Fadli[1]
Abstrak
Aktivitas transaksi bisnis internasional
semakin meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi global. Hubungan bisnis
antara pelaku bisnis yang berasal dari dua negara atau lebih yang memiliki
latar belakang negara dan sistem hukum berbeda. Dalam praktiknya, sering
bermasalah atau menimbulkan sengketa hukum. Akibatnya transaksi bisnis
internasional bukannya memberi manfaat dan keuntungan, justru menimbulkan beban
dan kerugian. Untuk mengatasi adanya perselisihan tersebut, salah satunya dapat
menempuh
arbitrase internasional. Fokus lebih
lanjut dalam pembahasan makalah ini adalah bagaimana pengertian, kedudukan dan
mekanisme penyelesaian sengketa international commercial arbitration dalam
kaitannya dengan transaksi bisnis internasional. Pembahasan dikaji mengunakan
metode penelitian hukum yuridis normatif menitikberatkan pada Pengertian,
kedudukan, dan mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase komersial
internasional (international commercial arbitration) dalam perspektif transaksi bisnis internasional (international
businees transactions). Dilihat dari pengertian Arbitrase Internasional
merupakan forum arbitrase yang menyelesaikan perselisihan atas transaksi
komersial yang memiliki keterkaitan dengan unsur asing. Diatur dalam Konvensi
New York 1958, UNCITRAL Model Law dan untuk Indonesia diatur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Secara mekanisme adanya peradilan arbitrase karena adanya perjanjian
arbitrase. Perjanjian arbitrase yang disepakati oleh para pihak dalam kontrak
bisnis merupakan dasar pembentukan peradilan arbitrase yang dibuat berdasarkan
klausul arbitrase (arbitartion clause) maupun yang dibuat dalam bentuk
perjanjian arbitrase tersendiri (submission agreement).
Kata kunci: arbitrase, arbitrase internasional, transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan
ekonomi dunia telah membawah dampak yang semakin besar terhadap keterbukaan
ekonomi dan pasar global yang saat ini sedang berlangsung diberbagai negara.
Perkembangan ekonomi tersebut juga berdampak pada meningkatnya transaksi atau
aktivitas bisnis dikalangan pelaku usaha yang memiliki kewarganegaraan yang
berbeda yang dilakukan melintasi batas-batas negara. Para pelaku usaha antar
negara menjalin kerja sama bisnis atau perdagangan untuk memberikan manfaat dan
keuntungan bagi para pihak yang terlibat. Contohnya pelaku usaha asal Indonesia
membutuhkan produk mesin, namun produk tersebut hanya tersedia di Jepang, kedua
pelaku usaha yang berbeda negara tersebut sepakat untuk mengadakan impor mesin
yang dimaksud oleh pelaku usaha asal Indonesia. Contoh lain, sebuah perusahaan
yang memiliki pabrik komponen di negara A, B, dan C. Komponen-komponen ini
kemudian dirakit di negara D serta dipasarkan di negara E. Artinya dengan
contoh kasus tersebut maka perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha
sudah tidak mengenal lagi batas-batas negara.
Upaya
yang dijalin oleh pelaku usaha tersebut semakin meningkat pesat karena tidak mungkin
suatu negara mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri tanpa menjalin
kerja sama dengan pelaku bisnis dari negara lain. Jalinan kerjasama yang
dilakukan oleh para pelaku usaha dengan melintasi batas-batas negara kemudian
dalam berbagai literatur hukum dikenal dengan nama “Transaksi Bisnis
Internasional (International Businees
Transactions)”. Transaksi bisnis internasional merupakan
transaksi lintas negara, yang melibatkan dua pihak atau lebih yang berasal dari
negara yang berbeda atau memiliki sistim hukum yang berbeda dan oleh karenanya
masing-masing pihak memiliki pandangan yang berbeda terhadap pemahaman hukum
itu sendiri. Tujuannya adalah menciptakan upaya ke arah pertumbuhan
perdaganagan internasional yang memberi dampak positif bagi perekonomian
Indonesia dan negara mitra dagang Indonesia. Untuk mendukung pertumbuhan
perdagangan internasional dalam transaksi bisnis internasional, memerlukan
hukum sebagai norma-norma yang berlaku bagi para pihak. Hal ini selaras dengan
yang disampaikan oleh Ramlan Gintig (2014:14-15) yaitu:
“Dalam transaksi bisnis
internasional, hukum nasional suatu negara tidak dengan sendirinya dapat
diterapkan terhadap mitra bisnis yang berasal dari negara lain. Dalam transaksi
bisnis internasional, pemberlakuan hukum nasional suatu negara hanya dapat
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional (conflict of law
rule).
Para pihak dalam transaksi bisnis internasional dapat memberlakukan hukum
nasional suatu negara berdasarkan prinsip pilihan hukum (choice of law). Berdasarkan prinsip
pilihan hukum para pihak memilih hukum nasional dari negara tertentu sebagai
hukum yang berlaku atas kontrak bisnis internasional yang sedang
dinegosiasikan. Selain itu, jika terjadi perselisihan hukum diantara para
pihak, penentuan hukum nasional yang berlaku atas kontrak bisnis internasional
dapat ditetapkan oleh hakim peradilan umum atau arbitrator peradilan arbitrase
berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional. Prinsipprinsip yang
biasa digunakan adalah prinsip lex loci contractus, lex loci solutionis atau the closest and
most real connection theory. Penetapan hukum yang berlaku (governing law) atas suatu kontrak
bisnis internasional hanya akan dilakukan oleh hakim atau arbitrator apabila
para pihak tidak memilih hukum nasional yang berlaku atas kontrak bisnis
internasional tersebut. Namun, pemilihan atau penetapan hukum yang berlaku atas
kontrak bisnis internasional hanya relevan jika memang ada hukum nasional yang
mengatur transaksi bisnis internasional yang disebutkan dalam kontrak bisnis
internasional dimaksud”.[2]
Dalam
melakukan kerja sama bisnis atau transaksi bisnis antar negara, para pelaku
bisnis memerlukan kontrak bisnis internasional, baik itu dalam skema antara
pemerintah dengan pemerintah (G to G), antra pemerintah dengan swasta (G to B),
maupun antara swasta dengan swasta (B to B). Kesepakatan mengenai
ketentuanketentuan dalam kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional
antara pelaku bisnis yang berasal dari dua negara atau lebih biasanya
dituangkan kedalam suatu kontrak bisnis internasional. Kontrak bisnis
internasional merupakan dasar hubungan hukum dan pedoman bersama bagi pelaku
bisnis yang berbeda negara dalam melaksanakan kerja sama bisnis atau transaksi
bisnis internasional. Kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional
menimbulkan hubungan hukum yang kompleks karena melibatkan pelaku bisnis yang
memiliki latar belakang negara yang sistem hukumnya saling berbeda.[3]
Untuk mengatasi kompleksitas hubungan hukum bisnis internasional ini, maka
sebagaiman diungkapkan oleh Hikmahanto Juwana (2001:225) bahwa:
“Setiap pelaku usaha
yang akan melakukan transaksi bisnis internasional harus mampu memahami
ketentuan-ketentuan hukum yang ada di negara lain dimana pelaku usaha melakukan
kegiatan bisnis. Berbicara mengenai ketentuan hukum maka pelaku usaha tidak
hanya dituntut mengetahui peraturan perundang-undangannya saja namun juga harus
memahami ketentuan hukum yang bersifat tertulis atau kebiasaan-kebiasaan yang
ada di negara setempat. Bahkan yang terpenting juga pelaku usaha harus memahami
secara benar apa dan bagaimana budaya hukum dari masyarakat, khususnya
masyarakat bisnis di negara setempat”.[4]
Selain
itu kewajiban para pelaku bisnis antar negara ini secara khusus dituntut mampu
merumuskan kontrak bisnis internasional secara baik, benar, dan akurat dengan
terlebih dahulu memahami seluk-beluk hukum kontrak bisnis internasional yaitu
terkait transaksi bisnis internasional dalam hukum nasional; prinsip-prinsip
hukum kontrak dalam transaksi bisnis internasional; dan strategi serta
mekanisme penyelesaian sengketa kontrak bisnis internasional. Agar tidak
menimbulkan masalah hukum atau sengketa hukum di kemudian hari. Namun, dalam
praktiknya, masalah hukum atau sengketa hukum dalam kerja sama bisnis atau
transaksi bisnis internasional sering terjadi akibat tidak mahir atau tidak
ahli dalam menyusun kontrak bisnis internasional. Ini disebabkan oleh kurang
dipahaminya seluk-beluk hukum kontrak bisnis internasional. Dampaknya, kerja
sama bisnis atau transaksi bisnis internasional bukannya memberi manfaat dan
keuntungan, tetapi justru menimbulkan beban dan kerugian. Oleh karena itu, para
pelaku bisnis yang bergiat dalam kerja sama bisnis atau transaksi bisnis
internasional harus memahami betul seluk-beluk hukum kontrak bisnis
internasional.
Adanya perbedaan sistem hukum dalam transaksi bisnis
internasional tersebut dapat menimbulkan masalah atau kesulitan dalam
pelaksanaan transaksi atau dalam penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari
transaksi atau perdagangan internasional tersebut. Isi undang-undang nasional
yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya telah mengakibatkan
ketidakpastian hukum dan kesulitan diantara para pelaku usaha. Hal tersebut
dicontohkan Subianta Mandala (2016:54-55) sebagaimana berikut:
“Sebagai contoh,
perbedaan pengaturan hukum kontrak (nasional) dalam suatu transaksi jual beli
internasional yang melibatkan pelaku usaha dari dua atau lebih negara yang
berbeda tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, transaksi jual
beli internasional yang dilakukan oleh pengusaha Singapura dengan pengusaha
Indonesia akan melibatkan dua sistem hukum yang berbeda. Hukum kontrak Singapura
yang berasal dari sistem hukum anglo saxon mempunyai pengaturan yang berbeda dengan hukum
kontrak Indonesia yang bersumber dari tradisi hukum Eropa Kontinental.
Ketidakpastian hukum timbul ketika terjadi sengketa dimana pelaku bisnis ini
kemungkinan akan dihadapkan pada suatu sistem hukum kontrak yang benar-benar
asing bagi dirinya dan yang tidak pernah diharapkan sejak awal. Adanya
perbedaan aturan hukum nasional sebagaimana digambarkan di atas, mempengaruhi
kelancaran transaksi bisnis internasional”.[5]
Oleh
karena itu, kehadiran negara sangat dibutuhkan untuk mengatur kebutuhan akan
adanya peraturan yang bersifat universal dan seragam yang mengatur hak dan
kewajiban pelaku usaha dalam melakukan transaksi bisnis internasional. Dengan
demikian maka penting bagi negara untuk mewujudkan unifikasi dan harmonisasi
hukum transaksi bisnis internasional. Sehubungan dengan paparan tersebut di
atas, tulisan ini akan mencoba mengurai sistem hukum apa yang akan diterapkan
ketika timbul sengketa dalam transaksi bisnis internasional tersebut. Keadaan tersebut
di atas tentunya perlu direspons atau diantisipasi, dan salah satunya dengan
menggunakan peradilan arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa. Hal
inilah yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut dalam tulisan yang
diberi judul “KEDUDUKAN ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL COMMERCIAL ARBITRATION) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI
BISNIS INTERNASIONAL”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan
ini adalah:
1. Bagaimanakah pengertian dan kedudukan arbitrase
komersial internasional (International Commercial
Arbitration), kaitannya dengan transaksi bisnis
internasional?
2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa
arbitrase komersial internasional (international commercial
arbitration) dalam bidang transaksi bisnis internasional?
C. Metode
Penelitian
Dalam
melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian untuk mengetahui
bagaimana hukum positif dari suatu hal, peristiwa atau masalah tertentu.[6]
Dalam penelitian ini, penulis hanya menitikberatkan pada “Pengertian,
kedudukan, dan mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase komersial internasional
(international
commercial arbitration) dalam perspektif transaksi bisnis internasional (international
businees transactions)” yaitu merupakan transaksi lintas negara,
yang melibatkan dua pihak atau lebih yang berasal dari negara yang berbeda atau
memiliki sistim hukum yang berbeda dan oleh karenanya masing-masing pihak
memiliki pandangan yang berbeda terhadap pemahaman hukum itu sendiri. Serta
apabila
terjadi perselishan antar pelaku usaha dalam transaksi internasional, bagimana
mekanisme penyelesaiannya dengan mengunakan perspektif peradilan arbitrase.
Jenis
data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder yang digunakan didapat melalui penelitian kepustakaan. Data sekunder
yang didapat melalui penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa
peraturan perundang-undangan (statute approach) nasional
maupun internasional.
Bahan
hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang
bersifat mendukung serta memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,
berupa buku, makalah, laporan atau hasil penelitian, tulisan ilmiah, bahan atau
artikel dari internet mengenai transaksi bisnis internasional serta mekanisme
penyelesaiannya. Lebih pada pendekatan konseptual (conceptual approach).
BAB
II
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Kedudukan Arbitrase Komersial Internasional (International Commercial Arbitration).
Menurut Advisory Opinion Permanent Court of
Justice mengenai Interpretation of the Treaty of
Lausanne Case (1925) PCIJ Ser. B No. 12, arbitrase dalam hukum
internasional mempunyai pengertian yang lebih khusus, Kikin Nopiandri
(2018:54-55) yaitu:
“Pertama, arbitrase adalah
prosedur untuk penyelesaian sengketa hukum. Dengan perkataan lain, arbitrase
menyangkut hak-hak dan kewajibankewajiban pihak-pihak yang bersengketa
berdasarkan ketentuan suatu perjanjian internasional, dan penyelesaian akan
diupayakan dengan penerapan perjanjian tersebut terhadap fakta-fakta dalam
kasusnya. Kedua, putusan arbitrase (arbitration
awards)
bersifat mengikat secara hukum terhadap para pihak yang bersengketa. Sekali,
sebuah negara atau subjek hukum sebagai pihak, sepakat untuk menggunakan
arbitrase, negara atau subjek hukum tersebut terikat pada kewajiban hukum untuk
melaksanakannya. Ketiga, dalam peradilan arbitrase, para pihak yang bersengketa
boleh memilih arbitratornya. Tidak demikian halnya di pengadilan, para pihak
yang bersengketa melalui arbitrase mempunyai kewenangan mengenai komposisi dari
majelis arbitrator dan prosedurnya”.[7]
Pada
literatur lain pengertian arbitrase juga disampaikan oleh Sri Retno Widyorini
(2006:59) yang menjelaskan bahwa:
“Arbitrase
internasional ialah arbitrase antara dua atau lebih negara atau antara suatu
negara dengan warga negara (warga negara lain) atau dua atau lebih warga negara
dari negara yang berbeda-beda atau dua pihak yang merupakan warga negara dari
negara yang sama tetapi lebih memilih badan arbitrase internasional seperti
yang ada di London, di Paris, di Stockholm ataupun yang ada di Kualalumpur
(dalam hal ini Indonesia telah ikut serta dalam Convention on the settlement of
Investment Disputes between States and Nationals of Other States), yang ditanda tangani
di Washington pada tahun 1968 yang selanjutnya disebut dengan “Konvensi
Washington”. Konvensi ini juga lazim disebut World Bank Convention atau Konvensi Bank
Dunia. Dalam konvensi tersebut salah satunya mengatur tentang penyelesaian
masalah investasi dengan melalui arbitrase dan sebagai konsekwensi
dikeluarkannya peraturan tentang Penanaman Modal Asing yang mengubah sistem
ekonomi tertutup menjadi terbuka maka, diterima juga persyaratan klausul
arbitrase sebagai cara penyelesaian perselisihan hukum yang terjadi dengan
pihak penanam modal. Konvensi ini juga dimaksudkan untuk mendorong dan membina
perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Dengan
diakuinya konvensi tersebut oleh pemerintah Indonesia akan memberi kan
keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa andai kata terjadi sengketa di kelak
kemudian hari bisa dibawa ke forum arbitrase”.[8]
Dalam kedudukannya,
peradilan
arbitrase diakui keberadaannya oleh hukum arbitre yang dimiliki oleh
masing-masing negara. Di Indonesia, peradilan arbitrase diakui keberadaannya
oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesain Sengketa.
“Jurisdiksi
arbitrase internasional adalah penyelesaian sengketa yang menurut ketentuan
hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan yang meliputi
kegiatan-kegiatan antara lain di bidang peniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri, dan hak kekayaan inrelektual”.[9]
Kegiatan-kegiatan
atau ruang lingkup yang disebutkan dalam undang-undang tersebut merupakan
kegiatan komersial artinya undang-undang arbitrase (arbitrase internasional)
memiliki jurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa yang diakibatkan oleh
transaksi bisnis internasional yang bersifat komersial, jenis-jenisnya
disebutkan secara lengkap dan terang benderang dalam undang-undang
tersebut.Pada lingkup yang lebih luas, pelaksanaan arbitrase internasional pada
umumnya mengacu pada convention on the recognition and
enforcement of foreign arbitral awards yang selanjutnya disebut
Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing. Menyebutkan:
“When signing, ratifying or acceding to this Convention, or
notifying extension under article X hereof, any State may on the basis of
reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition and
enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State.
It may also declare that it will apply the Convention only to differences
arising out of legal relationships, whether contractual or not, which are
considered as commercial under the national law of the State making such
declaration”.[10]
Hal tersebut dapat dimaknai bahwa suatu negara
yang mengikatkan diri pada Konvensi New York 1958 dapat mendeklarasikan bahwa negara
dimaksud menerapkan Konvensi hanya terhadap sengketa-sengketa yang timbul dari
hubungan hukum, bersifat kontraktual atau tidak, yang dianggap bersifat
komersial berdasarkan hukum nasional dari negara yang membuat deklarasi.
Penekanannya, penerapan Konvensi bergantung pada hukum nasional negara pembuat
deklarasi. Di negara pembuat deklarasi akan dilakukan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing (putusan arbitrase internasional).[11]
Berdasarkan ketentuan Konvensi New York 1958,
arbitrase komersial diperuntukan menyelesaikan sengketa komersial juga disebut
sengketa bisnis yang timbul dari transaksi komersial (transaksi bisnis) yang
mencakup hukum dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase. Selain
arbitrase komersial, secara kasus per kasus, terdapat juga arbitrase
non-komersial seperti arbitrase perselisihan perburuhan, arbitrase perselisihan
batas negara, dan seterusnya. Namun secara umum arbitrase adalah arbitrase
komersial baik arbitrase komersial domestik maupun arbitrase komersial
internasional.
Ramlan Ginting (2016:6) berdasarkan UNCITRAL
Model Law on International Commercial Arbitration, selanjutnya
disebut UNCITRAL Model Law menyatakan bahwa:
“Terminologi “commercial” harus ditafsirkan luas
sehingga mencakup permasalahan-permasalahan yang timbul dari semua
hubungan-hubungan yang bersifat komersial, baik hubungan-hubungan yang bersifat
kontraktual maupun hubungan-hubungan yang bersifat komersial. Hubungan-hubungan
yang bersifat komersial termasuk, namun tidak terbatas pada transaksitransaksi
sebagi berikut: setiap transaksi perdagangan, perjanjian distribusi, perwakilan
atau keagenan komersial; anjak piutang; leasing; pekerjaan konstruksi;
consulting; engineering; licensing; investasi; pembiayaan; perbankan; asuransi;
perjanjian ekspoitasi atau konsesi; joint venture atau bentuk kerjasama bisnis
atau industri lainny; pengangkutan barang atau penumpang melalui udara, laut,
rel atau jalan”.[12]
Arbitrase komersial merupakan forum
penyelesaian perselisihan di luar pengadilan. Namun, bukan merupakan alternatif
terhadap pengadilan. Arbitrase dan pengadilan adalah sama-sama perdilan.
Kedunya mengeluarkan putusan yang mengikat bagi para pihak yang bersengketa.
Dalam praktiknya, para pihak pelaku kontrak dasar dapat memilih untuk menyelesaikan
sengketa ke arbitrase atau pengadila. Pemeriksaan arbitrase tidak boleh
diperiksa ulang oleh pengadilan, dan demikian sebaliknya. Artinya arbitrase dan
pengadilan tidak boleh melakukan intervensi satu terhadap yang lain dalam
menjalankan kewenangan masing-masing sebagai forum peradilan. Sebagai forum
peradilan status peradilan arbitrase adalah setara dengan status peradilan
umum. Masing-masing peradilan berdiri sendiri dan keduanya memiliki landasan
hukum untuk keberadaannya. Arbitrase merupakan peradilan swasta. Sebagai
peradilan swasta, arbitrase harus dibentuk pihak swasta yaitu para pihak yang
bersengketa. Tanpa dibentuk oleh para pihak yang bersengketa berdasarkan
kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase
dapat berupa suatu klausul arbitrase dalam kontrak bisnis atau berupa
perjanjian arbitrase tersendiri namun merujuk pada kontrak bisnis yang akan
diselesaikan sengketanya, jika timbul. Kontrak bisnis berisi transaksi bisnis
(transaksi komersial).[13]
Transaksi bisnis berpotensi mengalami sengketa. Sengketa transaksi bisnis ini
dapat diselesaikan oleh arbitrase.[14]
Para pihak dalam kontrak bisnis bebas
menentukan forum peradilan (choice of forum) yang
dikehendaki. Para pihak dapat memilih peradilan umum atau peradilan arbitrase. Bila
para pihak memilih peradilan umum maka tidak perlu ada pilihan (perjanjian)
peradilan umum, jika transaksi bisnis yang dilakukan bersifat nasional. Namun,
para pihak perlu memiliki pilihan (perjanjian) peradilan umum jika transaksi
bisnis yang dilakukan bersifat internasional. Dan, bila para pihak memilih
peradilan arbitrase, maka para pihak wajib memiliki perjanjian arbitrase. Perjanjian
arbitrase[15]
baik untuk transaksi yang bersifat nasional maupun transaksi yang bersifat
internasional.[16]
Arbitrase memiliki karakteristik sebagi berikut:
1.
Terdapat perjanjian arbitrase;
2.
Arbitrator atau para arbitrator dipilih oleh
para pihak;
3. Arbitrator atau para arbitrator adalah orang
atau orang-orang yang ahli dibidangnya namun tidak harus ahli hukum;
4. Pemeriksaan arbitrase dapat dilakukan dengan
menggunakan peraturan perundang-undangan (hukum materiil), tetapi pemeriksaan
arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip keadilan dan kepatutan (ex
aequo et bono) jika disepakati demikian oleh para pihak;
5. Pemeriksaan arbitr ase bersifat tertutup
sehingga reputasi para pihak yang berselisih tetap terjaga dengan baik;
6. Prosedur pelaksanaan arbitrase bersifat fleksibel
dan dapat disesuaikan dengan jenis atau sifat perselisihan berdasarkan
kesepakatan para pihak;
7.
Pelaksanaan pemeriksaan arbitrase pada dasarnya
relatif cepat;
8.
Tidak ada “tingkatan peradilan” seperti yang
terdapat pada peradilan umum;
9.
Biaya pelaksanaan arbitrase relatif “murah”;
10. Putusan arbitrase (arbitral award) bersifat
final and binding sama seperti putusan peradilan umum yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap; dan 11. Putusan
arbitrase tidak dipublikasikan, kecuali disetujui para pihak.
Bila dilihat dari segi keterkaitan unsur asing,
arbitrase komersial dapat dibagi menjadi arbitrase komersial internasional dan
arbitrase komersial nasional. Namun demikian terkait dengan Arbitrase komersial
nasional tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Arbitrase internasional
merupakan forum arbitrase yang menyelesaikan perselisihan atas transaksi
komersial yang memiliki keterkaitan dengan unsur asing. Arbitrase komersial
internasional disebut juga arbitrase internasional atau arbitrase asing,
arbitase internasional merupakan arbitrase yang dilaksanakan di luar negeri,
sementara putusannya dilaksanakan di dalam negeri. Tetapi arbitrase
internasional juga dapat dilaksanakan di dalam negeri jika para pihak yang
bersengketa salah satunya pihak asing. Jika arbitrase internasional
dilaksanakan di dalam negeri, berarti tempat pelaksanaan arbitrase dan tempat
pelaksanaan putusan arbitrase berada dalam satu negara. Untuk yang terakhir
ini, menjadi hampir sama dengan arbitrase domestik yaitu tempat pelaksanaan
arbitrase dan tempat pelaksanaan putusan arbitrase berada dalam satu negara.
Hanya saja dalam arbitrase domestik para pihak yang bersengketa merupakan pihak
domestik.
Dengan demikian apa yang telah diuraikan di
atas, baik terkait pengertian maupun kedudukan yang dalam hal ini dipahami
sebagai jursidiksi arbitrase komersial internasional (International
Commercial Arbitration) mencakup kegiatan transaksi bisnis
internasional maupun proses penyelesainnya. Untuk konteks Indonesia, jurisdiksi
arbitrase internasional mencakup penyelesaian sengketa komersial yang transaksi
komersialnya terjadi di lebih dari satu negara. Maka dengan demikian peradilan
arbitrase internasional adalah peradilan yang berkewenangan untuk menyelesaikan
sengketa komersial dari adanya transaksi bisnis internasional.
B. Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Arbitrase Komersial Internasional (International
Commercial Arbitration) Dalam Bidang Transaksi Bisnis Internasional.
Sebelum
membahas lebih jauh mengenai mekanisme penyelesaian sengketa dalam perspektif International
Commercial Arbitration kaitannya dengan transaksi bisnis
internasional, maka terlebih dahulu penulis ingin menyampaikan pengantar
tentang betapa pentingnya aturan-aturan hukum nasional di bidang bisnis
internasional menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum bisnis
internasional, hal tersebut sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian latar
belakang. Suka tidak suka adanya berbagai aturan hukum nasional, diantara
negara satu dengan yang lainnya sudah pasti sedikit atau banyak terdapat
perbedaan antara satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan
juga mempengaruhi kelancaran transaksi bisnis itu sendiri. Untuk menghadapi
masalah tersebut menurut Sitti Nurjannah (2013:164) setidaknya ada 3 (tiga)
teknik yang dapat dilakukan:
“Pertama negara-negara sepakat
untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum
perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan
mereka; Kedua
apabila
aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan tidak disepakati oleh
salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan.
Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui
penerapan prinsip choice of laws. Choice of law adalah klausul pilihan
hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak
(internasional) yang mereka buat; dan Ketiga teknik yang dapat
ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan
substantif hukum perdagangan internasional. Teknik ketiga ini dipandang cukup
efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem
hukum yang dianut oleh masing-masing negara’.[17]
Seiring dengan pesatnya tuntutan masyarakat
dunia terhadap perubahanperubahan hukum dalam tataran internasional maka
kenyataannya ketentuan perjanjian internasional yang bertujuan menciptakan
efesiensi, konsistensi, dan koherensi dalam unifikasi dan harmonisasi hukum
kontrak internasional sudah tidak memadai dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan
bisnis internasional, akibat tuntutan masyarakat yang dinamis dan sangat cepat
berubah, maka diperlukan suatu model atau rujukan dalam pembangunan hukum
perdagangan internasional, misalnya hak untuk memilih hukum yang berlaku dalam
suatu perjanjian (choice of law) yang
diharapkan akan mampu menjadi instrumen harmonisasi hukum. Hal ini sekaligus
sebagai upaya jalan keluar bagi pelaku bisnis internasional apabila timbul perselisihan
ataupun sengketa dengan mitra bisnisnya. Keberadaan Choiice of law ini,
salah satunya ditemukan pada mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase
komersial internasisonal. Arbitrase komersial internasional merupakan forum
arbitrase yang menyelesaikan perselisihan atas transaksi komersial yang
memiliki keterkaitan dengan unsur asing. Oleh karena itu, Ida Bagus Rahmadi
Supancana (2013:49) mengungkapkan:
“Adanya kepastian
tentang pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing maupun Arbitrase Asing sangat diperlukan
pada kontrak-kontrak dagang (komersial) internasional. Di bidang arbitrase,
sudah ada Konvensi yang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing (Convention on Recognition and Enforcment of Arbitra Awards) di mana Indonesia telah
menjadi negara pihaknya. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbittrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga diatur tata cara
pelaksanaan putusan arbitrase asing. Terhadap putusan pengadilan asing, pada
dasarnya dapat dilaksanakan di negara lain sepanjang dipenuhi
persayaratan-persyaratan tertentu, seperti: jelas kewenangan pengadilan yang
bersangkutan; putusan diambil secara tidak melawan hukum; ada perjanjian
kerjasama timbal balik diantara kedua negara; dan lain-lain”.[18]
Kemudian
pandangan serupa juga disampaikan oleh Gatut L Budiono (2009:51), yang
menguraikan secara singkat tentang penyelesaian sengketa dalam bisnis
internasional melalui arbitrase yaitu:
“Proses dimana kedua
belah pihak dalam suatu konflik sepakat untuk menyerahkan perkara mereka kepada
seseorang atau badan swasta yang putusaanya akan mereka hormati. Sengketa dalam
perdagangan internasional dapat saja sangat rumit. Biasanya, empat pertanyaan
harus dijawab agar sengketa internasional dapat diselesaikan: Pertama hukum negara mana yang
berlaku? Kedua dinegara mana
seharusnya persoalan tersebut diselesaikan? Ketiga teknik mana yang
seharusnnya digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut: pengadilan,
arbitrase, mediasi, atau negosiasi? Dan Keempat bagaimana penyelesaian
tersebut akan dilaksanakan? Banyak kontrak bisnis internasional menetapkan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini untuk mengurangi ketidakpastian dan
biaya dalam menyelesaikan sengketa”.[19]
Untuk
mengurai pertanyaan-pertanyaan sebagaimana yang disampaikan di atas khususnya
terkait dengan bagaimana mekanisme penyelesain sengketa arbitrase komersial
internasional (international commercial
arbitration) dalam kaitannya dengan
transaksi bisnis internasional. Maka, penulis akan coba mengelaborasi mengenai
hal tersebut. Bagaimana mekanisme ataupun tata cara penyelesain sengketa
arbitrase internasional secara umum. Penulis akan memulai dari proses peradilan
arbitrase dengan tahapan Pembentukan, Pemeriksaan, dan Putusan Arbitrase.
1. Pembentukan
Peradilan Arbitrase
Adanya
peradilan arbitrase karena adanya perjanjian arbitrase[20]
yang disepakati oleh para pihak dalam kontrak bisnis (perjanjian arbitrase).
a.
Dibuat dalam bentuk klausul arbitrase (arbitartion
clause) yang merupakan bagian dari kontrak bisnis itu sendiri.
b.
Selain itu, dapat juga disepakati oleh para
pihak yang bersengketa atas pelaksanaan kontrak bisnis, dibuat dalam bentuk
perjanjian arbitrase tersendiri (submission agreement).
c.
Klausul arbitrase dan perjanjian arbitrase
tersendiri, secara hukum, samasama merupakan perjanjian arbitrase yang mengikat
para pihak.
d.
Berdasarkan perjanjian arbitrase, peradilan
arbitrase dibentuk dengan langkah-langkah memilih arbiter dalam jumlah yang
disepakati para pihak dalam perjanjian arbitrase atau berdasarkan peraturan
arbitrase (Rules of Arbitration) yang dipilih para
pihak. Jumlah arbitrator yang
dipilih merupakan jumlah ganjil biasanya satu orang arbitrator
(arbitrator tunggal) atau tiga orang arbitrator (majelis
arbitrator).
e.
Arbitrator
menetapkan Peraturan Arbitrase yang akan digunakan sebagai hukum acara
arbitrase. Jika para pihak dalam perjanjian arbitrase sepakat memilih arbitrase
institusi, maka para pihak juga biasanya memilih Peraturan Arbitrase dari
institusi arbitrase yang dipilih. Pemilihan yang demikian ini memudahkan
jalannya peradilan arbitrase karena para arbitrator dari
arbitrase institusi sudah pasti sangat paham terhadap Peraturan Arbitrase dari
arbitrase institusi dimaksud.
f.
Jika para pihak dalam perjanjian arbitrase
sepakat memilih arbitrase adhoc,
dalam hal ini para arbitrator harus
menyusun Peraturan Arbitrase dengan persetujuan para pihak.
g.
Peraturan Arbitrase bisa disusun dari awal atau
mengambil Peraturan
Arbitrase dari arbitrase institusi
tertentu dengan atau tanpa modifikasi.
h.
Peraturan Arbitrase dari institusi arbitrase
dan Peraturan Arbitrase yang disusun para arbitrator dari
arbitrase ad-hoc status hukumnya adalah sama yaitu
sama-sama merupakan hukum acara arbitrase yang akan menjadi pegangan para arbitrator dan
para pihak dalam pelaksanaan peradilan arbitrase.
2. Pemeriksaan
Sengketa
Setelah
peradilan arbitrase terbentuk, tiba gilirannya untuk memulai pemeriksaan
sengketa yang pelaksanaannya adalah:
a.
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Arbitrase[21]
yang dipilih atau disusun.
b.
Sengketa para pihak diselesaikan dengan
ketentuan hukum materill atau rasa keadilan dan kepatutan.
c.
Jika arbitrator atau para arbitrator
memiliki
latar belakang pendidikan formal hukum, maka arbitrator atau para
arbitrator melakukan pemeriksaan sengketa dengan menggunakan
ketentuan hukum materill.
d.
Jika, arbitrator atau majelis
arbitrator tidak memiliki latar belakang pendidikan formal hukum,
maka arbitrator atau majelis
arbitrator melakukan pemeriksaan sengketa dengan menggunakan prinsip
keadilan dan kepatutan.[22]
e.
Pemeriksaan sengketa bersifat tertutup[23]
dan dilakukan secara korespondensi (tertulis)[24]
kecuali dipandang perlu oleh arbiter dan
dapat dilakukan apabila para pihak memberikan persetujuan. Penekanan
pemeriksaan arbitrase adalah pada pemeriksaan korespondensi, sedangkan
pemeriksaan lisan hanya sebagai pelengkap yang boleh ada boleh tidak.
3. Putusan
Arbitrase
Pada
bagian ini akan dikeluarkan putusan akhir yaitu:
a.
Arbitrator akan
mengeluarkan putusan arbitrase[25]
(arbitral
award) bersifat final and binding[26]
isinya
menetapkan hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa.
b.
Putusan didasarkan pada hasil pemeriksaan
dokumen-dokumen
korespondensi dengan atau tanpa
pemeriksaan lisan.
c.
Dalam pelaksanaannya pertama, putusan arbitrase
diucapkan (dibacakan) oleh arbitrator atau majelis arbitrator. Kedua, putusan
arbitrase dikirim kepada para pihak.
d.
Putusan bisa saja dihasilkan berdasarkan suara
bulat majelis arbitrator atau berdasarkan dissenting opinion dari
salah seorang anggota majelis arbitrator.
e.
Kedua hasil putusan tersebut sama-sama memiliki
kekuatan mengikat yang sama terhadap para pihak.
f.
Putusan arbitrase sama kekuatan hukumnya dengan
putusan peradilan umum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
4. Pelaksanaan
Putusan Arbitrase
Putusan
arbitrase seharusnya dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang ditetapkan
kalah, pihak yang dibebani kewajiban. Pelaksanaan putusan arbitrase secara
sukarela merupakan salah satu prinsip peradilan arbitrase. Peradilan arbitrase
dibentuk oleh para pihak sendiri dan sudah seharusnya menghormati putusannya. Namun,
bila pihak yang ditetapkan kalah ingkar untuk melaksanakan kewajibannya, secara
hukum, pihak yang ditetapkan menang berhak meminta bantuan pengadilan di negara
tempat pelaksanaan putusana arbitrase untuk mengeluarkan perintah eksekusi agar
putusan arbitrase dapat dilaksanakan terhadap pihak yang ditetapkan peradilan
arbitrase sebagai pihak yang kalah. Dalam hal ini peradilan umum membantu
eksekusi putusan peradilan arbitrase. Perintah eksekusi peradilan umum bersifat
memaksa.
5. Penolakan
Putusan Arbitrase
Terhadap
putusan arbitrase, bagi pihak yang ditetapkan kalah, terdapat opsi menolak
untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut. Penolakan putusan arbitrase
diajukan ke peradilan umum sesuai dengan hukum arbitrase negara tempat
pelaksanaan putusan arbitrase. Setidaknya ada 2 (dua)[27]
alasan penolakan, adalah sebagai berikut:
a.
alasan yang berhubungan dengan kepentingan para
pihak yang bersengketa misalnya perjanjian arbitrase tidak sah berdasarkan
hukum[28]
yang berlaku atas perjanjian arbitrase.
b.
alasan lainya untuk menolak pelaksanaan putusan
arbitrase adalah alasan kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat.[29]
Dalam
pelaksanaan penolakan putusan arbitrase, putusan arbitrase tetap diakui ada dan
sah secara hukum. Namun, putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan di
negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase karena alasan yang berhubungan
dengan kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat dari negara tempat pelaksanaan
putusan arbitrase.
Pada
arbitrase internasional, negara tempat pelaksanaan peradilan arbitrase dan
negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase merupakan 2 (dua) negara yang
berbeda. Pada arbitrase internasional, berkenaan dengan penolakan putusan arbitrase,
hukum arbitrase yang berlaku adalah hukum arbitrase dari negara tempat
pelaksanaan putusan arbitrase. Selain itu bagi negara-negara yang sudah
meratifikasi Konvensi New York 1958, berlaku ketentuan penolakan putusan
arbitrase yang berbunyi:
1.
Recognition and enforcement of the award may be refused, at
the request of the party against whom it is invoked, only if that party
furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is
sought, proof that:
(a)
The parties to the agreement referred to in article II were,
under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement
is not valid under the law to which the parties have subjected it or, failing
any indication thereon, under the law of the country where the award was made;
or
(b)
The party against whom the award is invoked was not given
proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration
proceedings or was otherwise unable to present his case; or
(c)
The award deals with a difference not contemplated by or not
falling within the terms of the submission to arbitration, or it contains
decisions on matters beyond the scope of the submission to arbitration,
provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can be
separated from those not so submitted, that part of the award which contains
decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced;
or
(d)
The composition of the arbitral authority or the arbitral
procedure was not in accordance with the agreement of the parties, or, failing
such agreement, was not in accordance with the law of the country where the
arbitration took place; or
(e)
The award has not yet become binding on the parties, or has
been set aside or suspended by a competent authority of the country in which,
or under the law of which, that award was made.
2.
Recognition and enforcement of an arbitral award may also be
refused if the competent authority in the country where recognition and
enforcement is sought finds that:
(a)
The subject matter of the difference is not capable of
settlement by arbitration under the law of that country; or
(b)
The recognition or enforcement of the award would be
contrary to the public policy of that country”.[30]
Pengaturan
terkait dengan penolakan putusan arbitrase internasional juga terdapat pada
UNCITRAL Model Law, khususnya diatur dalam Pasal 36. Untuk indonesia,
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
sengketa, juga mengatur penolakan putusan arbitrase internasional khususnya
diatur pada Pasal 66, dan Pasal 68. Namun demikian, UU Arbitrase tidak memiliki
ketentuan yang memungkinkan para pihak yang bersengketa dapat mengajukan
permohonan penolakan putusan arbitrase internasional ke peradilan umum yang
berwenang di Indonesia. UU Arbitrase hanya memberikan kewenangan kepada
peradilan umum yang berwenang di Indonesia untuk menolak putusan arbitrase
internasional bila peradilan umum dimaksud menemukan bahwa putusan arbitrase
internasional bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.
Tetapi,
karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 1981, maka Konvensi New York 1958 telah merupakan hukum
positif bagi Indonesia.
6. Pembatalan
Putusan Arbitrase
Putusan
arbitrase juga dapat dibatalkan oleh peradilan umum. Arbitrase tidak mempunyai
kewenangan dalam pembatalan putusannya, pembatalan putusan arbitrase[31]
sepenuhnya menjadi kewengan peradilan umum. Pengaturan pembatalan putusan
arbitrase internasional diatur dalam Konvensi New York 1958, Pasal V ayat (1)
huruf e. Meskipun tidak diatur alasan apa yang digunakan para pihak untuk
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ke peradilan umum di negara
tempat pelaksanaan arbitrase. Namun dalam UNCITRAL Model Law khususnya Pasal 34
mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh salah satu pihak untuk
mengajikan permohonan pembatalan putusan arbitrase dan dasar kewenangan
pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase. Pada UU Arbitrase di atur pada Pasal
70, Pasal 72.
Demikian
urain terkait pengertian, kedudukan dan mekanisme penyelesaian sengketa pada
peradilan arbitrase komersial internasional atau biasa juga disebut arbitrase
internasional yang dapat dijadikan rujukan penyelesaian apabila terjadi perselisihan
dalam transaksi bisnis internasional.
BAB
III
PENUTUP
Para
pelaku usaha antar negara menjalin kerja sama bisnis atau perdagangan untuk
memberikan manfaat dan keuntungan bagi para pihak yang terlibat. Bentuk
kejasama bisnis internasional antara pelaku bisnis yang berasal dari dua negara
atau lebih biasanya dituangkan kedalam suatu kontrak bisnis internasional yang
menimbulkan hubungan hukum yang kompleks karena melibatkan pelaku bisnis yang
memiliki latar belakang negara yang sistem hukumnya saling berbeda. Dalam
praktiknya, masalah hukum atau sengketa hukum dalam kerja sama bisnis atau
transaksi bisnis internasional sering terjadi, dampaknya kerja sama bisnis atau
transaksi bisnis internasional bukannya memberi manfaat dan keuntungan, tetapi
justru menimbulkan beban dan kerugian.
Untuk
mengatasi permaslahan ataupun perselisihan dalam transaksi bisnis internasional
dapat menempuh arbitrase internasional, merupakan forum arbitrase yang
menyelesaikan perselisihan atas transaksi komersial yang memiliki keterkaitan
dengan unsur asing. Arbitrase komersial internasional disebut juga arbitrase
internasional atau arbitrase asing.
Di
Indonesia, peradilan arbitrase diakui keberadaannya oleh Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesain Sengketa. Pada lingkup
yang lebih luas, pelaksanaan arbitrase internasional pada umumnya mengacu pada convention
on the recognition and enforcement of foreign arbitral awards yang
selanjutnya disebut Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing. Berdasarkan ketentuan Konvensi New York 1958,
arbitrase komersial diperuntukan menyelesaikan sengketa komersial juga disebut
sengketa bisnis yang timbul dari transaksi komersial (transaksi bisnis) yang
mencakup hukum dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase.
Peradilan
arbitrase dibentuk berdasarkan perjanjian arbitrase baik berupa klausul
arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri. Institusi arbitrase membentuk
peradilan arbitrase berdasarkan Rules of Arbitration yang dimilikinya.
Sementara arbitrase ad-hoc menjadi peradilan arbitrase berdasrkan bentukan para
pihak yang bersengketa. Arbitrase internasional memiliki jurisdiksi untuk
memeriksa sengketa komersial yang berdasarkan Rules of Arbitration yang
merupakan hukum acara peradilan arbitrase.
Peradilan
arbitrase internasional dapat ditolak pelaksanaanya oleh peradilan umum yang
berwenang di negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase berdasrkan
alasan-alasan penolakan yang disebutkan dalam Konvensi New York 1958 dan
berdasarkan Konvensi New York 1958. Putusan arbitrase internasional tidak dapat
dibatalkan oleh peradilan umum dinegara tempat pelaksanaan putusan arbitrase
internasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Gatut
L Budiono, Bisnis Internasional, Jakata: FEBSOS, 2009.
Ida Bagus
Rahmadi Supancana, Pengembangan Hukum Kontrak Dagamg
Internasional, Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I., 2013.
Ramlan Ginting, Transaksi Bisnis & Perbankan
Internasional, Jakarta: Universitas Trisakti, 2014.
Ramlan Ginting, Hukum
Arbitrase, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2016.
Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
B. Jurnal
Hikmahanto Juwana, Transaksi
Bisnis Internasional Dalam Kaitannya Dengan
Peradilan Niaga,
“Jurnal Hukum & Pembangunan”, Vol 31, No. 3 JuliSep. 2001. ISSN:
0125-9687:225.
Kikin
Nopiandri, Peran Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
Internasional: Tinjauan Dari Perspektif Teori Sistem Hukum,
“Jurnal Legal Reasoning”, Vol. 1, No. 1, Desember 2018. P-ISSN 2654-8747: 5455.
Sri
Retno Widyorini, Penyelesaian Sengketa Dengan Cara
Arbitrase, “Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat”,
Vol. 4, No. 1, Oktober 2006. ISSN : 0854-2031: 59.
Sitti
Nurjannah, Harmonisasi Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Melalui Choice Of
Law, “Jurnal Hukum Pidana & Ketatanegaraan”, Vol. 2, No. 2,
Desember 2013. P-ISSN: 2303-050X. E-ISSN: 2580-5797:164.
Subianta Mandala, Harmonisasi
Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah,
Latar Belakang Dan Model
Pendekatannya, “Jurnal Bina Mulia Hukum”, Volume 1, Nomor 1,
September 2016, ISSN 2528-7273:54-55.
C. Peraturan
perundang-undangan
Indonesia,
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Lembara Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 138, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3872.
United
Nations, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards, New York 1958.
D. Internet
Jimly
School of Law and Government, Hukum Kontrak Bisnis Internasional, https://www.jimlyschool.com/berita/hukum-kontrak-bisnisinternasional/,
diakses tanggal 21 Januari 2020.
[1]
Corporate Legal, di PT. Mandiri Herindo Adiperkasa, yang bergerak di bidang
Pertambangan dan berkedudukan di Jakarta. Email: fadlinoch7@gmail.com
[2]
Ramlan Ginting, Transaksi Bisnis &
Perbankan Internasional, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2014),
hal. 14-15.
[3]Jimly
School of Law and Government, Hukum
Kontrak Bisnis Internasional, https://www.jimlyschool.com/berita/hukum-kontrak-bisnis-internasional/,
diakses tanggal 21 Januari 2020.
[4]
Hikmahanto Juwana, Transaksi Bisnis
Internasional Dalam Kaitannya Dengan Peradilan Niaga, “Jurnal Hukum &
Pembangunan”, Vol 31, No. 3 Juli-Sep. 2001. ISSN: 0125-9687, hal. 225.
[5]
Subianta Mandala, Harmonisasi Hukum
Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang Dan Model Pendekatannya, “Jurnal
Bina Mulia Hukum”, Volume 1, Nomor 1, September 2016 [ISSN 2528-7273], hal.
54-55.
[6]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 45.
[7]
Kikin Nopiandri, Peran Lembaga Arbitrase
Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional: Tinjauan Dari Perspektif
Teori Sistem Hukum, “Jurnal Legal Reasoning”, Vol. 1, No. 1, Desember 2018.
P-ISSN 2654-8747, hal. 54-55.
[8] Sri Retno
Widyorini, Penyelesaian
Sengketa Dengan Cara Arbitrase, “Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika
Masyarakat”, Vol. 4, No. 1, Oktober 2006. ISSN: NO. 0854-2031, hal. 59.
[9] Indonesia,
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Lembara Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 138, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3872, Pasal 66 huruf b beserta
penjelasannya
[10]
United Nations, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards, New York (1958), Article
I (3)
[11]
Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase,
(Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2016), hal. 3.
[12]
Ibid., hal. 6.
[13]
Transaksi komersial meliputi meliputi antara lain transaksi perbankan: trade
finance, Letter of Credit, Warehouse receipt, local Letter of Credit, Standby
Letter of Credit, Demand Guarantee, Bank Guarantee; transaksi perdagangan,
transaksi penanaman modal, transaksi hak kekayaan intelektual.
[14]
Ibid., hal. 41-42.
[15] Perjanjian
arbitrase adalah perjanjian untuk memilih (membentuk) peradilan arbitrase
berupa institusional arbitration atau ad-hoc arbitration untuk menyelesaikan
perselisihan.
[16]
Ibid., hal. 42
[17]
Sitti Nurjannah, Harmonisasi Prinsip-Prinsip
Hukum Kontrak Melalui Choice Of Law, “Jurnal Hukum Pidana &
Ketatanegaraan”, Vol. 2, No. 2, Desember 2013. P-ISSN: 2303-050X. EISSN:
2580-5797, hal. 164.
[18]
Ida Bagus Rahmadi Supancana, Pengembangan
Hukum Kontrak Dagamg Internasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I., 2013), hal. 49.
[19]
Gatut L Budiono, Bisnis Internasional, (Jakata:
FEBSOS, 2009), hal. 51.
[20]
Peradilan arbitrase hanya mungkin dibentuk jika terdapat perjanjian arbitrase.
Perjanjian arbitrase merupakan dasar pembentukan peradilan arbitrase. Tanpa
perjanjian arbitrase tidak dapat dibentuk peradilan arbitrase.
[21]
Peraturan Arbitrase berfungsi ibarat mesin yang menggerakan ketentuan hukum
materill atau rasa keadilan dan kepatutan (ex
aequo et bono). Peraturan Arbitrase membuat ketentuan hukum materill atau
rasa keadilan dan kepatutan menjadi terwujud dalam praktik. Hak dan kewajiban
para pihak yang bersengketa menjadi dapat diukur dan ditetapkan. Peraturan
Arbitrase membuat hidup ketentuan hukum materill atau rasa keadilan dan
kepatutan.
[22]
Prinsip keadilan dan kepatutan merupakan prinsip yang dibangun oleh arbitrator
atau majelis arbitrator berdasrkan international
rules yang relevan dengan pokok perkara para pihak. international rules ini misalnya, untuk transaksi Letter of Credit,
adalah Uniform and Practice for Documentary Credits, 2007 Revisiosn, ICC
Publication No. 600 (UCP 600).
[23]
Pemeriksaan secara tertutup berarti hanya para pihak dan arbitrator yang
mengetahui keberadaan sengketa, pihak ketiga tidak boleh mengetahui atau turut
serta dalam proses pemeriksaan arbitrase kecuali dengan persetujuan para
pihak.
[24] Pemeriksaan
secara korespondensi berati tidak ada pemeriksaan bertemu fisik antara para
pihak dan arbiter sebagaimana halnya terdapat dalam pemeriksaan sengketa pada
peradilan umum. Pemeriksaan bertemu fisik dinamakan juga pemeriksaan lisan (hearing).
[25] Putusan
arbitrase adalah putusan akhir dari peradilan arbitrase atas sengketa yang
diajukan ke arbitrase.
[26]
Artinya terhadap putusan arbitrase tidak ada lagi tersedia upaya hukum
lanjutan. Tidak ada lagi banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti halnya
dalam peradilan umum. Peradilan arbitrase merupakan peradilan satu putaran,
satu tingkat.
[27]
Penerapan kedua alasan ini merupakan kewenangan peradilan umum yang berwenang
sesuai dengan hukum arbitrase di negara tempat pelaksanaan putusan
arbitrase.
[28] Alasan
kepentingan hukum adalah alasan yang berhubungan dengan cakupan jurisdiksi
arbitrase. Jika peradilan arbitrase membuat putusan atas sengketa yang menjadi
kewenangannya menurut hukum arbitrase dari negara tempat pelaksanaan putusan
arbitrase, maka peradilan umum yang berwenang di negara tersebut akan menolak
pelaksanaan putusan arbitrase dimaksud.
[29]
Alasan kepentingan masyarakat adalah alasan yang berhubungan dengan ketertiban
umum. Jika keputusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum dari negara
tempat pelaksanaan putusan arbitrase, maka peradilan umum yang berwenang di
negara tersebut akan menolak pelaksanaan putusan tersebut.
[30]
United Nations, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards, New York (1958), Article
V
[31]
Pembatalan putusan arbitrase mengandung arti bahwa putusan arbitrase yang ada
secara hukum dianggap tidak ada. Putusan arbitrase yang ada tidak memiliki
akibat-akibat hukum. Putusan arbitrase yang ada tidak dapat di eksekusi. Pihak
yang ditetapkan kalah dalam putusan arbitrase tidak perlu melaksanakan
kewajiban berdasarkan putusan arbitrase yang dibatalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar