Fadli
Perhelatan nalar atau logika mengenai putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) terutama terkait Conditionally Unconstitusional ternyata
semakin menarik untuk diikuti. Putusan tersebut menggelitik banyak pihak tanpa
terkecuali para ahli hukum tata negara. Semacam ada hasrat yang menggebu dan tak
sanggup menahan “kegenitan” untuk tidak mengomentari, memberi pandangan, juga
gagasana dalam hal putusan tersebut, mengapa? Karena memang objeknya menarik,
bisa jadi baru namun yang pasti “seksi”.
Keseksian putusan itu memberi dampak yang cukup dahsyat, mampu membelah dua nalar dengan argumentasi dan logika berbeda, berdasarkan perspektif keilmuan yang dimiliki dan sudah pasti mumpuni. Maka kemudian, dalam keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, saya berusaha mengurai kedua perspektif tersebut.
1. Perspektif
Pro.
Perspektif
pro ini, dibangun dengan argumentasi bahwa untuk menghindari
ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan maka MK mengambil
keputusan inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitusional). Meskipun
secara hukum terbukti tidak terpenuhi syarat-syarat tentang tata cara dalam
pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker),
tetapi ada tujuan besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU Ciptaker serta
telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak
diimplementasikan pada tataran praktik. Maka dengan demikian putusan MK
tersebut dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah UU
yang harus dipenuhi sebagai syarat formil dengan tujuan strategis dibentuknya
UU a quo.
Oleh karena itu, dalam memberlakukan UU Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional
secara bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU
Ciptaker, sehingga MK memberikan kesempatan kepada pembentuk UU untuk
memperbaiki UU Ciptaker berdasarkan tata cara pembentukan UU yang memenuhi cara
dan metode yang pasti, baku, dan standar, di dalam membentuk UU Ciptaker yang
juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan UU yang
telah ditentukan.
Turunan dari “obesitas regulasi” di atas dapat dimaknai untuk
keberlangsungan penyelenggaraan negara yang sebagian besar tertuang dalam UU
Ciptaker. Kita ketahui UU Ciptaker tersebut, secara subtansi
dikelompokan dalam 11 klaster pengaturan, diantaranya: Perizinan dan Kegiatan
Usaha Sektor (15 PP); Koperasi dan UMKM serta Badan Usaha Milik Desa (4 PP);
Investasi (5 PP dan 1 Perpres); Ketenagakerjaan (4 PP); Fasilitas Fiskal (3
PP); Penataan Ruang (3 PP dan 1 Perpres); Lahan dan Hak Atas Tanah (5 PP);
Lingkungan Hidup (1 PP); Konstruksi dan Perumahan (5 PP dan 1 Perpres); Kawasan
Ekonomi (2 PP) dan Barang dan Jasa Pemerintah (1 Perpres). Ada sekitar 78 UU
yang diubah 77 merupakan UU perubahan dan 1 UU pencabutan.
Ada
juga badan-badan yang dibentuk berdasarkan UU Ciptaker terutama terkait dengan
investasi, ada sekian banyak modal investasi yang telah digelontorkan dengan
mengacu pada UU Ciptaker, adapula bentuk kerja sama yang telah dilakukan yang
bisa jadi tidak sedikit modal yang disertakan terhadap kerjasama tersebut, dan
kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan oleh pemerintah melalui
dasar hukum UU Ciptaker.
Maka
kemudian, UU Ciptaker mempunyai peran sentral dan strategis terhadap
kebijakan-kebijakan Pemerintah Presiden Joko Widodo terutama dalam hal pemulihan
ekonomi yang terganggu akibat pandemi. Jika kemudian putusan MK dinyatakan Conditionally
Unconstitusional (dianggap tidak konstitusional dan tidak diberlakukan sampai diperbaiki),
mungkin dapat berakibat fatal serta mempunyai dampak yang sangat luas terhadap
penyelenggaraan negara. Ada ketidakpastian hukum baru, dan bahkan bisa jadi ada
kekosongan hukum. Maka kemudian, hal tersebut bukan sesuatu yang berlebihan jika
dijadikan alasan-alasan atau pertimbangan oleh MK untuk membuat pemakluman
terhadap putusan tersebut.
Jika
dilihat dengan pendekatan hukum, putusan MK tersebut menyerupai pendekatan Sociological Jurisprudence, disebut juga aliran hukum functional anthropological atau metode
fungsional. Sociological Jurisprudence menitikberatkan pada
hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum. Aliran Sociological
Jurisprudence memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini menyatakan bahwa hukum yang
baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sociological
Jurisprudence timbul sebagai proses dialektika antara Positivisme
Hukum yang memandang hukum sebagai perintah penguasa dan Mazhab Sejarah yang
menyatakan bahwa hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Proses
pembangunan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aliran hukum ini.
Pendekatan lain yang menggambarkan putusan MK bisa jadi mengacu pada
pendekatan/aliran Realisme Hukum. Aliran ini
sering diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism yang berkembang di
Amerika Serikat. Realisme Hukum memandang bahwa hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Hukum dibentuk dari
kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis,
gagasan yang sedang berlaku dan emosi-emosi yang umum.
2. Perspektif Kontra.
Perspektif ini, memahami bahwa putusan MK terkait Conditionally
Unconstitusional, merupakan bentuk penyelewengan hukum, keputusan tersebut
ambigu sekaligus membingungkan. Dalam putusan MK menyatakan bahwa proses legislasi
UU Ciptaker adalah Inkonstitusional, dengan demikan dapat diartikan sebuah produk
yang dihasilkan dari proses inkonstitusional maka aturan pelaksna juga
inkonstitusional sehingga tidak bisa berlaku. Namun tidak demikian dengan
putusan MK, terdapat perbedaan antara proses dan hasil, sehingga yang
dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya tetapi UU-nya tetap dinyatakan konstitusional
dan berlaku.
Putusan tersebut kemudian di nilai cenderung bersayap dan kental nuansa
politik, ketidakjelasan pengertian inkonstitusional memicu polemik dari makna
dan subtansinya. Seharusnya pengertian konstitusional dan inkonstitusional
dalam putusan tersebut punya batas yang jelas, tidak berada di ruang
“remang-remang” karena tidak baik bagi masa depan law enforcement itu
sendiri. Bila MK menilai ada cacat formil di UU Ciptaker maka sudah seharusnya
UU tersebut dicabut seluruhnya. Biasanya memang dalam putusan-putusan MK ada
dua konsep yaitu Conditionally Constitutional artinya tetap
dianggap berlaku sementara waktu sampai diperbaiki. Sedangkan Conditionally
Unconstitusional dianggap tidak konstitusional dan tidak diberlakukan
sampai diperbaiki. Tetapi untuk putusan MK pada UU Ciptaker kali ini di
katakana Conditionally Unconstitusional tapi Amar putusan pada poin 4
mengatakan “Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku
sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu
sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini”.
Hal lain yang dianggap “seksi” untuk dikomentari dari putusan MK
tersebut adalah terkait dengan adanya 12 putusan yang dikeluarkan secara
bersamaan dengan UU Ciptaker pada tanggal 25 November 2021, diantara
putusan tersebut, ada 10 putusan yang dinyatakan “kehilangan objek” artinya
tertutup untuk dilakukan penggujian materiil, karena putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional). Namun di satu sisi MK dengan
keputusannya (vide Amar 4) masih memberlakukan UU Ciptaker selama 2 tahun,
artinya bahwa uji materiil telah “kehilangan objek ujinya” menjadi tidak tepat.
Dengan masih berlakunya UU Ciptaker maka seharusnya ruang untuk pengujian
materiil masih tetap terbuka dan dimungkinkan. Untuk itu, apabila MK telah
memutuskan tidak menerima semua pengujian materiil, bisa jadi hal tersebut
merupakan “Impunitas konstitusi” bagi norma-norma dalam UU Ciptaker sekaligus
berpotensi melanggar UUD 1945.
Dengan
melihat fakta-fakta tersebut maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa MK
dalam keputusannnya mengakomodir berbagai kepentingan, mengambil jalan tengah,
tidak konsisten, mengandung ambiguitas, sekaligus menimbulkan
ketidakpastian hukum, hinga bisa jadi memunculkan perselisihan dalam
implementasinya.
Dalam
pandangan pendekatan hukum, argumentasi perspektif kontra ini, cenderung
melihat bahwa hukum itu tidak ada yang “abu-abu” jika dia “hitam” maka
katakanlah ia “hitam” dan jika ia “putih” maka katakanlah ia “putih”.
Pendekatan seperti ini sebenaranya didasari pada aliran/teori hukum murni (The Pure Theory of
Law) yang di gagas oleh filsuf dan ahli hukum terkemuka Austria Hans Kelsen
(1881-1973), bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis
seperti sosiologis, politis, historis dan etis. Hukum adalah suatu sollenkategorie
atau kategori keharusan/ideal, bukan seinskategorie atau kategori
faktual.
Menyikapi perbedaan pandangan tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu
yang harus dipersoalkan sebab perbedaan adalah suatu keniscayaan. Perbedaan
merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, perbedaaan
telah menghiasi sepanjang sejarah peradaban manusia. Perbedaan juga merupakan
rahmat “ikhtilafu ummati rahmah” perbedaan umatku merupakan
sebuah rahmat. Maka kemudian jadikan perbedaan itu sebagai bagian dari
saling melengkapi, membangun, dan memperbaiki.
Dalam sejarah perkembangan hukum, perbedaan telah ada sejak ratusan atau
bahkan ribuan tahun lalu, perbedaan merupakan hal yang klasik juga menarik
dalam khasana perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam menggunakan metodologi,
sesama para ahli hukum menggunakan pendekatan yang berbeda bahkan cenderung berlawanan.
Misalnya ada para ahli hukum menggunakan pendekatan Black Letter dan
tidak sedikit juga menggunakan pendekatan Socio-Legal artinya meskipun
sama-sama belajar dan mendalami hukum namun dalam metodologi menggunakan
pendekatan yang berbeda. Hal tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya
perbedaan pandangan para sarjana hukum maupun ahli hukum, merupakan hal yang
biasa saja. Maka kemudian perbedaan pandangan dalam putusan MK, baik yang
disampaikan oleh para ahli hukum tata negara atau bahkan masyarakat luas dapat
dijadikan diskursus bagi perkembangan hukum yang lebih baik.
Terpenting adalah bahwa starting poin dalam putusan MK tersebut bukan
terletak pada perbedaan perspektif putusan yang dihasilkan, tetapi bagaimana
hasil putusan tersebut dapat mengkonfirmasi bahwa memang betapa buruknya proses perumusan UU Ciptaker yang ditandatangani Presiden RI pada 2
November 2020. Dibuat secara tergesa-gesa tanpa metode yang jelas, UU Ciptaker
memuat 78 UU sementara mekanismenya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), terjadi beberapa
perubahan penulisan dibeberapa subtansi setelah di tandatangani oleh Presiden, tidak
adanya naskah akhir sebelum persetujuan, UU Ciptaker dinilai bertentangan dengan asas
pembentukan perundang-undangan terutama pada asas keterbukaan dan partisipasi
publik selama pembahasannya, dan terkesan UU Ciptaker dibuat secara
“ugal-ugalan” sehingga menimbulkan preseden buruk dalam catatan legislasi
Indonesia.
Hal-hal tersebut merupakan bagian dari cacat formil sebagaimana yang
didalilkan oleh pemohon, sehingga cukup sederhana untuk dibuktikan di
persidangan karena begitu terang-benderang di mata publik. Putusan MK atas uji
Formil yang diajukan oleh pemohon ini memang layak untuk diapresiasi, sekaligus
sejarah baru bagi peradilan konstitusi Indonesia. Untuk itu, putusan MK
tersebut patut juga untuk disyukuri sebab jika tidak maka praktik buruk ini bisa mendapat legitimasi sehingga mungkin akan
terus berulang dan merupakan hal yang sangat memalukan dalam catatan perumusan
undang-undang di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar