Jumat, 10 September 2021

PERAN HUKUM DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN TEROBOSAN MENUJU HUKUM PROGRESIF (Suatu Analisis Putusan Hakim No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag. Tentang Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan I)

Fadli[1] 

A.     Pendahuluan

Kasus tindak pidana narkotika ini dilakukan oleh Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk Anak Fx Surajiyo pada hari minggu tanggal 19 Februari 2017. Kabupaten Sanggau. Fidelis Arie Sudewarto ditangkap petugas BNN Sanggau terkait narkotika jenis ganja, setelah dilaksanakan tes urine di Kantor Kesbangpol dan dari hasil tes urine tersebut tidak termasuk dalam kategori positif. Dikediaman yang bersangkutan didapat tanaman ganja yang ditanam oleh yang bersangkutan bersama istrinya sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) batang pohon, ganja tersebut ditanam sejak bulan Mei tahun 2013.

 Dari hasil keterangan yang bersangkutan, ganja tersebut gunakan untuk mengobati istri yang menderita sakit Syringomyelia[2] sejak bulan Oktober tahun 2013. Upaya medis untuk mengobati istrinya telah dilakukan dengan membawa ke Rumah Sakit Umum Sanggau, Rumah Sakit Umum di Pontianak dan Rumah Sakit Antonius di Pontianak, juga sudah pernah membawa istrinya tersebut ke Rumah Sakit di Singkawang untuk diperiksa kejiwaannya selain itu juga pernah mengobati istrinya dengan pengobatan alternatif seperti tukang urut. Pernah juga dilakukan upaya akan membawa istrinya tersebut untuk berobat di Jawa namun niat tersebut belum dilakukan karena Dokter mengatakan kondisinya tidak kuat untuk perjalanan jauh dan dikhawatirkan akan drop, menurut dokter yang merawat istrinya sebenarnya harus di lakukan operasi akan tetapi kondisi istri yang bersangkutan tidak memungkinkan karena terlalu berisiko sementara dari rumah sakit sendiri sudah tidak ada lagi penanganan medis. Faktanya setelah melalui berbagi macam upaya pengobatan kondisi istrinya tidak kunjung membaik dan semakin parah bahkan tidak bisa makan. Kemudian yang bersangkutan mendapatkan artikel mengenai ganja di internet, yang bisa diolah menjadi ekstrak[3] atau minyak yang dioleskan di luka istrinya dan ada juga yang dicampur ke dalam makanan istrinya, sedangkan daun ganja tersebut diolah dan dicampurkan ke dalam minuman istri terdakwa dengan cara dijadikan jus. Untuk mendapatkan ekstrak ganja sebanyak 3 ml dibutuhkan 4 batang pohon dan ekstrak ganja sebanyak 3 ml dapat digunakan selama seminggu.

Pada tanggal 25 Maret 2017 istri yang bersangkutan meninggal dunia Ketika dirinya berada dalam tahanan, benar ia tidak pernah terlibat peredaran narkotika jenis ganja tersebut, juga tidak pernah menggunakan narkotika tersebut untuk dirinya sendiri, ganja tersebut digunakan untuk mengobati istrinya yang sedang sakit.[4]

Mencermati hal di atas, Majelis Hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan. Memberatkan, yaitu terdakwa tidak mendukung program Pemerintah dalam pemberantasan narkotika, sedangkan keadaan yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum, mengakui terus terang perbuatannya, menggunakan narkotika tersebut untuk mengobati istrinya, merupakan tulang punggung keluarga dan tumpuan terakhir anak-anaknya setelah istrinya meninggal.[5]

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis hakim memutuskan Fidelis Arie Sudewarto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan narkotika golongan I jenis ganja”; Pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; Masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menetapkan agar tetap ditahan; Menetapkan barang bukti berupa sebagaimana yang disebutkan ada yang dirampas untuk dimusnahkan, 1 (satu) buah Kartu Tanda Penduduk atas nama Fidelis Arie Sudewarto dikembalikan kepada terdakwa, 1 (satu) buah motor Honda Vario Warna Putih dengan nomor Polisi KB 3235 UY, 1 (satu) buah STNK dengan nomor Polisi KB 3235 UY dikembalikan kepada saksi Tri Raman Jaya; Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah).[6]

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, Apakah putusan tersebut telah mewujudkan rasa keadilan dan apakah dapat dikategorikan sebagai putusan yang progresif?

C.     Pembahasan

Analisis Putusan Apakah Telah Mewujudkan Rasa Keadilan dan Progresif

Untuk mewujudkan hukum telah bekerja dengan baik maka batu ujinya pada nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Namun demikian karena keterbatasan waktu maka tulisan ini hanya dikhususkan untuk mengupas wujud hukum dalam tataran keadilan atas putusan Putusan Hakim No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag. Tentang Tindak Pidana Penggunaan Narkotika Golongan I.

Untik itu, mari kita lihat apakah putusan tersebut telah mewujudkan unsur keadilan sebagaimana yang diharapkan atau belum. Sebagaimana diketahui bahwa Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Fidelis Arie Sudewarto dengan tuntutan 5 (lima) bulan penjara dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta) subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun kemudian Majelis Hakim memutuskan Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain”; Membawa dan mengedarkan narkotika golongan I jenis ganja”; Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selam 1 (satu) bulan; Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan; Menetapkan barang bukti berupa sebagaimana yang disebutkan ada yang dirampas untuk dimusnahkan, 1 (satu) buah Kartu Tanda Penduduk atas nama Fidelis Arie Sudewarto dikembalikan kepada terdakwa, 1 (satu) buah motor Honda Vario Warna Putih dengan nomor polisi KB 3235 UY, 1 (satu) buah STNK dengan nomor polisi KB 3235 UY dikembalikan kepada saksi Tri Raman Jaya; keenam, membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah).

Jika dicermati vonis hukuman yang dijatuhkan pada Fidelis Arie Sudewarto jauh lebih ringan dari ancaman hukuman pidana minimal 5 (lima) tahun penjara hal ini tentunya bahwa hakim tidak hanya melihat prinsip kepastian hukum tetapi juga keadilan hukum. Dalam posisi di mana ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka yang harus didahulukan adalah prinsip keadilan hukum. Prinsip keadilan hukum sudah diterapkan dalam kasus ini. Sesuai undang-undang.

Karena Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut 5 (lima) bulan dan Majelis Hakim memutus 8 (delapan) bulan penjara, maka pengadilan sebenarnya sudah mengarah ke keadilan hukum. Sangat sulit untuk berharap hukuman bebas murni, karena ada unsur yang terbukti. Dalam kasus ini baik Jaksa Penuntut Umum Maupun Majelis Hakim sudah mempertimbangkan posisi kasus ini yang tujuannya bukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tetapi dalam kapasitas penyembuhan. Karena itu, vonis 8 (delapan) bulan penjara akhirnya dijatuhkan, tanpa melihat bahwa sesuai aturan hukuman minimalnya 5 (lima) tahun penjara.

Pada penerapan hukuman sepertinya Majelis Hakim tidak kaku mengikuti undang-undang yang berlaku. Apresiasi yang sama juga diberikan kepada penegak hukum yang lain termasuk Jaksa Penuntut Umum yang mempertimbangkan alasan dan tujuan Fidelis menanam ganja, yaitu sebagai bagian dari upaya penyembuhan istrinya.

Jika dilihat dari sudut pandang Majelis Hakim atau Jaksa Penuntut Umum, ini adalah keputusan yang progresif. Tetapi kalau dari sisi terdakwa memang belum, karena keinginan dari terdakwa adalah dibebaskan. Namun demikian dari gambaran kasus ini, kita sudah melihat ada arah untuk mempertimbangkan asas hukum yang progresif tadi. Meskipun belum bisa memuaskan semua pihak, terutama dari pihak terdakwa.[7]

Namun demikian apabila ajaran perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederechtelijkheid) dalam fungsi negatif dapat diterapkan dalam kasus aktual. Ajaran hukum ini pada intinya menggariskan, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi unsur formil suatu pasal undang-undang (perbuatannya formil melawan hukum), maka tidak selalu pelaku dapat dipidana jika ada perkecualian berdasarkan aturan hukum tidak tertulis atau materiil tidak melawan hukum.

Dengan kata lain, penerapan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif merupakan alasan penghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan (straftuitsluitings grond) atau alasan pembenar atau menghalalkan perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana (rechtvaardigings grond). Sisi materiil yang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan adalah pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat bahwa perbuatan tersebut tidaklah tercela atau dapat dibenarkan.

Adapun kriteria dan syarat penerapan ajaran hukum materiil dalam fungsi positif dapat dirujuk pendapat ahli hukum terkemuka, seperti Th. W. Van Veen, Langemeyer dan J.M. Van Bemmelen. Menurut Th. W. Van Veen, kriterianya pendapat hakim bahwa pembentuk undang-undang sendiri andai menghadapi persoalan ini sudah pasti dibuatnya perkecualian atau hakim berpendapat perbuatan terdakwa memiliki tujuan yang baik dan dapat dibenarkan.

Sementara Langemeyer dan Van Bemmelen ajukan kriteria perbuatan terdakwa lebih menguntungkan dibanding merugikan. Pada awalnya, ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif pertama kali diterapkan dalam kasus aktual dalam perkara yang dikenal dengan Arrest Dokter Hewan di kota Huizen, Belanda, berdasarkan putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tanggal 20 Februari 1933. Seorang dokter hewan mencampur 7 ekor sapi sehat ke dalam kumpulan sapi yang telah terjangkit penyakit, dengan pertimbangan supaya ke 7 ekor sapi tersebut tidak terjangkiti penyakit saat mengeluarkan susu, sebab jika sampai sapi-sapi itu diserang penyakit menular itu ketika mengeluarkan susu maka sapi-sapi itu akan mengalami penderitaan yang amat sangat dan lebih rawan menularkan secara lebih luas lagi. Cuma itu satu-satunya jalan. Pemilik sapi menuntut si dokter hewan berdasarkan Pasal 82 Veetwet (undang-undang tentang Hewan) karena semua sapinya terjangkiti penyakit menular. Di tingkat pertama dan banding, si dokter hewan dinyatakan bersalah. Namun di tingkat Hoge Raad, hakim membebaskan dokter hewan tersebut. Alasan Mahkamah Agung Belanda, barang siapa melakukan suatu perbuatan yang memenuhi rumusan pasal undang-undang tidak selalu harus dijatuhi pidana, meskipun tidak terdapat pengecualian di dalam undang-undang, apabila perbuatan tersebut secara materiil tidak tercela. Atas dasar itu, sekalipun perbuatan dokter hewan itu telah jelas-jelas memenuhi unsur Pasal 82 Veetwet, akan tetapi perbuatan dokter hewan itu dapat dibenarkan sehingga perbuatannya tidak mengandung sifat melawan hukum secara materiil, karena perbuatan dokter hewan itu telah sesuai dengan pengetahuan keahliannya.

Oleh karena sistem hukum pidana umum Indonesia mengadopsi hukum pidana Belanda, maka ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tersebut, pun, berlaku dalam kasus-kasus aktual di Indonesia. Ambil contoh perbuatan petugas kesehatan atau penyuluh yang menyebarluaskan alat-alat pencegah kehamilan, ini jelas melanggar Pasal 283 Ayat (1) KUHP, sehingga perbuatan ini formil melawan hukum, akan tetapi secara materiil tidaklah tercela atau tidak melawan hukum atau dapat dibenarkan atau dapat diterima, karena keluarga berencana (KB) merupakan program Nasional.

Dalam kasus Fidelis Arie Sudewarto yang menanam atau memiliki 39 batang ganja, jelas memenuhi unsur atau melanggar Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jadi formil melawan hukum, akan tetapi secara materil tidaklah tercela atau dapat dibenarkan karena ganja itu dipergunakan untuk mengobati penyakit Syringomyeila yang diderita istrinya. Pengobatan penyakit Syringomyeila dengan menggunakan ekstrak ganja telah dikenal luas di dunia. Fidelis terbukti menggunakan ekstrak ganja untuk mengobati istrinya, bukan untuk yang lain. Kecuali ada bukti bahwa ganja yang ditanam Fidelis tersebut digunakan sendiri oleh yang bersangkutan untuk kesenangan pribadi atau dijual untuk mendapatkan manfaat ekonomis, maka dalam kasus begini jelas memenuhi unsur pasal sekaligus tercela secara materiil. Namun yang terjadi tidak demikian. Dalam kasus begini, idealnya, hakim berani memutus terdakwa dengan vonis bebas dengan alasan perbuatan tersebut formil melawan hukum tapi materiil dapat dibenarkan, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat. Jangan lupa (harus selalu diingat) pondasi filosofis ini. Bahwa setiap putusan hakim selalu diawali dengan irah-irah frase berbunyi "Untuk Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Bismar Siregar, irah-irah itu bermakna sumpah yang merupakan roh putusan. Dengan demikian, putusan hakim selalu untuk keadilan, bukan untuk hal lain, termasuk bukan untuk undang-undang. Pun, Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berikut penjelasan pasalnya telah mewanti-wanti agar hakim dalam membuat putusan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Norma hukum ini untuk mengantisipasi hakim terjebak menjadi semata-mata corong undang-undang dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.

Mengapa penting? Sebab, tujuan tertinggi dari hukum adalah sarana atau alat untuk menghadirkan keadilan. Hukum bukan untuk hukum itu sendiri. Jadi, adalah tercela jika hakim semata-mata menjadi corong undang-undang dengan mengabaikan asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat. Memutus Fidelis bersalah karena perbuatannya dinilai telah memenuhi unsur Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah jelas hakimnya menganut pandangan formil dan lebih mementingkan undang-undang atau menjadi corong undang-undang ketimbang asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat.[8]

D.     Penutup

1.      Kesimpulan

Berdasarkan analisis tersebut di atas, dapat ditarik simpulan dalam putusan ini hakim telah mengakomodir prosedur hukum acara pidana, asas-asas umum persidangan, dan telah membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan terdakwa. Namun hakim belum sepenuhnya mengakomodir ketentuan atau aturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah di atas. Selain itu, hakim juga tidak menggunakan sumber hukum lain berupa doktrin, yurisprudensi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Namun demikian dalam hal keadilan penulis berpandangan bahwa Putusan Hakim No. 111/Pid. Sus/2017/PN Sag, telah memenuhi unsur keadilan jika mengikuti perspektif Majelis Hakim dapatlah dikatakan bahwa putusan tersebut cukup progresif karena jarang terjadi putusan yang dijatuhkan lebih rendah dari ancaman hukuman minimal meskipun ada juga alasan dan ketentuan lain yang diabaikan.

2.      Saran

Sebaiknya dalam memutus perkara hakim harus dapat mengakomodir ketentuan atau aturan perundang-undangan yang lain juga menggunakan sumber hukum lain berupa doktrin, yurisprudensi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

 



[1] Tulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi Tes Penguasaan Ilmu Hukum Pada Program Doktor Hukum Universitas Trisakti.

[2] Syringomyelia adalah tumbuhnya kista berisi cairan (syrinx) di dalam sumsum tulang belakang. Cairan ini terbentuk dari kumpulan cairan pelindung di otak dan sumsum tulang belakang yang disebut dengan cairan serebrospinal.

[3] Ekstrak yang dimaksud di sini adalah zat yang dihasilkan dari ekstraksi bahan mentah dalam mhal ini bunga ganja yang kemudian menjadi bahan baku untuk dan digunakan secara langsung oleh terdakwa untuk mengobati luka-luka istrinya.

[4] Tentang fakta-fakta hukum dapat dibaca pada halaman 44-46 pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.

[5] Hal-hal yang memberatkan dan juga meringankan dapat dibaca pada halaman 61 pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag.

[6] Penjelasan hal tersebut dapat ditemukan pada Putusan Hakim Nomor 111/Pid. Sus/2017/PN Sag. Pada poin Mengadili, hlm. 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar