Jumat, 10 September 2021

KEDUDUKAN ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL (INTERNATIONAL COMMERCIAL ARBITRATION) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

Fadli[1]

Abstrak

 Aktivitas transaksi bisnis internasional semakin meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi global. Hubungan bisnis antara pelaku bisnis yang berasal dari dua negara atau lebih yang memiliki latar belakang negara dan sistem hukum berbeda. Dalam praktiknya, sering bermasalah atau menimbulkan sengketa hukum. Akibatnya transaksi bisnis internasional bukannya memberi manfaat dan keuntungan, justru menimbulkan beban dan kerugian. Untuk mengatasi adanya perselisihan tersebut, salah satunya dapat menempuh

arbitrase internasional. Fokus lebih lanjut dalam pembahasan makalah ini adalah bagaimana pengertian, kedudukan dan mekanisme penyelesaian sengketa international commercial arbitration dalam kaitannya dengan transaksi bisnis internasional. Pembahasan dikaji mengunakan metode penelitian hukum yuridis normatif menitikberatkan pada Pengertian, kedudukan, dan mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase komersial internasional (international commercial arbitration) dalam perspektif  transaksi bisnis internasional (international businees transactions). Dilihat dari pengertian Arbitrase Internasional merupakan forum arbitrase yang menyelesaikan perselisihan atas transaksi komersial yang memiliki keterkaitan dengan unsur asing. Diatur dalam Konvensi New York 1958, UNCITRAL Model Law dan untuk Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Secara mekanisme adanya peradilan arbitrase karena adanya perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase yang disepakati oleh para pihak dalam kontrak bisnis merupakan dasar pembentukan peradilan arbitrase yang dibuat berdasarkan klausul arbitrase (arbitartion clause) maupun yang dibuat dalam bentuk perjanjian arbitrase tersendiri (submission agreement). 

Kata kunci: arbitrase, arbitrase internasional, transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa.


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perkembangan ekonomi dunia telah membawah dampak yang semakin besar terhadap keterbukaan ekonomi dan pasar global yang saat ini sedang berlangsung diberbagai negara. Perkembangan ekonomi tersebut juga berdampak pada meningkatnya transaksi atau aktivitas bisnis dikalangan pelaku usaha yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda yang dilakukan melintasi batas-batas negara. Para pelaku usaha antar negara menjalin kerja sama bisnis atau perdagangan untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi para pihak yang terlibat. Contohnya pelaku usaha asal Indonesia membutuhkan produk mesin, namun produk tersebut hanya tersedia di Jepang, kedua pelaku usaha yang berbeda negara tersebut sepakat untuk mengadakan impor mesin yang dimaksud oleh pelaku usaha asal Indonesia. Contoh lain, sebuah perusahaan yang memiliki pabrik komponen di negara A, B, dan C. Komponen-komponen ini kemudian dirakit di negara D serta dipasarkan di negara E. Artinya dengan contoh kasus tersebut maka perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha sudah tidak mengenal lagi batas-batas negara.

Upaya yang dijalin oleh pelaku usaha tersebut semakin meningkat pesat karena tidak mungkin suatu negara mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri tanpa menjalin kerja sama dengan pelaku bisnis dari negara lain. Jalinan kerjasama yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan melintasi batas-batas negara kemudian dalam berbagai literatur hukum dikenal dengan nama “Transaksi Bisnis Internasional (International Businees Transactions)”. Transaksi bisnis internasional merupakan transaksi lintas negara, yang melibatkan dua pihak atau lebih yang berasal dari negara yang berbeda atau memiliki sistim hukum yang berbeda dan oleh karenanya masing-masing pihak memiliki pandangan yang berbeda terhadap pemahaman hukum itu sendiri. Tujuannya adalah menciptakan upaya ke arah pertumbuhan perdaganagan internasional yang memberi dampak positif bagi perekonomian Indonesia dan negara mitra dagang Indonesia. Untuk mendukung pertumbuhan perdagangan internasional dalam transaksi bisnis internasional, memerlukan hukum sebagai norma-norma yang berlaku bagi para pihak. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Ramlan Gintig (2014:14-15) yaitu:

“Dalam transaksi bisnis internasional, hukum nasional suatu negara tidak dengan sendirinya dapat diterapkan terhadap mitra bisnis yang berasal dari negara lain. Dalam transaksi bisnis internasional, pemberlakuan hukum nasional suatu negara hanya dapat dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional (conflict of law rule). Para pihak dalam transaksi bisnis internasional dapat memberlakukan hukum nasional suatu negara berdasarkan prinsip pilihan hukum (choice of law). Berdasarkan prinsip pilihan hukum para pihak memilih hukum nasional dari negara tertentu sebagai hukum yang berlaku atas kontrak bisnis internasional yang sedang dinegosiasikan. Selain itu, jika terjadi perselisihan hukum diantara para pihak, penentuan hukum nasional yang berlaku atas kontrak bisnis internasional dapat ditetapkan oleh hakim peradilan umum atau arbitrator peradilan arbitrase berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional. Prinsipprinsip yang biasa digunakan adalah prinsip lex loci contractus, lex loci solutionis atau the closest and most real connection theory. Penetapan hukum yang berlaku (governing law) atas suatu kontrak bisnis internasional hanya akan dilakukan oleh hakim atau arbitrator apabila para pihak tidak memilih hukum nasional yang berlaku atas kontrak bisnis internasional tersebut. Namun, pemilihan atau penetapan hukum yang berlaku atas kontrak bisnis internasional hanya relevan jika memang ada hukum nasional yang mengatur transaksi bisnis internasional yang disebutkan dalam kontrak bisnis internasional dimaksud”.[2]

Dalam melakukan kerja sama bisnis atau transaksi bisnis antar negara, para pelaku bisnis memerlukan kontrak bisnis internasional, baik itu dalam skema antara pemerintah dengan pemerintah (G to G), antra pemerintah dengan swasta (G to B), maupun antara swasta dengan swasta (B to B). Kesepakatan mengenai ketentuanketentuan dalam kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional antara pelaku bisnis yang berasal dari dua negara atau lebih biasanya dituangkan kedalam suatu kontrak bisnis internasional. Kontrak bisnis internasional merupakan dasar hubungan hukum dan pedoman bersama bagi pelaku bisnis yang berbeda negara dalam melaksanakan kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional. Kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional menimbulkan hubungan hukum yang kompleks karena melibatkan pelaku bisnis yang memiliki latar belakang negara yang sistem hukumnya saling berbeda.[3] Untuk mengatasi kompleksitas hubungan hukum bisnis internasional ini, maka sebagaiman diungkapkan oleh Hikmahanto Juwana (2001:225) bahwa:

“Setiap pelaku usaha yang akan melakukan transaksi bisnis internasional harus mampu memahami ketentuan-ketentuan hukum yang ada di negara lain dimana pelaku usaha melakukan kegiatan bisnis. Berbicara mengenai ketentuan hukum maka pelaku usaha tidak hanya dituntut mengetahui peraturan perundang-undangannya saja namun juga harus memahami ketentuan hukum yang bersifat tertulis atau kebiasaan-kebiasaan yang ada di negara setempat. Bahkan yang terpenting juga pelaku usaha harus memahami secara benar apa dan bagaimana budaya hukum dari masyarakat, khususnya masyarakat bisnis di negara setempat”.[4]

Selain itu kewajiban para pelaku bisnis antar negara ini secara khusus dituntut mampu merumuskan kontrak bisnis internasional secara baik, benar, dan akurat dengan terlebih dahulu memahami seluk-beluk hukum kontrak bisnis internasional yaitu terkait transaksi bisnis internasional dalam hukum nasional; prinsip-prinsip hukum kontrak dalam transaksi bisnis internasional; dan strategi serta mekanisme penyelesaian sengketa kontrak bisnis internasional. Agar tidak menimbulkan masalah hukum atau sengketa hukum di kemudian hari. Namun, dalam praktiknya, masalah hukum atau sengketa hukum dalam kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional sering terjadi akibat tidak mahir atau tidak ahli dalam menyusun kontrak bisnis internasional. Ini disebabkan oleh kurang dipahaminya seluk-beluk hukum kontrak bisnis internasional. Dampaknya, kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional bukannya memberi manfaat dan keuntungan, tetapi justru menimbulkan beban dan kerugian. Oleh karena itu, para pelaku bisnis yang bergiat dalam kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional harus memahami betul seluk-beluk hukum kontrak bisnis internasional. 

Adanya perbedaan sistem hukum dalam transaksi bisnis internasional tersebut dapat menimbulkan masalah atau kesulitan dalam pelaksanaan transaksi atau dalam penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari transaksi atau perdagangan internasional tersebut. Isi undang-undang nasional yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kesulitan diantara para pelaku usaha. Hal tersebut dicontohkan Subianta Mandala (2016:54-55) sebagaimana berikut:

“Sebagai contoh, perbedaan pengaturan hukum kontrak (nasional) dalam suatu transaksi jual beli internasional yang melibatkan pelaku usaha dari dua atau lebih negara yang berbeda tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, transaksi jual beli internasional yang dilakukan oleh pengusaha Singapura dengan pengusaha Indonesia akan melibatkan dua sistem hukum yang berbeda. Hukum kontrak Singapura yang berasal dari sistem hukum anglo saxon mempunyai pengaturan yang berbeda dengan hukum kontrak Indonesia yang bersumber dari tradisi hukum Eropa Kontinental. Ketidakpastian hukum timbul ketika terjadi sengketa dimana pelaku bisnis ini kemungkinan akan dihadapkan pada suatu sistem hukum kontrak yang benar-benar asing bagi dirinya dan yang tidak pernah diharapkan sejak awal. Adanya perbedaan aturan hukum nasional sebagaimana digambarkan di atas, mempengaruhi kelancaran transaksi bisnis internasional”.[5]

Oleh karena itu, kehadiran negara sangat dibutuhkan untuk mengatur kebutuhan akan adanya peraturan yang bersifat universal dan seragam yang mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dalam melakukan transaksi bisnis internasional. Dengan demikian maka penting bagi negara untuk mewujudkan unifikasi dan harmonisasi hukum transaksi bisnis internasional. Sehubungan dengan paparan tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mengurai sistem hukum apa yang akan diterapkan ketika timbul sengketa dalam transaksi bisnis internasional tersebut. Keadaan tersebut di atas tentunya perlu direspons atau diantisipasi, dan salah satunya dengan menggunakan peradilan arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa. Hal inilah yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut dalam tulisan yang diberi judul “KEDUDUKAN ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL (INTERNATIONAL COMMERCIAL ARBITRATION) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL”.

B.    Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:

1.         Bagaimanakah pengertian dan kedudukan arbitrase komersial internasional (International Commercial Arbitration), kaitannya dengan transaksi bisnis internasional?

2.   Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase komersial internasional (international commercial arbitration) dalam bidang transaksi bisnis internasional?

C.    Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian untuk mengetahui bagaimana hukum positif dari suatu hal, peristiwa atau masalah tertentu.[6] Dalam penelitian ini, penulis hanya menitikberatkan pada “Pengertian, kedudukan, dan mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase komersial internasional (international commercial arbitration) dalam perspektif  transaksi bisnis internasional (international businees transactions)” yaitu merupakan transaksi lintas negara, yang melibatkan dua pihak atau lebih yang berasal dari negara yang berbeda atau memiliki sistim hukum yang berbeda dan oleh karenanya masing-masing pihak memiliki pandangan yang berbeda terhadap pemahaman hukum itu sendiri. Serta apabila terjadi perselishan antar pelaku usaha dalam transaksi internasional, bagimana mekanisme penyelesaiannya dengan mengunakan perspektif peradilan arbitrase.  

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang digunakan didapat melalui penelitian kepustakaan. Data sekunder yang didapat melalui penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan (statute approach) nasional maupun internasional. 

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang bersifat mendukung serta memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, berupa buku, makalah, laporan atau hasil penelitian, tulisan ilmiah, bahan atau artikel dari internet mengenai transaksi bisnis internasional serta mekanisme penyelesaiannya. Lebih pada pendekatan konseptual (conceptual approach).


BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kedudukan Arbitrase Komersial Internasional (International Commercial Arbitration).

Menurut Advisory Opinion Permanent Court of Justice mengenai Interpretation of the Treaty of Lausanne Case (1925) PCIJ Ser. B No. 12, arbitrase dalam hukum internasional mempunyai pengertian yang lebih khusus, Kikin Nopiandri (2018:54-55) yaitu: 

“Pertama, arbitrase adalah prosedur untuk penyelesaian sengketa hukum. Dengan perkataan lain, arbitrase menyangkut hak-hak dan kewajibankewajiban pihak-pihak yang bersengketa berdasarkan ketentuan suatu perjanjian internasional, dan penyelesaian akan diupayakan dengan penerapan perjanjian tersebut terhadap fakta-fakta dalam kasusnya. Kedua, putusan arbitrase (arbitration awards) bersifat mengikat secara hukum terhadap para pihak yang bersengketa. Sekali, sebuah negara atau subjek hukum sebagai pihak, sepakat untuk menggunakan arbitrase, negara atau subjek hukum tersebut terikat pada kewajiban hukum untuk melaksanakannya. Ketiga, dalam peradilan arbitrase, para pihak yang bersengketa boleh memilih arbitratornya. Tidak demikian halnya di pengadilan, para pihak yang bersengketa melalui arbitrase mempunyai kewenangan mengenai komposisi dari majelis arbitrator dan prosedurnya”.[7]

Pada literatur lain pengertian arbitrase juga disampaikan oleh Sri Retno Widyorini (2006:59) yang menjelaskan bahwa:

“Arbitrase internasional ialah arbitrase antara dua atau lebih negara atau antara suatu negara dengan warga negara (warga negara lain) atau dua atau lebih warga negara dari negara yang berbeda-beda atau dua pihak yang merupakan warga negara dari negara yang sama tetapi lebih memilih badan arbitrase internasional seperti yang ada di London, di Paris, di Stockholm ataupun yang ada di Kualalumpur (dalam hal ini Indonesia telah ikut serta dalam Convention on the settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States), yang ditanda tangani di Washington pada tahun 1968 yang selanjutnya disebut dengan “Konvensi Washington”. Konvensi ini juga lazim disebut World Bank Convention atau Konvensi Bank Dunia. Dalam konvensi tersebut salah satunya mengatur tentang penyelesaian masalah investasi dengan melalui arbitrase dan sebagai konsekwensi dikeluarkannya peraturan tentang Penanaman Modal Asing yang mengubah sistem ekonomi tertutup menjadi terbuka maka, diterima juga persyaratan klausul arbitrase sebagai cara penyelesaian perselisihan hukum yang terjadi dengan pihak penanam modal. Konvensi ini juga dimaksudkan untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Dengan diakuinya konvensi tersebut oleh pemerintah Indonesia akan memberi kan keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa andai kata terjadi sengketa di kelak kemudian hari bisa dibawa ke forum arbitrase”.[8]

Dalam kedudukannya, peradilan arbitrase diakui keberadaannya oleh hukum arbitre yang dimiliki oleh masing-masing negara. Di Indonesia, peradilan arbitrase diakui keberadaannya oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesain Sengketa. 

“Jurisdiksi arbitrase internasional adalah penyelesaian sengketa yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan yang meliputi kegiatan-kegiatan antara lain di bidang peniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan inrelektual”.[9]

Kegiatan-kegiatan atau ruang lingkup yang disebutkan dalam undang-undang tersebut merupakan kegiatan komersial artinya undang-undang arbitrase (arbitrase internasional) memiliki jurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa yang diakibatkan oleh transaksi bisnis internasional yang bersifat komersial, jenis-jenisnya disebutkan secara lengkap dan terang benderang dalam undang-undang tersebut.Pada lingkup yang lebih luas, pelaksanaan arbitrase internasional pada umumnya mengacu pada convention on the recognition and enforcement of foreign arbitral awards yang selanjutnya disebut Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Menyebutkan:

“When signing, ratifying or acceding to this Convention, or notifying extension under article X hereof, any State may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State. It may also declare that it will apply the Convention only to differences arising out of legal relationships, whether contractual or not, which are considered as commercial under the national law of the State making such declaration”.[10]

Hal tersebut dapat dimaknai bahwa suatu negara yang mengikatkan diri pada Konvensi New York 1958 dapat mendeklarasikan bahwa negara dimaksud menerapkan Konvensi hanya terhadap sengketa-sengketa yang timbul dari hubungan hukum, bersifat kontraktual atau tidak, yang dianggap bersifat komersial berdasarkan hukum nasional dari negara yang membuat deklarasi. Penekanannya, penerapan Konvensi bergantung pada hukum nasional negara pembuat deklarasi. Di negara pembuat deklarasi akan dilakukan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (putusan arbitrase internasional).[11]

Berdasarkan ketentuan Konvensi New York 1958, arbitrase komersial diperuntukan menyelesaikan sengketa komersial juga disebut sengketa bisnis yang timbul dari transaksi komersial (transaksi bisnis) yang mencakup hukum dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase. Selain arbitrase komersial, secara kasus per kasus, terdapat juga arbitrase non-komersial seperti arbitrase perselisihan perburuhan, arbitrase perselisihan batas negara, dan seterusnya. Namun secara umum arbitrase adalah arbitrase komersial baik arbitrase komersial domestik maupun arbitrase komersial internasional.

Ramlan Ginting (2016:6) berdasarkan UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration, selanjutnya disebut UNCITRAL Model Law menyatakan bahwa:

“Terminologi “commercial” harus ditafsirkan luas sehingga mencakup permasalahan-permasalahan yang timbul dari semua hubungan-hubungan yang bersifat komersial, baik hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual maupun hubungan-hubungan yang bersifat komersial. Hubungan-hubungan yang bersifat komersial termasuk, namun tidak terbatas pada transaksitransaksi sebagi berikut: setiap transaksi perdagangan, perjanjian distribusi, perwakilan atau keagenan komersial; anjak piutang; leasing; pekerjaan konstruksi; consulting; engineering; licensing; investasi; pembiayaan; perbankan; asuransi; perjanjian ekspoitasi atau konsesi; joint venture atau bentuk kerjasama bisnis atau industri lainny; pengangkutan barang atau penumpang melalui udara, laut, rel atau jalan”.[12]

Arbitrase komersial merupakan forum penyelesaian perselisihan di luar pengadilan. Namun, bukan merupakan alternatif terhadap pengadilan. Arbitrase dan pengadilan adalah sama-sama perdilan. Kedunya mengeluarkan putusan yang mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Dalam praktiknya, para pihak pelaku kontrak dasar dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa ke arbitrase atau pengadila. Pemeriksaan arbitrase tidak boleh diperiksa ulang oleh pengadilan, dan demikian sebaliknya. Artinya arbitrase dan pengadilan tidak boleh melakukan intervensi satu terhadap yang lain dalam menjalankan kewenangan masing-masing sebagai forum peradilan. Sebagai forum peradilan status peradilan arbitrase adalah setara dengan status peradilan umum. Masing-masing peradilan berdiri sendiri dan keduanya memiliki landasan hukum untuk keberadaannya. Arbitrase merupakan peradilan swasta. Sebagai peradilan swasta, arbitrase harus dibentuk pihak swasta yaitu para pihak yang bersengketa. Tanpa dibentuk oleh para pihak yang bersengketa berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat berupa suatu klausul arbitrase dalam kontrak bisnis atau berupa perjanjian arbitrase tersendiri namun merujuk pada kontrak bisnis yang akan diselesaikan sengketanya, jika timbul. Kontrak bisnis berisi transaksi bisnis (transaksi komersial).[13] Transaksi bisnis berpotensi mengalami sengketa. Sengketa transaksi bisnis ini dapat diselesaikan oleh arbitrase.[14]

Para pihak dalam kontrak bisnis bebas menentukan forum peradilan (choice of forum) yang dikehendaki. Para pihak dapat memilih peradilan umum atau peradilan arbitrase. Bila para pihak memilih peradilan umum maka tidak perlu ada pilihan (perjanjian) peradilan umum, jika transaksi bisnis yang dilakukan bersifat nasional. Namun, para pihak perlu memiliki pilihan (perjanjian) peradilan umum jika transaksi bisnis yang dilakukan bersifat internasional. Dan, bila para pihak memilih peradilan arbitrase, maka para pihak wajib memiliki perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase[15] baik untuk transaksi yang bersifat nasional maupun transaksi yang bersifat internasional.[16] Arbitrase memiliki karakteristik sebagi berikut:

1.          Terdapat perjanjian arbitrase;

2.          Arbitrator atau para arbitrator dipilih oleh para pihak;

3.     Arbitrator atau para arbitrator adalah orang atau orang-orang yang ahli dibidangnya namun tidak harus ahli hukum;

4.    Pemeriksaan arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan (hukum materiil), tetapi pemeriksaan arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono) jika disepakati demikian oleh para pihak;

5.      Pemeriksaan arbitr ase bersifat tertutup sehingga reputasi para pihak yang berselisih tetap terjaga dengan baik;

6.      Prosedur pelaksanaan arbitrase bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan jenis atau sifat perselisihan berdasarkan kesepakatan para pihak;

7.          Pelaksanaan pemeriksaan arbitrase pada dasarnya relatif cepat;

8.          Tidak ada “tingkatan peradilan” seperti yang terdapat pada peradilan umum;

9.          Biaya pelaksanaan arbitrase relatif “murah”;

10.  Putusan arbitrase (arbitral award) bersifat final and binding sama seperti putusan peradilan umum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; dan 11. Putusan arbitrase tidak dipublikasikan, kecuali disetujui para pihak.

Bila dilihat dari segi keterkaitan unsur asing, arbitrase komersial dapat dibagi menjadi arbitrase komersial internasional dan arbitrase komersial nasional. Namun demikian terkait dengan Arbitrase komersial nasional tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Arbitrase internasional merupakan forum arbitrase yang menyelesaikan perselisihan atas transaksi komersial yang memiliki keterkaitan dengan unsur asing. Arbitrase komersial internasional disebut juga arbitrase internasional atau arbitrase asing, arbitase internasional merupakan arbitrase yang dilaksanakan di luar negeri, sementara putusannya dilaksanakan di dalam negeri. Tetapi arbitrase internasional juga dapat dilaksanakan di dalam negeri jika para pihak yang bersengketa salah satunya pihak asing. Jika arbitrase internasional dilaksanakan di dalam negeri, berarti tempat pelaksanaan arbitrase dan tempat pelaksanaan putusan arbitrase berada dalam satu negara. Untuk yang terakhir ini, menjadi hampir sama dengan arbitrase domestik yaitu tempat pelaksanaan arbitrase dan tempat pelaksanaan putusan arbitrase berada dalam satu negara. Hanya saja dalam arbitrase domestik para pihak yang bersengketa merupakan pihak domestik.

Dengan demikian apa yang telah diuraikan di atas, baik terkait pengertian maupun kedudukan yang dalam hal ini dipahami sebagai jursidiksi arbitrase komersial internasional (International Commercial Arbitration) mencakup kegiatan transaksi bisnis internasional maupun proses penyelesainnya. Untuk konteks Indonesia, jurisdiksi arbitrase internasional mencakup penyelesaian sengketa komersial yang transaksi komersialnya terjadi di lebih dari satu negara. Maka dengan demikian peradilan arbitrase internasional adalah peradilan yang berkewenangan untuk menyelesaikan sengketa komersial dari adanya transaksi bisnis internasional.    

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Arbitrase Komersial Internasional (International Commercial Arbitration) Dalam Bidang Transaksi Bisnis Internasional.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai mekanisme penyelesaian sengketa dalam perspektif International Commercial Arbitration kaitannya dengan transaksi bisnis internasional, maka terlebih dahulu penulis ingin menyampaikan pengantar tentang betapa pentingnya aturan-aturan hukum nasional di bidang bisnis internasional menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum bisnis internasional, hal tersebut sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian latar belakang. Suka tidak suka adanya berbagai aturan hukum nasional, diantara negara satu dengan yang lainnya sudah pasti sedikit atau banyak terdapat perbedaan antara satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi bisnis itu sendiri. Untuk menghadapi masalah tersebut menurut Sitti Nurjannah (2013:164) setidaknya ada 3 (tiga) teknik yang dapat dilakukan:

Pertama negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka; Kedua apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of law adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat; dan Ketiga teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional. Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara’.[17] 

Seiring dengan pesatnya tuntutan masyarakat dunia terhadap perubahanperubahan hukum dalam tataran internasional maka kenyataannya ketentuan perjanjian internasional yang bertujuan menciptakan efesiensi, konsistensi, dan koherensi dalam unifikasi dan harmonisasi hukum kontrak internasional sudah tidak memadai dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan bisnis internasional, akibat tuntutan masyarakat yang dinamis dan sangat cepat berubah, maka diperlukan suatu model atau rujukan dalam pembangunan hukum perdagangan internasional, misalnya hak untuk memilih hukum yang berlaku dalam suatu perjanjian (choice of law) yang diharapkan akan mampu menjadi instrumen harmonisasi hukum. Hal ini sekaligus sebagai upaya jalan keluar bagi pelaku bisnis internasional apabila timbul perselisihan ataupun sengketa dengan mitra bisnisnya. Keberadaan Choiice of law ini, salah satunya ditemukan pada mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase komersial internasisonal. Arbitrase komersial internasional merupakan forum arbitrase yang menyelesaikan perselisihan atas transaksi komersial yang memiliki keterkaitan dengan unsur asing. Oleh karena itu, Ida Bagus Rahmadi Supancana (2013:49) mengungkapkan:

“Adanya kepastian tentang pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing maupun Arbitrase Asing sangat diperlukan pada kontrak-kontrak dagang (komersial) internasional. Di bidang arbitrase, sudah ada Konvensi yang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (Convention on Recognition and Enforcment of Arbitra Awards) di mana Indonesia telah menjadi negara pihaknya. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbittrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga diatur tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Terhadap putusan pengadilan asing, pada dasarnya dapat dilaksanakan di negara lain sepanjang dipenuhi persayaratan-persyaratan tertentu, seperti: jelas kewenangan pengadilan yang bersangkutan; putusan diambil secara tidak melawan hukum; ada perjanjian kerjasama timbal balik diantara kedua negara; dan lain-lain”.[18]

Kemudian pandangan serupa juga disampaikan oleh Gatut L Budiono (2009:51), yang menguraikan secara singkat tentang penyelesaian sengketa dalam bisnis internasional melalui arbitrase yaitu:

“Proses dimana kedua belah pihak dalam suatu konflik sepakat untuk menyerahkan perkara mereka kepada seseorang atau badan swasta yang putusaanya akan mereka hormati. Sengketa dalam perdagangan internasional dapat saja sangat rumit. Biasanya, empat pertanyaan harus dijawab agar sengketa internasional dapat diselesaikan: Pertama hukum negara mana yang berlaku? Kedua dinegara mana seharusnya persoalan tersebut diselesaikan? Ketiga teknik mana yang seharusnnya digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut: pengadilan, arbitrase, mediasi, atau negosiasi? Dan Keempat bagaimana penyelesaian tersebut akan dilaksanakan? Banyak kontrak bisnis internasional menetapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini untuk mengurangi ketidakpastian dan biaya dalam menyelesaikan sengketa”.[19]

Untuk mengurai pertanyaan-pertanyaan sebagaimana yang disampaikan di atas khususnya terkait dengan bagaimana mekanisme penyelesain sengketa arbitrase komersial internasional (international commercial arbitration) dalam kaitannya dengan transaksi bisnis internasional. Maka, penulis akan coba mengelaborasi mengenai hal tersebut. Bagaimana mekanisme ataupun tata cara penyelesain sengketa arbitrase internasional secara umum. Penulis akan memulai dari proses peradilan arbitrase dengan tahapan Pembentukan, Pemeriksaan, dan Putusan Arbitrase. 

1.    Pembentukan Peradilan Arbitrase

Adanya peradilan arbitrase karena adanya perjanjian arbitrase[20] yang disepakati oleh para pihak dalam kontrak bisnis (perjanjian arbitrase).

a.      Dibuat dalam bentuk klausul arbitrase (arbitartion clause) yang merupakan bagian dari kontrak bisnis itu sendiri.

b.      Selain itu, dapat juga disepakati oleh para pihak yang bersengketa atas pelaksanaan kontrak bisnis, dibuat dalam bentuk perjanjian arbitrase tersendiri (submission agreement).

c.      Klausul arbitrase dan perjanjian arbitrase tersendiri, secara hukum, samasama merupakan perjanjian arbitrase yang mengikat para pihak.

d.      Berdasarkan perjanjian arbitrase, peradilan arbitrase dibentuk dengan langkah-langkah memilih arbiter dalam jumlah yang disepakati para pihak dalam perjanjian arbitrase atau berdasarkan peraturan arbitrase (Rules of Arbitration) yang dipilih para pihak. Jumlah arbitrator yang dipilih merupakan jumlah ganjil biasanya satu orang arbitrator (arbitrator tunggal) atau tiga orang arbitrator (majelis arbitrator).

e.       Arbitrator menetapkan Peraturan Arbitrase yang akan digunakan sebagai hukum acara arbitrase. Jika para pihak dalam perjanjian arbitrase sepakat memilih arbitrase institusi, maka para pihak juga biasanya memilih Peraturan Arbitrase dari institusi arbitrase yang dipilih. Pemilihan yang demikian ini memudahkan jalannya peradilan arbitrase karena para arbitrator dari arbitrase institusi sudah pasti sangat paham terhadap Peraturan Arbitrase dari arbitrase institusi dimaksud. 

f.        Jika para pihak dalam perjanjian arbitrase sepakat memilih arbitrase adhoc, dalam hal ini para arbitrator harus menyusun Peraturan Arbitrase dengan persetujuan para pihak.

g.      Peraturan Arbitrase bisa disusun dari awal atau mengambil Peraturan

Arbitrase dari arbitrase institusi tertentu dengan atau tanpa modifikasi.

h.      Peraturan Arbitrase dari institusi arbitrase dan Peraturan Arbitrase yang disusun para arbitrator dari arbitrase ad-hoc status hukumnya adalah sama yaitu sama-sama merupakan hukum acara arbitrase yang akan menjadi pegangan para arbitrator dan para pihak dalam pelaksanaan peradilan arbitrase.

2.    Pemeriksaan Sengketa

Setelah peradilan arbitrase terbentuk, tiba gilirannya untuk memulai pemeriksaan sengketa yang pelaksanaannya adalah:

a.      Sesuai dengan ketentuan Peraturan Arbitrase[21] yang dipilih atau disusun. 

b.       Sengketa para pihak diselesaikan dengan ketentuan hukum materill atau rasa keadilan dan kepatutan.  

c.      Jika arbitrator atau para arbitrator memiliki latar belakang pendidikan formal hukum, maka arbitrator atau para arbitrator melakukan pemeriksaan sengketa dengan menggunakan ketentuan hukum materill. 

d.      Jika, arbitrator atau majelis arbitrator tidak memiliki latar belakang pendidikan formal hukum, maka arbitrator atau majelis arbitrator melakukan pemeriksaan sengketa dengan menggunakan prinsip keadilan dan kepatutan.[22]

e.      Pemeriksaan sengketa bersifat tertutup[23] dan dilakukan secara korespondensi (tertulis)[24] kecuali dipandang perlu oleh arbiter dan dapat dilakukan apabila para pihak memberikan persetujuan. Penekanan pemeriksaan arbitrase adalah pada pemeriksaan korespondensi, sedangkan pemeriksaan lisan hanya sebagai pelengkap yang boleh ada boleh tidak.

3.    Putusan Arbitrase

Pada bagian ini akan dikeluarkan putusan akhir yaitu:  

a.      Arbitrator akan mengeluarkan putusan arbitrase[25] (arbitral award) bersifat final and binding[26] isinya menetapkan hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa.

b.      Putusan didasarkan pada hasil pemeriksaan dokumen-dokumen

korespondensi dengan atau tanpa pemeriksaan lisan. 

c.      Dalam pelaksanaannya pertama, putusan arbitrase diucapkan (dibacakan) oleh arbitrator atau majelis arbitrator. Kedua, putusan arbitrase dikirim kepada para pihak.

d.      Putusan bisa saja dihasilkan berdasarkan suara bulat majelis arbitrator atau berdasarkan dissenting opinion dari salah seorang anggota majelis arbitrator.

e.      Kedua hasil putusan tersebut sama-sama memiliki kekuatan mengikat yang sama terhadap para pihak.

f.        Putusan arbitrase sama kekuatan hukumnya dengan putusan peradilan umum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 

4.   Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase seharusnya dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang ditetapkan kalah, pihak yang dibebani kewajiban. Pelaksanaan putusan arbitrase secara sukarela merupakan salah satu prinsip peradilan arbitrase. Peradilan arbitrase dibentuk oleh para pihak sendiri dan sudah seharusnya menghormati putusannya. Namun, bila pihak yang ditetapkan kalah ingkar untuk melaksanakan kewajibannya, secara hukum, pihak yang ditetapkan menang berhak meminta bantuan pengadilan di negara tempat pelaksanaan putusana arbitrase untuk mengeluarkan perintah eksekusi agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan terhadap pihak yang ditetapkan peradilan arbitrase sebagai pihak yang kalah. Dalam hal ini peradilan umum membantu eksekusi putusan peradilan arbitrase. Perintah eksekusi peradilan umum bersifat memaksa.

5.   Penolakan Putusan Arbitrase

Terhadap putusan arbitrase, bagi pihak yang ditetapkan kalah, terdapat opsi menolak untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut. Penolakan putusan arbitrase diajukan ke peradilan umum sesuai dengan hukum arbitrase negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase. Setidaknya ada 2 (dua)[27] alasan penolakan, adalah sebagai berikut: 

a.              alasan yang berhubungan dengan kepentingan para pihak yang bersengketa misalnya perjanjian arbitrase tidak sah berdasarkan hukum[28] yang berlaku atas perjanjian arbitrase.

b.              alasan lainya untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase adalah alasan kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat.[29]

Dalam pelaksanaan penolakan putusan arbitrase, putusan arbitrase tetap diakui ada dan sah secara hukum. Namun, putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan di negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase karena alasan yang berhubungan dengan kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase.

Pada arbitrase internasional, negara tempat pelaksanaan peradilan arbitrase dan negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase merupakan 2 (dua) negara yang berbeda. Pada arbitrase internasional, berkenaan dengan penolakan putusan arbitrase, hukum arbitrase yang berlaku adalah hukum arbitrase dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase. Selain itu bagi negara-negara yang sudah meratifikasi Konvensi New York 1958, berlaku ketentuan penolakan putusan arbitrase yang berbunyi:

1.      Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that:

(a)    The parties to the agreement referred to in article II were, under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the country where the award was made; or

(b)    The party against whom the award is invoked was not given proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was otherwise unable to present his case; or

(c)    The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of the submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope of the submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced; or

(d)    The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was not in accordance with the law of the country where the arbitration took place; or

(e)    The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made.  

2.      Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that:

(a)    The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the law of that country; or

(b)    The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country”.[30]

Pengaturan terkait dengan penolakan putusan arbitrase internasional juga terdapat pada UNCITRAL Model Law, khususnya diatur dalam Pasal 36. Untuk indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, juga mengatur penolakan putusan arbitrase internasional khususnya diatur pada Pasal 66, dan Pasal 68. Namun demikian, UU Arbitrase tidak memiliki ketentuan yang memungkinkan para pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan penolakan putusan arbitrase internasional ke peradilan umum yang berwenang di Indonesia. UU Arbitrase hanya memberikan kewenangan kepada peradilan umum yang berwenang di Indonesia untuk menolak putusan arbitrase internasional bila peradilan umum dimaksud menemukan bahwa putusan arbitrase internasional bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.

Tetapi, karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981, maka Konvensi New York 1958 telah merupakan hukum positif bagi Indonesia.  

6.   Pembatalan Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase juga dapat dibatalkan oleh peradilan umum. Arbitrase tidak mempunyai kewenangan dalam pembatalan putusannya, pembatalan putusan arbitrase[31] sepenuhnya menjadi kewengan peradilan umum. Pengaturan pembatalan putusan arbitrase internasional diatur dalam Konvensi New York 1958, Pasal V ayat (1) huruf e. Meskipun tidak diatur alasan apa yang digunakan para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ke peradilan umum di negara tempat pelaksanaan arbitrase. Namun dalam UNCITRAL Model Law khususnya Pasal 34 mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh salah satu pihak untuk mengajikan permohonan pembatalan putusan arbitrase dan dasar kewenangan pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase. Pada UU Arbitrase di atur pada Pasal 70, Pasal 72.

Demikian urain terkait pengertian, kedudukan dan mekanisme penyelesaian sengketa pada peradilan arbitrase komersial internasional atau biasa juga disebut arbitrase internasional yang dapat dijadikan rujukan penyelesaian apabila terjadi perselisihan dalam transaksi bisnis internasional. 

 

BAB III

PENUTUP

Para pelaku usaha antar negara menjalin kerja sama bisnis atau perdagangan untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi para pihak yang terlibat. Bentuk kejasama bisnis internasional antara pelaku bisnis yang berasal dari dua negara atau lebih biasanya dituangkan kedalam suatu kontrak bisnis internasional yang menimbulkan hubungan hukum yang kompleks karena melibatkan pelaku bisnis yang memiliki latar belakang negara yang sistem hukumnya saling berbeda. Dalam praktiknya, masalah hukum atau sengketa hukum dalam kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional sering terjadi, dampaknya kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional bukannya memberi manfaat dan keuntungan, tetapi justru menimbulkan beban dan kerugian.

Untuk mengatasi permaslahan ataupun perselisihan dalam transaksi bisnis internasional dapat menempuh arbitrase internasional, merupakan forum arbitrase yang menyelesaikan perselisihan atas transaksi komersial yang memiliki keterkaitan dengan unsur asing. Arbitrase komersial internasional disebut juga arbitrase internasional atau arbitrase asing.

Di Indonesia, peradilan arbitrase diakui keberadaannya oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesain Sengketa. Pada lingkup yang lebih luas, pelaksanaan arbitrase internasional pada umumnya mengacu pada convention on the recognition and enforcement of foreign arbitral awards yang selanjutnya disebut Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Berdasarkan ketentuan Konvensi New York 1958, arbitrase komersial diperuntukan menyelesaikan sengketa komersial juga disebut sengketa bisnis yang timbul dari transaksi komersial (transaksi bisnis) yang mencakup hukum dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase.

Peradilan arbitrase dibentuk berdasarkan perjanjian arbitrase baik berupa klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri. Institusi arbitrase membentuk peradilan arbitrase berdasarkan Rules of Arbitration yang dimilikinya. Sementara arbitrase ad-hoc menjadi peradilan arbitrase berdasrkan bentukan para pihak yang bersengketa. Arbitrase internasional memiliki jurisdiksi untuk memeriksa sengketa komersial yang berdasarkan Rules of Arbitration yang merupakan hukum acara peradilan arbitrase.

Peradilan arbitrase internasional dapat ditolak pelaksanaanya oleh peradilan umum yang berwenang di negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase berdasrkan alasan-alasan penolakan yang disebutkan dalam Konvensi New York 1958 dan berdasarkan Konvensi New York 1958. Putusan arbitrase internasional tidak dapat dibatalkan oleh peradilan umum dinegara tempat pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 

 

  

DAFTAR PUSTAKA

A.     Buku

Gatut L Budiono, Bisnis Internasional, Jakata: FEBSOS, 2009.

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Pengembangan Hukum Kontrak Dagamg Internasional, Jakarta:        Badan         Pembinaan   Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I., 2013.

Ramlan Ginting, Transaksi Bisnis & Perbankan Internasional, Jakarta: Universitas Trisakti, 2014.

Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2016.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

 

B.     Jurnal

Hikmahanto Juwana, Transaksi Bisnis Internasional Dalam Kaitannya Dengan

Peradilan Niaga, “Jurnal Hukum & Pembangunan”, Vol 31, No. 3 JuliSep. 2001. ISSN: 0125-9687:225.

Kikin Nopiandri, Peran Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional: Tinjauan Dari Perspektif Teori Sistem Hukum, “Jurnal Legal Reasoning”, Vol. 1, No. 1, Desember 2018. P-ISSN 2654-8747: 5455.

Sri Retno Widyorini, Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Arbitrase, “Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat”, Vol. 4, No. 1, Oktober 2006. ISSN : 0854-2031: 59.

Sitti Nurjannah, Harmonisasi Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Melalui Choice Of Law, “Jurnal Hukum Pidana & Ketatanegaraan”, Vol. 2, No. 2, Desember 2013. P-ISSN: 2303-050X. E-ISSN: 2580-5797:164.

Subianta Mandala, Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah,

Latar Belakang Dan Model Pendekatannya, “Jurnal Bina Mulia Hukum”, Volume 1, Nomor 1, September 2016, ISSN 2528-7273:54-55.

 

C.   Peraturan perundang-undangan

Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembara Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 138, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3872.

United Nations, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, New York 1958.

D.     Internet

Jimly School of Law and Government, Hukum Kontrak Bisnis Internasional, https://www.jimlyschool.com/berita/hukum-kontrak-bisnisinternasional/, diakses tanggal 21 Januari 2020.

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 



[1] Corporate Legal, di PT. Mandiri Herindo Adiperkasa, yang bergerak di bidang Pertambangan dan berkedudukan di Jakarta. Email: fadlinoch7@gmail.com 

[2] Ramlan Ginting, Transaksi Bisnis & Perbankan Internasional, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2014), hal. 14-15.

[3]Jimly School of Law and Government, Hukum Kontrak Bisnis Internasional, https://www.jimlyschool.com/berita/hukum-kontrak-bisnis-internasional/, diakses tanggal 21 Januari 2020.

[4] Hikmahanto Juwana, Transaksi Bisnis Internasional Dalam Kaitannya Dengan Peradilan Niaga, “Jurnal Hukum & Pembangunan”, Vol 31, No. 3 Juli-Sep. 2001. ISSN: 0125-9687, hal. 225.

[5] Subianta Mandala, Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang Dan Model Pendekatannya, “Jurnal Bina Mulia Hukum”, Volume 1, Nomor 1, September 2016 [ISSN 2528-7273], hal. 54-55.

[6] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 45.

[7] Kikin Nopiandri, Peran Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional: Tinjauan Dari Perspektif Teori Sistem Hukum, “Jurnal Legal Reasoning”, Vol. 1, No. 1, Desember 2018. P-ISSN 2654-8747, hal. 54-55.

[8] Sri Retno Widyorini, Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Arbitrase, “Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat”, Vol. 4, No. 1, Oktober 2006. ISSN: NO. 0854-2031, hal. 59.

[9] Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembara Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 138, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3872, Pasal 66 huruf b beserta penjelasannya

[10] United Nations, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, New York (1958), Article I (3)

[11] Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2016), hal. 3.

[12] Ibid., hal. 6.

[13] Transaksi komersial meliputi meliputi antara lain transaksi perbankan: trade finance, Letter of Credit, Warehouse receipt, local Letter of Credit, Standby Letter of Credit, Demand Guarantee, Bank Guarantee; transaksi perdagangan, transaksi penanaman modal, transaksi hak kekayaan intelektual. 

[14] Ibid., hal. 41-42.

[15] Perjanjian arbitrase adalah perjanjian untuk memilih (membentuk) peradilan arbitrase berupa institusional arbitration atau ad-hoc arbitration untuk menyelesaikan perselisihan.

[16] Ibid., hal. 42

[17] Sitti Nurjannah, Harmonisasi Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Melalui Choice Of Law, “Jurnal Hukum Pidana & Ketatanegaraan”, Vol. 2, No. 2, Desember 2013. P-ISSN: 2303-050X. EISSN: 2580-5797, hal. 164.

 

[18] Ida Bagus Rahmadi Supancana, Pengembangan Hukum Kontrak Dagamg Internasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I., 2013), hal. 49.

[19] Gatut L Budiono, Bisnis Internasional, (Jakata: FEBSOS, 2009), hal. 51.

[20] Peradilan arbitrase hanya mungkin dibentuk jika terdapat perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase merupakan dasar pembentukan peradilan arbitrase. Tanpa perjanjian arbitrase tidak dapat dibentuk peradilan arbitrase.

[21] Peraturan Arbitrase berfungsi ibarat mesin yang menggerakan ketentuan hukum materill atau rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). Peraturan Arbitrase membuat ketentuan hukum materill atau rasa keadilan dan kepatutan menjadi terwujud dalam praktik. Hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa menjadi dapat diukur dan ditetapkan. Peraturan Arbitrase membuat hidup ketentuan hukum materill atau rasa keadilan dan kepatutan.

[22] Prinsip keadilan dan kepatutan merupakan prinsip yang dibangun oleh arbitrator atau majelis arbitrator berdasrkan international rules yang relevan dengan pokok perkara para pihak. international rules ini misalnya, untuk transaksi Letter of Credit, adalah Uniform and Practice for Documentary Credits, 2007 Revisiosn, ICC Publication No. 600 (UCP 600). 

[23] Pemeriksaan secara tertutup berarti hanya para pihak dan arbitrator yang mengetahui keberadaan sengketa, pihak ketiga tidak boleh mengetahui atau turut serta dalam proses pemeriksaan arbitrase kecuali dengan persetujuan para pihak. 

[24] Pemeriksaan secara korespondensi berati tidak ada pemeriksaan bertemu fisik antara para pihak dan arbiter sebagaimana halnya terdapat dalam pemeriksaan sengketa pada peradilan umum. Pemeriksaan bertemu fisik dinamakan juga pemeriksaan lisan (hearing).

[25] Putusan arbitrase adalah putusan akhir dari peradilan arbitrase atas sengketa yang diajukan ke arbitrase.

[26] Artinya terhadap putusan arbitrase tidak ada lagi tersedia upaya hukum lanjutan. Tidak ada lagi banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti halnya dalam peradilan umum. Peradilan arbitrase merupakan peradilan satu putaran, satu tingkat.

[27] Penerapan kedua alasan ini merupakan kewenangan peradilan umum yang berwenang sesuai dengan hukum arbitrase di negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase. 

[28] Alasan kepentingan hukum adalah alasan yang berhubungan dengan cakupan jurisdiksi arbitrase. Jika peradilan arbitrase membuat putusan atas sengketa yang menjadi kewenangannya menurut hukum arbitrase dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase, maka peradilan umum yang berwenang di negara tersebut akan menolak pelaksanaan putusan arbitrase dimaksud.  

[29] Alasan kepentingan masyarakat adalah alasan yang berhubungan dengan ketertiban umum. Jika keputusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum dari negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase, maka peradilan umum yang berwenang di negara tersebut akan menolak pelaksanaan putusan tersebut.

[30] United Nations, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, New York (1958), Article V  

[31] Pembatalan putusan arbitrase mengandung arti bahwa putusan arbitrase yang ada secara hukum dianggap tidak ada. Putusan arbitrase yang ada tidak memiliki akibat-akibat hukum. Putusan arbitrase yang ada tidak dapat di eksekusi. Pihak yang ditetapkan kalah dalam putusan arbitrase tidak perlu melaksanakan kewajiban berdasarkan putusan arbitrase yang dibatalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar