Selasa, 30 November 2021

PRO-KONTRA ATAS PUTUSAN NOMOR: 91/PUU-XVIII/2020 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Fadli 

Perhelatan nalar atau logika mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terutama terkait Conditionally Unconstitusional ternyata semakin menarik untuk diikuti. Putusan tersebut menggelitik banyak pihak tanpa terkecuali para ahli hukum tata negara. Semacam ada hasrat yang menggebu dan tak sanggup menahan “kegenitan” untuk tidak mengomentari, memberi pandangan, juga gagasana dalam hal putusan tersebut, mengapa? Karena memang objeknya menarik, bisa jadi baru namun yang pasti “seksi”.

Keseksian putusan itu memberi dampak yang cukup dahsyat, mampu membelah dua nalar dengan argumentasi dan logika berbeda, berdasarkan perspektif keilmuan yang dimiliki dan sudah pasti mumpuni. Maka kemudian, dalam keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, saya berusaha mengurai kedua perspektif tersebut.

1.       Perspektif Pro.

Perspektif pro ini, dibangun dengan argumentasi bahwa untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan maka MK mengambil keputusan inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitusional). Meskipun secara hukum terbukti tidak terpenuhi syarat-syarat tentang tata cara dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), tetapi ada tujuan besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU Ciptaker serta telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak diimplementasikan pada tataran praktik. Maka dengan demikian putusan MK tersebut dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah UU yang harus dipenuhi sebagai syarat formil dengan tujuan strategis dibentuknya UU a quo.

Oleh karena itu, dalam memberlakukan UU Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU Ciptaker, sehingga MK memberikan kesempatan kepada pembentuk UU untuk memperbaiki UU Ciptaker berdasarkan tata cara pembentukan UU yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, di dalam membentuk UU Ciptaker yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan UU yang telah ditentukan.

Turunan dari “obesitas regulasi” di atas dapat dimaknai untuk keberlangsungan penyelenggaraan negara yang sebagian besar tertuang dalam UU Ciptaker. Kita ketahui UU Ciptaker tersebut, secara subtansi dikelompokan dalam 11 klaster pengaturan, diantaranya: Perizinan dan Kegiatan Usaha Sektor (15 PP); Koperasi dan UMKM serta Badan Usaha Milik Desa (4 PP); Investasi (5 PP dan 1 Perpres); Ketenagakerjaan (4 PP); Fasilitas Fiskal (3 PP); Penataan Ruang (3 PP dan 1 Perpres); Lahan dan Hak Atas Tanah (5 PP); Lingkungan Hidup (1 PP); Konstruksi dan Perumahan (5 PP dan 1 Perpres); Kawasan Ekonomi (2 PP) dan Barang dan Jasa Pemerintah (1 Perpres). Ada sekitar 78 UU yang diubah 77 merupakan UU perubahan dan 1 UU pencabutan.

Ada juga badan-badan yang dibentuk berdasarkan UU Ciptaker terutama terkait dengan investasi, ada sekian banyak modal investasi yang telah digelontorkan dengan mengacu pada UU Ciptaker, adapula bentuk kerja sama yang telah dilakukan yang bisa jadi tidak sedikit modal yang disertakan terhadap kerjasama tersebut, dan kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan oleh pemerintah melalui dasar hukum UU Ciptaker.

Maka kemudian, UU Ciptaker mempunyai peran sentral dan strategis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah Presiden Joko Widodo terutama dalam hal pemulihan ekonomi yang terganggu akibat pandemi. Jika kemudian putusan MK dinyatakan Conditionally Unconstitusional (dianggap tidak konstitusional dan tidak diberlakukan sampai diperbaiki), mungkin dapat berakibat fatal serta mempunyai dampak yang sangat luas terhadap penyelenggaraan negara. Ada ketidakpastian hukum baru, dan bahkan bisa jadi ada kekosongan hukum. Maka kemudian, hal tersebut bukan sesuatu yang berlebihan jika dijadikan alasan-alasan atau pertimbangan oleh MK untuk membuat pemakluman terhadap putusan tersebut.

Jika dilihat dengan pendekatan hukum, putusan MK tersebut menyerupai pendekatan Sociological Jurisprudence, disebut juga aliran hukum functional anthropological atau metode fungsional. Sociological Jurisprudence menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum. Aliran Sociological Jurisprudence memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini menyatakan bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sociological Jurisprudence timbul sebagai proses dialektika antara Positivisme Hukum yang memandang hukum sebagai perintah penguasa dan Mazhab Sejarah yang menyatakan bahwa hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Proses pembangunan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aliran hukum ini.

Pendekatan lain yang menggambarkan putusan MK bisa jadi mengacu pada pendekatan/aliran Realisme Hukum. Aliran ini sering diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism yang berkembang di Amerika Serikat. Realisme Hukum memandang bahwa hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Hukum dibentuk dari kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku dan emosi-emosi yang umum.

2.       Perspektif Kontra.

Perspektif ini, memahami bahwa putusan MK terkait Conditionally Unconstitusional, merupakan bentuk penyelewengan hukum, keputusan tersebut ambigu sekaligus membingungkan. Dalam putusan MK menyatakan bahwa proses legislasi UU Ciptaker adalah Inkonstitusional, dengan demikan dapat diartikan sebuah produk yang dihasilkan dari proses inkonstitusional maka aturan pelaksna juga inkonstitusional sehingga tidak bisa berlaku. Namun tidak demikian dengan putusan MK, terdapat perbedaan antara proses dan hasil, sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya tetapi UU-nya tetap dinyatakan konstitusional dan berlaku.

Putusan tersebut kemudian di nilai cenderung bersayap dan kental nuansa politik, ketidakjelasan pengertian inkonstitusional memicu polemik dari makna dan subtansinya. Seharusnya pengertian konstitusional dan inkonstitusional dalam putusan tersebut punya batas yang jelas, tidak berada di ruang “remang-remang” karena tidak baik bagi masa depan law enforcement itu sendiri. Bila MK menilai ada cacat formil di UU Ciptaker maka sudah seharusnya UU tersebut dicabut seluruhnya. Biasanya memang dalam putusan-putusan MK ada dua konsep yaitu Conditionally Constitutional artinya tetap dianggap berlaku sementara waktu sampai diperbaiki. Sedangkan Conditionally Unconstitusional dianggap tidak konstitusional dan tidak diberlakukan sampai diperbaiki. Tetapi untuk putusan MK pada UU Ciptaker kali ini di katakana Conditionally Unconstitusional tapi Amar putusan pada poin 4 mengatakan Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini”.

Hal lain yang dianggap “seksi” untuk dikomentari dari putusan MK tersebut adalah terkait dengan adanya 12 putusan yang dikeluarkan secara bersamaan dengan UU Ciptaker pada tanggal 25 November 2021, diantara putusan tersebut, ada 10 putusan yang dinyatakan “kehilangan objek” artinya tertutup untuk dilakukan penggujian materiil, karena putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Namun di satu sisi MK dengan keputusannya (vide Amar 4) masih memberlakukan UU Ciptaker selama 2 tahun, artinya bahwa uji materiil telah “kehilangan objek ujinya” menjadi tidak tepat. Dengan masih berlakunya UU Ciptaker maka seharusnya ruang untuk pengujian materiil masih tetap terbuka dan dimungkinkan. Untuk itu, apabila MK telah memutuskan tidak menerima semua pengujian materiil, bisa jadi hal tersebut merupakan “Impunitas konstitusi” bagi norma-norma dalam UU Ciptaker sekaligus berpotensi melanggar UUD 1945.

Dengan melihat fakta-fakta tersebut maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa MK dalam keputusannnya mengakomodir berbagai kepentingan, mengambil jalan tengah, tidak konsisten, mengandung ambiguitas, sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum, hinga bisa jadi memunculkan perselisihan dalam implementasinya.

Dalam pandangan pendekatan hukum, argumentasi perspektif kontra ini, cenderung melihat bahwa hukum itu tidak ada yang “abu-abu” jika dia “hitam” maka katakanlah ia “hitam” dan jika ia “putih” maka katakanlah ia “putih”. Pendekatan seperti ini sebenaranya didasari pada aliran/teori hukum murni (The Pure Theory of Law) yang di gagas oleh filsuf dan ahli hukum terkemuka Austria Hans Kelsen (1881-1973), bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis seperti sosiologis, politis, historis dan etis. Hukum adalah suatu sollenkategorie atau kategori keharusan/ideal, bukan seinskategorie atau kategori faktual.

Menyikapi perbedaan pandangan tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan sebab perbedaan adalah suatu keniscayaan. Perbedaan merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, perbedaaan telah menghiasi sepanjang sejarah peradaban manusia. Perbedaan juga merupakan rahmat “ikhtilafu ummati rahmah” perbedaan umatku merupakan sebuah rahmat. Maka kemudian jadikan perbedaan itu sebagai bagian dari saling melengkapi, membangun, dan memperbaiki.

Dalam sejarah perkembangan hukum, perbedaan telah ada sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu, perbedaan merupakan hal yang klasik juga menarik dalam khasana perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam menggunakan metodologi, sesama para ahli hukum menggunakan pendekatan yang berbeda bahkan cenderung berlawanan. Misalnya ada para ahli hukum menggunakan pendekatan Black Letter dan tidak sedikit juga menggunakan pendekatan Socio-Legal artinya meskipun sama-sama belajar dan mendalami hukum namun dalam metodologi menggunakan pendekatan yang berbeda. Hal tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya perbedaan pandangan para sarjana hukum maupun ahli hukum, merupakan hal yang biasa saja. Maka kemudian perbedaan pandangan dalam putusan MK, baik yang disampaikan oleh para ahli hukum tata negara atau bahkan masyarakat luas dapat dijadikan diskursus bagi perkembangan hukum yang lebih baik.

Terpenting adalah bahwa starting poin dalam putusan MK tersebut bukan terletak pada perbedaan perspektif putusan yang dihasilkan, tetapi bagaimana hasil putusan tersebut dapat mengkonfirmasi bahwa memang betapa buruknya proses perumusan UU Ciptaker yang ditandatangani Presiden RI pada 2 November 2020. Dibuat secara tergesa-gesa tanpa metode yang jelas, UU Ciptaker memuat 78 UU sementara mekanismenya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), terjadi beberapa perubahan penulisan dibeberapa subtansi setelah di tandatangani oleh Presiden, tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan, UU Ciptaker dinilai bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan terutama pada asas keterbukaan dan partisipasi publik selama pembahasannya, dan terkesan UU Ciptaker dibuat secara “ugal-ugalan” sehingga menimbulkan preseden buruk dalam catatan legislasi Indonesia.

Hal-hal tersebut merupakan bagian dari cacat formil sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, sehingga cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan karena begitu terang-benderang di mata publik. Putusan MK atas uji Formil yang diajukan oleh pemohon ini memang layak untuk diapresiasi, sekaligus sejarah baru bagi peradilan konstitusi Indonesia. Untuk itu, putusan MK tersebut patut juga untuk disyukuri sebab jika tidak maka praktik buruk ini bisa mendapat legitimasi sehingga mungkin akan terus berulang dan merupakan hal yang sangat memalukan dalam catatan perumusan undang-undang di Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar