Immanuel Kant (Deentilogi, Impresif Kategoris dan Postulat Rasio Praktis). Ilmu Usbuluddin, Januari 2009, hlm. 37-48 ISSN 14412-5188. Vol. 8, No. 1

[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika#Penolakan_terhadap_metafisika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar