Report
(Diajukann kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia-KOMNAS HAM)
Oleh:
Fadli Noch & Mohammad Nasir
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Kegiatan
Tujuan kegiatan ini adalah mengumpulkan fakta-fakta lapangan sebagai bagian analisis dampak operasional perusahaan terhadap pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak ECOSOC.
C. Indikator Keluaran (Output)
Keluaran (outpu) kegiatan ini adalah kajian analisis
dampak perusahaan terhadap pemenuhan hak asasi manusia.
D. Indikator Sasaran (Outcome)
Sedang sasaran (outcome) kegiatan ini adalah mendapatkan hasil kajian dan analisis dampak sosial dan ekonomi terhadap pemenuhan hak asasi manusia sebagai referensi penyusunan rekomendasi Komnas HAM kepada DPR dan Presiden.
E. Metodologi
Penggalian data dan informasi dalam kegiatan ini menggunakan metode Focus Groups Discussion (FGD) dan Penijauan Lapangan. FGD dilakukan melalui pertemuan antara Tim Komnas HAM dengan Masyarakat KM 5 Desa Semangko Kecamatan Marangkayu yang terkena kasus dengan VICO Indonesia. Peninjauan lapangan dilakukan dengan melihat bukti-bukti sawah yang rusak dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas VICO Indonesia.
F. Pelaksanaan Kegiatan
Mediasi dengan Masyarakat Desa Semangko KM. 5 dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober – 02 November 2009.
1. Ridha Saleh (Wakil Ketua Komnas HAM)
2. Andrie Wahyu Cahyadi (Komnas HAM)
3. Imelda Saragih (Komnas HAM)
4. Ely Dinayanti (Komnas HAM)
5. Fadli (IHSA Kaltim)
6. Muhammad Nasir (IHSA Kaltim)
TEMUAN KASUS
A. Gambaran Umum Desa Semangko KM. 5
Secara administratif Desa Semangko KM 5 terletak di Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kertanegara Propinsi Kalimantan Timur. Walaupun termasuk salah satu desa yang berada di Kabupaten Kutai Kertanegara namun aksesibilitas Desa Semangko lebih dekat dari Kota Bontang.
Kecamatan Marangkayu merupakan kecamatan hasil pemekaran dari Kecamatan Muara Badak. Desa Semangko pun merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Sebuntal. Pemekaran kecamatan dan desa terjadi sekitar 10 tahun yang lalu. Desa Semangko merupakan desa yang bersebelahan dan sekaligus berbatasan langsung dengan Desa Sebuntal. Kedua desa ini hanya dibatasi oleh jalan semen dan dapat dilalui kendaraan roda empat. Desa Semangko dapat ditempuh dari Kota Bontang hanya dalam waktu ± 1 jam. Bandingkan waktu tempuh dari Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kertanegara menuju Desa Semangko yang menempuh waktu ± 3,5 jam.
Sarana jalan menuju Desa Semangko dalam kondisi baik dengan jalan beraspal (jalan Samarinda – Bontang) dan jalan cabang dari poros jalan Samarinda – Bontang menuju Desa Semangko adalah jalan semen. Kondisi alam Desa ini terdiri bukit-bukit dan lembah-lembah. Keadaan alamnya terutama rawa-rawa yang dapat dijadikan sawah termasuk tanah yang subur. Sawah masyarakat di desa ini dapat menghasilkan panen padi 2 kali dalam setahun. Secara umum kehidupan masyarakat di Desa Semangko bergantung dari pertanian. Sawah merupakan sumber utama untuk mendapatkan beras. Hasil panen umumnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun ada sebagian warga menjual hasil panen padi kepada sesama warga.
Selain padi, mereka juga bercocok tanam seperti sayur-sayuran dan berkebun. Tanaman jangka panjang adalah karet. Pada tahun-tahun sebelumnya masyarakat di desa ini menanam coklat/kakao. Namun, karena harga karet terus membaik di pasar lokal, lalu masyarakat beralih menanam karet. Baru sebagian masyarakat yang sudah bisa menyadap karet. Sebagian besar karet-karet masyarakat rata-rata masih berusia 2 tahun. Harga karet di desa sudah mencapai Rp 8.000 perkilogram.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat membuat sumur-sumur bor. Sedang fasilitas lainnya seperti sekolah dasar, puskesmas dan posyandu sudah tersedia secara memadai di desa ini.
1. Masyarakat Tinggal Menetap dan Membuat Sawah
Masyarakat Desa Semangko (dulu desa Sebuntal) umumnya berasal dari Sulawesi Selatan. Pada sekitar tahun 1971 mereka mulai menetap dan membuat sawah dari rawa-rawa yang dianggap cocok untuk dijadikan areal persawahan. Mereka datang dan meminta ijin kepala desa Sebuntal Daeng Masega untuk menetap dan membuat sawah-sawah yang masih masuk wilayah Desa Sebuntal. Setelah mendapat persetujuan dari kepala desa selanjutnya mereka mulai hidup menetap dengan membangun perkampungan. Perkampungan yang dulunya bernama Desa Sebuntal sekarang menjadi desa sendiri yaitu Desa Semangko. Setelah mereka menetap dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari lalu mereka menggarap sawah yang terletak di KM. 28. Terdapat sekitar 29 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal dan membangun areal persawahan di areal KM. 5.
2. Community Development VICO Indonesia
Selama beroparasi di Desa Semangko dan desa-desa lainnya, pihak VICO Indonesia telah memberikan bantuan kepada masyarakat dalam wilayah operasi perusahaan. Bantuan yang telah diberikan VICO Indonesia kepada masyarakat Semangko adalah membangun sarana jalan desa. Jalan ini memudahkan akses dari desa ke kota maupun akses antar desa. Selain membangun jalan, perusahaan juga mebangun Puskesmas dan Posyandu. Kedua sarana kesehatan ini memudahkan memudahkan masyarakat Semangko mendapatkan pelayanan kesehatan.
Sementara dalam meningkatkan pendidikan anak-anak desa Semangko, pihak perusahaan juga telah memberi bantuan berupa membangun fasilitas sekolah dasar. Masih di bidang pendidikan, masyarakat Semangko juga mendapatkan bantuan biaya pendidikan misalnya beasiswa dari perusahaan. Di sector pertanian pihak perusahaan telah memberikan bantuan tenaga peyuluh pertanian. Penyuluh pertanian bertugas memberi bimbingan teknis pertanian terutama penyuluhan padi sawah.
3. Masuknya Perusahaan VICO Indonesia
VICO Indonesai (sebelumnya dikenal dengan nama HUFFCO) mulai beroparasi di kecamatan Muara Badak dan Marangkayu sejak tahun 1983. Areal konsesi VICO Indonesia saat ini diantaranya berada dalam wilayah kedua kecamatan ini.
B. Proyek Pipa dan Jalan VICO Indonesia.
Perusahaan VICO Indonesia mulai beropasi membangun pipa (pipeline) dan jalan pada tahun 1983/1984. Pipa dibangun mulai dari Pos Badak menuju Bontang sepanjang ± 50 km. Pipa berfungsi untuk mengalirkan gas dari sumur-sumur gas ke pabrik pengolahan gas di Bontang. Sedangkan jalan berfungsi untuk aksesibitas perusahaan VICO Indonesia dalam merawat dan memelihara pipa.
Pipa dan jalan tersebut berada dalam wilayah Desa Semangko/Sebuntal. Dari kacamata perusahaan desa ini masuk dalam konsesi perusahaan VICO Indonesia. Di beberapa tempat terdapat pos penjagaan seperti pos di KM. 28. Tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya. Hanya orang yang telah mendapat ijin perusahaan yang dapat masuk ke dalam wilayah penjagaan perusahaan.
Dalam proses pengerjaannya, VICO Indonesia menggunakan alat berat berupa dozer dan eskavator. Alat berat tersebut digunakan untuk menggali lubag pipa dan membuat badan jalan. Lubang untuk menanam pipa dalam tanah digali menggunakan eskavator dengan kedalaman kira-kira 1 ½ hingga 2 meter. Selanjutnya pipa dimasukkan ke dalam lubang kemudian ditimbun kembali dengan tanah. Banyaknya pipa yang ditanam sekitar 5 hingga 6 pipa.
Di kiri dan kanan jalan merupakan tempat/jalur pipa dari Pos Badak menuju Bontang. Adapun lebar badan jalan yang dibangun perusahaan ± 6 Meter sepanjang Pos Badak menuju Bontang. Dalam membangun proyek pipa dan jalan perusahaan membebaskan lahan dengan lebar ± 100 Meter sepanjang Pos Badak menuju Bontang. Lahan selebar ± 100 itu digunakan untuk menanam pipa di kiri kanan jalan dan membuat badan jalan.
C. Kerusakan sawah
Hasil diskusi dengan masyarakat sawah KM. 5 Desa Semangko dan peninjuan ke lapangan terutama areal yang sawah kami melihat memang benar ada sawah yang rusak berat (tidak dapat berproduksi lagi) seluas ± 10 hektar. Sedang sawah dalam kondisi tidak/kurang produktif seluas ± 60 hektar. Sehingga total sawah yang rusak ± 70 hektar. Menurut penjelasan Muchran, ketua kelompok ganti rugi lahan sawah bahwa ada 2 lokasi sawah yaitu di KM. 28 dan KM. 5. Sawah warga yang rusak berat terjadi di lokasi KM. 28. Sedang sawah yang kurang produktif terjadi di lokasi KM. 5 Desa Semangko. Jumlah Kepala Kelurga pemilik sawah yang rusak dan kurang produktif ini ± 27 Kepala Kelurga (KK). Jumlah KK ini lah yang menuntut agar perusahaan mengganti kerugian atas rusaknya sawah masyarakat di KM. 28.
Penyebab utama rusaknya sawah adalah akibat aktifitas VICO Indonesia dalam membangun pipa dan jalan yang dikerjakan pada tahun 1983/1984. Dalam membangun pipa dan jalan tersebut, VICO Indonesia menggunakan alat berat. Akibatnya, tanah-tanah sisa timbunan pipa dan jalan bila terjadi hujan akan mengalir terbawa air hujan (terjadi erosi).
Air hujan yang membawa pasir dan tanah tersebut lalu mengalir ke sawah-sawah warga. Akibatnya sawah warga menjadi tertimbun pasir dan tanah sisa timbunan pipa dan jalan. Karena terjadi erosi berulang-berulang setiap kali terjadi hujan maka sawah menjadi tertutup oleh pasir dan tanah yang terbawa air hujan. Sawah tersebut tertimbun pasir dan tanah hingga mencapai ketinggian kira-kira 2 meter. Akibat sawah tertimbun pasir dan tanah sehingga sawah menjadi rusak berat dan tidak dapat berproduksi lagi hingga sekarang. Erosi ini tidak hanya melanda sawah di lokasi KM 28 tetapi terus mengalir ke sawah-sawah warga di lokasi di KM 5. Adapun sawah di lokasi KM, 5 setelah kejadian ini menjadi kurang produktif lagi dan hasil panen menurun dibandingkan sebelum terjadinya erosi.
Menurut keterangan warga pemilik sawah, setiap KK rata-rata memiliki 2 hektar sawah. Sebelum terjadinya kerusakan sawah akibat aktifitas pembangunan pipa dan jalan kondisi tanah (sawah) dalam keadaan subur. Dalam 1 hektar sawah warga dapat menghasilkan panen sebanyak 2,5 – 3 Ton padi. Dalam satu tahun sawah-sawah tersebut rata-rata 2 (dua) kali panen.
Masyarakat Desa Semangko mulai menggarap sawah sejak tahun 1978. Penggarapan sawah dilakukan secara bertahap. Artinya setiap Kepala Keluarga yang saat ini sawahnya rusak dan kurang produktif lagi tidak secara bersama-sama dalam waktu bersamaan menggarap sawah. Tetapi awalnya hanya beberapa kepala keluarga dan pada waktu berikutnya ada beberapa keluarga lagi yang menggarap sawah. Hingga akhirnya keseluruhan kepala kelurga berjumlah sekitar 27 KK.
D. Kerusakan lingkungan
Hasil diskusi dan peninjauan lapangan telah terjadi kerusakan lingkungan berupa perubahan bentang alam dan musibah banjir di Desa Semangko. Perubahan bentang alam terjadi karena dalam membangun pipa dan jalan pihak perusahaan menggunakan alat berat untuk membuat badan jalan dan menggali lubang-lubang untuk, menanam pipa. Pada titik-titik tertentu, pihak perusahaan membuat gorong-gorong dibawah badan jalan untuk mengalirkan air dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Pada lokasi yang kami tinjau terlihat adanya perubahan bentang alam berupa perubahan kondisi dari yang sebelumnya rawa menjadi kubangan danau kecil yang berisi air yang sangat keruh. Di lokasi yang kami kunjungi terdapat sungai-sungai kecil buatan untuk mengalirkan air dari kubangan danau dimana sebelumnya sungai tersebut tidak ada. Tujuannya adalah supaya air hujan tidak menggenangi badan jalan.
Musibah banjir terjadi karena setiap kali hujan deras. Ketinggian banjir bisa mencapai 1 Meter dari tanah di sekitar rumah warga. Bahkan pada saat-saat tertentu banjir bisa menggenangi jalan semen yang letaknya cukup tinggi dari dari tanah. Kejadian banjir dialami warga sepanjang tahun setiap terjadi hujan lebat. Musibah banjir bisa menggenangi jalan, sawah-sawah warga Desa Semangko/Desa Sebuntal dalam waktu satu minggu. Jika banjir terlalu lama misalnya lebih dari satu minggu menggenangi sawah warga dapat berakibat padi yang sudah siap panen menjadi gagal panen. Bila terjadi banjir misalnya di KM. 25, air akan menggenangi badan jalan hingga ketinggian ± 1 meter. Akibatnya akfititas ekonomi dan sosial masyarakat terganggu. Dengan adanya banjir tersebut jalan menjadi tidak dapat dilalui oleh kendaraan termasuk kendaraan operasional perusahaan. Pasca banjir akan terjadi jalan-jalan dan pekarangan rumah warga tergenang lumpur. Juga bisa berakibat rusaknya bibit padi dan tanaman sayur-sayuran menjadi tidak bisa dimanfaatkan.
E. Dampak Ekonomi
Rusaknya sawah-sawah warga di Desa Semangko berakibat langsung kepada pekerjaan dan pendapatan masyarakat. Menurut keterangan warga, setelah sawah rusak dan tidak/kurang produktif sebagian warga beralih profesi untuk bertahan dan menyambung hidup. Ada sebagian warga ada yang menjadi nelayan, ada sebagian warga yang menjadi tukang ojek. Sebagian lagi ada yang menjadi buruh/kuli bangunan ke kota seperti Samarinda dan Bontang. Sebagian menjadi penyadap karet upahan. Dan sebagian lagi yang tidak memiliki keterampilan selain bertani tetap bertani dengan membeli sawah baru (bagi warga yang mampu) atau membuka lahan dan membuat sawah baru di lokasi yang agak jauh dari kampung. Yang pasti, setelah sawah rusak dan kurang produktif mereka harus mencari penghasilan baru karena tidak dapat lagi mengandalkan sawah yang sudah rusak.
Padahal, sebelum sawah rusak, mereka dapat bekerja dengan tenang dalam bercocok tanam, kopi, coklat, sayur-sayuran dan menggarap sawah. Rusaknya sawah berdampak langsung dengan hilangnya sumber mata pencaharian mereka yaitu menggarap sawah sebagai penghasilan utama masyarakat.
Masyarakat mulai meninggalkan sawah yang rusak dan tidak produktif lagi setelah 3 - 4 tahun proyek pipa dan jalan yaitu sekitar tahun 1986. Sejak itu, masyarakat harus menyesuaikan dengan pekerjaan yang baru dari sebelumnya sebagai penggarap sawah milik sendiri.
1. Tidak ada sosialisasi dari pihak perusahaan
Menurut keterangan warga, dalam melakukan pembangunan pipa dan jalan dari Pos Badak menuju Bontang pihak perusahaan tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang lahannya dilalui oleh proyek pembangunan pipa dan jalan. Sehingga masyarakat tidak mengetahui dampak-dampak yang diakibatkan oleh aktifitas proyek tersebut. Masyarakat hanya bisa menyaksikan kejadi bahwa sawahnya sudah rusak dan tidak produktif, terjadi banjir, dsb. setelah proyek pembangunan pipa dan jalan selesai.
2. Masyarakat tidak mendapat ganti rugi lahan
Dalam pembangunan proyek pipa dan jalan sepanjang Pos Badak menuju Bontang dengan lebar ± 100 Meter dan panjang jalan ± 50 meter, lahan masyarakat yang terkena proyek tidak mendapat ganti rugi lahan. Yang pernah dilakukan adalah dialog di Kampung Makasar (salah satu desa di Kec. Marangkayu). Pertemuan ini membahas ganti rugi tanam tumbuh masyarakat yang lahannya terkena pembangunan proyek pipa dan jalan.
3. Masyarakat tidak terlibat dalam Poroses Pengambilan Keputusan
Dalam proses penyelesaian kasus ini, masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga masyarakat selalu keberatan dengan hasil keputusan yang dibuat. Salah satunya keberatan warga terhadap hasil investigasi tim yang dibentuk oleh Pemerintah Paerah Kabupaten Kutai Kertanegara. Pada sekitar tahun 2005 Pemkab. Kutai Kertanegara membentuk tim yang terdiri dari beberapa instansi pemkab seperti Bapeldalda Kab. Kutai Kertanegara, Dinas Pertanian Kab. Kutai Kertanegara, Bagian Hukum Pemkab. Kutai Kertanegara dan lain-lain.
Masyarakat merasa hasil keputusan tim yang dibentuk oleh pemerintah daerah berat sebelah yaitu berpihak kepada perusahaan. Sehingga hasil keputusan selalu tidak memuaskan masyarakat. Hal ini berakibat pada proses diantaranya penyelesaian kasus ini menghabiskan waktu yang panjang. Proses penyelesaian kasus dimulai sekitar tahun 2000 dan hingga kini belum selesai.
Dalam menyelesaikan kasus ini, masyarakat hanya dimintai keterangan-keterangan mengenai kejadian di lapangan. Ketika masyarakat mengajak tim bentukan pemerintah daerah meninjau lokasi sawah yang rusak, anggota tidak bersedia meninjau lokasi kejadian. Hal ini masyarakat kecewa kepada tim dan diduga tidak objektif dalam memberikan penilaian menyeluruh terhadap kasus ini.
4. Warga yang bekerja di Perusahaan
Dari dokumen yang ada dan keterangan masyarakat bahwa masyarakat yang bekerja di perusahaan hanya sebagian kecil saja.
G. Dampak Kesehatan
Dari informasi yang dikumpulkan, bahwa belum sampai terjadi gangguan kesehatan terhadap warga akibat dari pembangunan pipa dan jalan dari Pos Badak menuju Bontang.
ANALISA KASUS
A. Sisi Ekonomi: Hilangnya sumber pendapatan pokok warga
Menggarap sawah bagi masyarakat Desa Semangko merupakan pekerjaan utama. Bagi sekitar 27 Kepala Keluarga (KK) Desa Semangko dan lokasi sawah terletak di KM. 28 dan KM.5 pekerjaan menggarap sawah sudah dilakukan sejak tahun 1978. Masing-masing KK rata-fata memiliki sawah seluas 2. Setiap hektar lahan sawah dapat menghasilkan padi 2,5 hingga 3 ton. Setiap tahun sawah dapat menghasilkan panen sebanyak 2 kali. Hal ini karena sawah yang digarap warga termasuk tanah yang subur.
Lima tahun kemudian tepatnya sekitar tahun 1983/1984 sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, masuk ke dalam wilayah desa masyarakat Semangko – (sekitar sepuluh tahun yang lalu Desa Sebuntal dimekarkan menjadi dua desa yakni Desa Sebuntal dan Desa Semangko) yang terletak di Kecamatan Marangkayu (merupakan hasil pemekaran Kecamatan Muara Badak) Kabupaten Kutai Kertanegara. Perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas itu setelah berganti nama sekarang menjadi VICO Indonesia. Kecamatan Marangkayu merupakan salah satu dari beberapa kecamatan di Kabupaten Kutai Kertanegara yang merupakan sumber gas dan minyak bumi. Desa Marangkayu adalah salah satu desa yang menghasilkan gas alam bagi kebutuhan gas alam nasional maupun dunia.
Di desa Semangko/Sebuntal terdapat sumur-sumur gas yang menurut kacamata perusahaan wilayah Desa Semangko/Sebuntal merupakan wilayah konsesi perusahaan VICO Indonesia. Untuk memudahkan mengalirkan gas ke tempat pengolahan gas di Bontang maka pihak perusahaan membangun proyek pipa gas alam dan jalan dari Pos Badak menuju Bontang. Proyek pembangunan pipa dan jalan di desa Semangko dimulai tahun 1983/1984. Tanpa ada pemberitahuan dan sosialisi kepada warga desa, perusahaan dengan menggunakan kontraktor proyek pembangunan pipa dan jalan lalu membuka lahan untuk dilalui pipa dan membuat jalan. Proyek pembangunan pipa dan jalan ini salah satunya melalui lahan warga Semangko/Sebunta KM.28l. Lahan yang dibutukan dalam proyek ini adalah sepanjang Pos Badak menuju Bontang dengan panjang 50 KM dengan lebar lahan ± 100 Meter.
Lahan sepanjang 50 K dan lebar ± 100 Meter digunakan untuk menanam pipa dan membuat jalan. Pipa berfungsi mengalirkan gas dari sumur-sumur gas menuju tempat pengolahan di Bontang dan jalan berfungsi sebagai akses untuk merawat (maintenance) pipa dan operasionalisasi perusahaan di lapangan. Salah satu lahan yang terkena proyek pembangunan pipa jalan adalah lokasi di KM 28 yang dekat dengan lahan persawahan masyarakat. Pembangunan pipa dan jalan menggunakan alat berat eskavator dan dozer. Akibat penggalian lahan untuk menanam pipa dan meratakan tanah untuk membuat badan jalan maka areal sekitar lokasi proyek terjadi erosi tanah. Bila kemarau tanah menjadi kering dan pada musim hujan tiba pasir dan tanah terbawa air hujan dan mengalir ke sawah, warga di KM 28 dan KM 5.
Karena erosi tanah dan pasir terjadi terus menerus mengakibatkan sawah warga di KM. 28 dan KM. 5 menjadi tertimbun tanah dan pasir. Kerusakan sawah terparah terjadi di KM. 28. Tanah dan pasir menutupi sawah. Luas sawah di KM 28 ± 10 hektar. Karena sawah tertimbun tanah sehingga mengakibatkan sawah tidak bisa ditanami padi lagi. Sawah mulai tidak produktif lagi sejak sekitar 1986, kurang lebih tiga tahun setelah proyek pembangunan pipa dan jalan selesai. Sejak itu sawah warga tidak bisa berproduksi lagi dan akhirnya ditinggalkan oleh masyarakat. Tinjuan tim Komnas HAM ke lapangan di lahan di KM. 28 sudah menjadi tertutup tanah dan pasir. Hanya ada bekas-bekas sawah masyarakat. Lokasi KM.28 menjadi semak belukar yang tidak dapat ditanami lagi dalam jangka waktu yang lama.
Erosi tanah dan pasir mengalir sampai ke KM. 5 dan lagi-lagi masuk ke areal persawahan warga. Erosi tanah dan pasir di KM. 5 tidak separah di KM. 28. Namun areal sawah di lokasi ini menjadi tidak/kurang produktif lagi. Kalaupun beberapa areal sawah bisa ditanami namun hasilnya tidak sebanyak sebelum terjadi erosi. Adapun luas tanah yang tidak/kurang produktif yang terletak di KM. 5 Desa Semangko seluas 60 hektar. Sehingga luas seluruh lahan sawah yang rusak berat dan tidak produktif berjumlah sekitar 70 hektar. Lahan inilah yang menjadi tuntutan warga Desa Semangko untuk mendapatkan ganti rugi kepada perusahaan VICO Indonesia.
Keterangan:
Dalam 1 galian pipa terdapat ± 5 - 6 pipa
Lebar badan jalan ± 6 Meter
Pembebasan lahan di kiri kanan badan jalan ± 5 – 47 Meter.
Panjang jalan dari Pos Badak menuju Bontang ± 50 KM.
B. Kerugian material lahan persawahan dan hasil panen
1. Kerugian lahan sawah
Akibat erosi yang disebabkan oleh proyek pembangunan pipa dan badan jalan, sekitar 27 warga kehilangan lahan sawah, Total luas sawah yang rusak dan tidak produktif lagi seluas ± 70. Hektar. Kerugian material warga pemilik sawah dapat ditaksir secara sederhana dengan asumsi harga 1 hektar lahan sawah pada tahun 1986 ± Rp 300.000 per hektar. Bila diproyeksikan selama 25 tahun (1984 – 2009) dengan menggunakan metode penghitungan nilai saat ini yaitu tahun 2009 (Present Value) maka diperoleh nilai saat ini sebagai berikutt:
Rumus nilai saat ini PV = lo + (lo+i)^n
• lo =Nilai lahan (1984)
• i =interest (bunga)
• n = jumlah tahun
Dari informasi warga yang terkena dampak proyek pipa dan jalan diperoleh informasi sbb:
• Nilai lahan tahun 1984 = Rp 300.000 per hektar
• Bunga = 15%
• Jumlah tahun yakni 1984 ke 2009 = 25 tahun
• Luas sawah yang rusak/kurang produktif = 70 ha.
Dengan menggunakan asumsi di atas maka nilai lahan saat ini adalah: Nilai lahan pada tahun 1984 = Rp 300.000/ha x 70 ha = Rp 21.000.000. Dengan demikian nilai lahan Rp 21 juta pada tahun 1984 bila dsetarakan pada tahun 2009 menjadi:
PV = 21.000.000 x (1 + 15%)^25
= Rp. 691.298.005
Sehingga nilai lahan sawah Rp 21.000.000 pada tahun 1984 itu sama dengan Rp 691.298.000 pada tahun 2009.
2. Kerugian material panen padi.
Berdasarkan informasi dari warga dimana sawahnya sudah rusak akibat aktifitas perusahaan diperoleh keterangan bahwa setiap hektar sawah menghasilkan 2,5 – 3 Ton padi. Setiap tahun sawah berproduksi 2 kali panen. Sedang harga gabah pada tahun 1984 adalah sekitar Rp 500 perkilogram. Taksiran kerugian panen padi dalam satu tahun adalah sbb:
Asumsi:
− Total luas sawah yang tidak berproduksi: 70 ha
− Hasil setiap kali panen: 2500 – 3000 kg per ha (tengah: 2750).
− Panen padi: 2 kali setahun
− Harga gabah pada tahun 1984 Rp 500 per kg
Maka taksiran kerugian material tidak dapat panen padi adalah sbb:
= 70 ha x 2750 kg x 2 kali/th x Rp 500/kg
= Rp 192.500.000 (total nilai panen tahun 1984)
Dengan menggunakan rumus yang sama dengan di atas (point B.1.) maka nilai kerugian panen pada tahun 1984 untuk 70 ha sawah sebesar Rp 192.500.000 bila disetarakan pada tahun 2009 menjadi:
=192.500.000 *(1+15%)^25
= Rp 6.336.898.379 ≈ Rp 6.336.898.000
Dengan demikian nilai kerugian pada sawah seluas 70 ha pada tahun 1984 sebesar Rp 192.500.000 sama dengan Rp 6.336.898.000 pada tahun 2009. Sehingga total kerugian lahan dan panen warga Desa Semangko KM. 5/KM. 28 bila mempertimbangkan nilai saat ini menjadi:
= Rp 691.298.000 + Rp 6.336.898.000
= Rp 7.028.196.000
Jadi Total kerugian lahan sawah dan panen adalah: Rp 7.028.196.000 (Tujuh milyar dua puluh delapan juta seratus Sembilan puluh enam ribu rupiah)
C. Kerusakan Lingkungan
Proyek pembangunan pipa dan jalan sepanjang Pos Badak – Bontang telah berdampak kepada kerusakan sawah warga dan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi misalnya Desa Semangko adalah musibah banjir dan perubahan bentang alam.
Musibah banjir dialami oleh Warga Desa Semangko/Sebuntal. Setiap kali terjadi hujan deras. Desa menjadi tergenang air hingga ketinggian ± 1 Meter dari permukaan tanah. Bila banjir melanda, sekitar 1 minggu desa tergenang air. Akibat banjir akfititas ekonomi dan sosial masyarakat menjadi terganggu. Jalan yang biasanya dapat dilalui kendaraan menjadi tidak dapat dilalui kendaraan. Sawah-sawah warga menjadi terancam gagal panen. Dan pada saat banjir masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih bagi warga yang mengandalkan air sumur galian sebagai sumber air bersih. Akibat banjir pula, warga mengaku menemui kesulitan untuk melakukan pemeliharaan ternak-ternak di tempat yang biasa dijadikan lokasi makanan ternak menjadi terganggu.
2. Perubahan bentang alam
Perubahan bentang alam terjadi karena pengerjaan proyek dilakukan dengan menggunakan alat berat. Alat berat digunakan untuk menggali lubang dan membuat badan jalan. Akibatnya, bila kemarau tanah menjadi kering dan pada musim hujan terjadilah erosi. Tanah-tanah dan pasir terbawa air hujan dan sebagian masuk ke areal sawah warga. Karena kejadian ini terjadi secara terus-menerus akhirnya sawah tertimbun pasir dan menjadi tidak produktif lagi. Karena strukttur geogragis di Kalimantan Timur umumnya berbukit-bukit. Pertimbangan warga Desa Semangko dengan sengaja memilih lahan rawa (rapak) untuk dijadikan areal persawahan. Lahan rawa (rapak) dipilih oleh masyarakat terlihat sebagai areal persawahan biasa dilihat pada banyak tempat di Kalimantam Timur. Umumnya masyarakat Kalimantan Timur memilih lahan rawa (rapak) menjadi areal persawahan.
Pertimbangan warga menjadikan rawa (rapak) menjadi areal persawahan selain tanahnya yang cocok untuk menanam padi sawah juga karena rapak merupakan tempat penampungan air hujan secara alami. Air hujan mengalir dari bukit-bukit sekitarnya ke rawa/rapak. Itu sebabnya mengapa umumnya masyarakat Kaltim menjadikan rawa menjadi areal persawahan. Tetapi tidak semua rawa bisa digunakan untuk areal persawahan. Biasanya masyarakat memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu memilih rawa/rapak sebagai areal persawahan. Sementara lahan berbukit-bukit biasanya ditanami dengan padi gunung, sayur-sayuran atau tanaman jangka panjang seperti karet, kopi dan coklat. Namun, dalam pembangunan pipa dan jalan yang dilakukan perusahaan melalui bukit dan rawa. Pembangunan tersebut berdampak menimbulkan erosi. Dan erosi membawa partikel-pertikel tanah dan pasir bersama air dan salah satunya mengalir ke areal persawahan warga di lokasi KM. 28 dan KM. 5. Dari tinjauan kami ke tempat kejadian di KM. 28, areal bekas pembangunan pipa dan jalan menjadi agak tandus. Secara kasat mata terlihat di sekitar galian pipa dan jalan menjadi lahan tumbuhnya semak belukar. Bila dilakukan reklamasi akan butuh waktu yang panjang. Berikut ini rekontruksi perusakan lingkungan akibat perubahan bentang alam yang terjadi akibat proyek ini. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
D. Dampak kerugian sosial
Dampak-dampak kerugian social yang dialami warga diantaranya tidak memiliki pekerjaan yang menetap, diduga terjadi diskriminasi dan ketidakadilan dalam penyelesaian kasus, warga tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak/kurang memberi kesempatan bekerja di perusahaan.
1. Warga tidak memiliki pekerjaan tetap
Proyek pembangunan pipa dan jalan dari Pos Badak menuju Bontang pun mengakibatkan dampak-dampak social yang merugikan masyarakat. Karena sawah di KM. 5 dan KM.28 sudah tidak berproduksi lagi, warga pemilik lahan di dua lokasi tersebut tidak bisa bekerja sebagai petani sawah secara tetap seperti sebelumnya. Mereka banyak yang beralih pekerjaan. Sebagian ada yang menjadi kuli bangunan di kota. Sebagian menjadi tukang ojek. Sebagian menjadi penyadap karet upahan. Sebagian lagi menjadi nelayan. Ada pula yang tetap menggarap sawah dimana lahan sawah didapat dari membeli lahan dari tetangga/kerabat dekat atau memhuka lahan baru yang letaknya agak jauh dari kampung.
Bagi yang beralih pekerjaan misalnya menjadi kuli bangunan atau tukang ojek penghasilan mereka menjadi tidak teratur. Mereka merasa sejak sawahnya tidak berproduksi harus lebih bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Penghasilan mereka saat mereka masih menggarap sawah dengan pekerjaan yang baru terasa menurun.
2. Ada indikasi terrjadi Diskriminasi dan Ketidakadilan
Dalam penyelesaian kasus kerusakan sawah, masyarakat Desa Semangko KM 5 merasa terjadi diskriminasi dan ketidakadilan yang dilakukan pihak perusahaan. Sampai saat ini warga pemilik sawah KM. 5 dan KM. 28 belum mendapat ganti rugi lahan sedikitpun. Namun, masyarakat KM. 10 sudah mendapat ganti rugi lahan dengan total ganti rugi sekitar 8 milyar, dimana 2 milyar berupa uang tunai dan sisanya dalam bentuk bantuan-bantuan lain. Ditambahkan oleh salah seorang warga, kerusakan sawah yang terjadi di KM. 10 tidak separah yang terjadi di KM. 5 dan KM. 28.
Hal inilah yang memicu kekecewaan warga, terhadap perusahaan bahwa perusahaan melakukan tindakan diskriminasi dan tidak adil dalam menangaji kasus ini. Padahal, kata warga, kami ini warga Negara Indonesia yang mempunyai hak sama dan dilindungi oleh Undang-Undang Negara ini. Salah satu Undang-udang yang disebut warga adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
3. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan
Selama proses penyelesaian kasus sejak sekitar tahun 2000 yang difasilitasi oleh pemerintah daerah hingga sekarang, Dalam proses penyelesaian masalah warga merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam proses penyelesaian kasus antara masyarakat Desa Semangko dengan perusahaan telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Proses penyelesaian kasus dimulai sekitar tahun 2000 hingga ini belum tuntas. Mediasi telah dilakukan dari tingkat desa, pemerintah kecamatan, Pemkab Kabupaten Kutai Kertanegara dan Provinsi tidak menemukan titik temu penyelesaian masalah.
Menjadi pertanyaan besar kita semua ada apa dibalik semua ini? Dari sisi masyarakat bahwa mereka terus berjuang mencari keadilan. Selama ini, proses-proses penyelesaian kasus tidak memberikan rasa keadilan bagi warga dan diduga terjadi diskriminasi dalam pelenyesaian. Segala tenaga, biaya, pikiran dan sumberdaya yang lain telah mereka habiskan. Warga akan terus mencari keadilan yang mereka yakini akan mereka dapatkan. Untuk itu, perlu memberikan kesempatan kepada warga mendapatkan rasa adil itu.
4. Warga tidak mendapat kesempatan bekerja
Hadirnya perusahaan di tengah-tengah masyarakat juga dirasakan oleh warga yang tidak/kurang memberi kesempatan bekerja di perusahaan. Hanya sebagin kecil warga yang bekerja di perusahaan. Hal ini berpengaruh kepada berkurangnya pendapatan masyarakat dengan hadirnya perusahaan. Seharusnya dengan datangnya perusahaan pendapatan warga sekita mereka menjadi meningkat dan kesejahteraan masyarakat makin membaik. Hal ini berarti dengan masuknya perusahaan kurang memberi pengaruh besar terhadap perekonomian dan peningkatan kesejahteraan warga sekitar perusahaan. Sejatinya dengan hadirnya perusahaan mestinya terjadi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan hidup mereka.
1. Proyek pembangunan pipa dan jalan oleh VICO Indonesia di Desa Semangko sepanjang Pos Badak menuju Bontang telah berkontribusi langsung terhadap rusaknya sawah-sawah warga yang terletak di KM. 28 dan KM. 5.
2. Sawah warga yang rusak/tidak produktif seluas 70 hektar yang dmiliki oleh 27 Kepala Keluarga (KK) telah mengganggu sumber mata pencaharian utama (pokok) masyarakaat. Akibatnya masyarakat kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Sebelumnya dari lahan sawah tersebut warga dapat menghasilkan padi 3 hingga 5 Ton dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga selama lebih dari 1 tahun.
3. Kerugian lahan sawah seluas 70 hektar akibat langsung dari aktifitas proyek ini mencapai Rp 691.298.000 (2009). Sementara kerugian panen padi akibat sawah tidak produktif lagi dengan nilai saat (2009) ini mencapai Rp 6.336.898.379. Sehingga nilai total kerugian lahan dan sawah tidak produktif yang dialami warga sebesar Rp 7.028.196.000.
4. Akibat akftifas proyek ini telah terjadi banjir tahunan setiap hujan deras datang. Banjir tersebut bisa menggenani desa sampai 1 minggu dengan ketinggian air sekitar 1 Meter dari permukaan tanah. Akibat banjir ini aktifitas sosial ekonomi masyarakat menjadi terganggu. Sebagian lahan sawah terendam banjir sehingga warga terancam gagal panen.
5. Proyek pembangunan pipa dan jalan Pos Badak – Bontang telah mengubah sebagian bentang alam pada lokasi sekitar proyek. Telah terbentuk danau, sungai kecil buatan dan perubahan bentuk alam (perusakan lingkungan) akibat air hujan langsung jatuh ke permukaan tanah (terjadi erosi). Lahan-lahan sekitar proyek menjadi semak belukar dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk kembali kepada keadaan semula.
6. Seperti kejadian-kejadian serupa di tempat lain, karena pembangunan di masa orde baru tidak melibatkan warga sekitar yang akan terkena dampak proyek. Proyek ini pun tidak melakukan sosialisasi kepada warga dan tidak ada pemberitahuan mengenai penggunaan lahan untuk proyek terutama kepada warga pemilik lahan.
7. Dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan kasus antara masyarakat dan perusahaan selama ini masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Warga hanya dimintai keterangan-keterangan oleh tim yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Kab. Kutai Kertanegara.
8. Dalam penyelesaian kasus Warga Desa Semangko KM. 5 ada kesan perusahaan melakukan diskriminasi dan diduga terjadi ketidakadilan dalam penyelesaian kasus ini.
9. Selama ini perusahaan melalui program Community Development (COMDEV) sudah menjalankan kewajibannnya dimana telah memberi bantuan-bantuan kepada warga berupa pembangunan gedung sekolah, mendirikan posyandu/puskesmas, mendatangkan penyuluh pertanian, membangun jalan desa, memberi bantuan beasiswa, dsb.
B. Rekomendasi
1. Komnas HAM malakukan fasiltasi dan mediasi antara masyarakat Desa Semangko KM. 5 dengan jajaran direksi perusahaan VICO Indonesia (pengambil keputusan) untuk mendapatkan jalan keluar yang memberikan perasaan lega bagi kedua belah pihak (win win solution). Karena kasus ini telah berlangsung sangat lama sejak tahun 1983/1984 dan telah menempuh jalan panjang dalam menemukan jalan terbaik bagi keduanya mulai dari tingkat desa hingga menjadi masalah nasional.
2. Bila proses mediasi yang dilakukan oleh Komnas HAM tidak menghasilkan jalan yang memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa , diharapkan kepada Komnas HAM menempuh jalan berikutnya untuk membawa persoalan ini kepada DPRI RI sehingga menjadi persoalan politik nasional dalam kasus ini dimana di lapangan telah terjadi ketidakadilan dan dampak-dampak yang merugikan masyarakat seperti dampak lingkungan, sosial, ekonomi dan dampak lainnya akibat aktifitas perusahaan.
3. Masyarakat Desa Semangko hendaknya tidak melakukan kesepakatan hitam di atas putih apabila terjadi pertemuan dengan pihak perusahaan yang belum mereka pahami implikasinya dan atau mereka tidak setuju dengan keputusan-keputusan yang dibuat antara perusahaan dan masyarakat. Lebih baik masyarakat meminta waktu untuk mempertimbangkan hasil musyawarah dalam proses penyelesaian kasus ini.
4. Mengusulkan kepada masyarakat Desa Semangko untuk tidak terlalu bersikeras pada tuntutannya yang terlalu tinggi. Tetapi harus mendengar juga pendapat dari pihak perusahaan. Dan “melunakkan” tuntutannya dengan prinsip bahwa masyarakat mendapatkan konpensasi yang layak dan adil serta dapat hidup tenang setelah kasus ini selesai.
5. Untuk menjaga kelanggenan berinvestasi dalam jangka panjang,
sebaiknya perusahaan membangun komunikasi yang efektif dan dua arah kepada
warga sekitarnya terutama kepada warga-warga yang selama ini mengalami “marginalisasi”
oleh perusahaan. Bagi masyarakat di era keterbukaan seperti sekarang ini,
bantuan-bantuan yang bersifat fisik tidak cukup tetapi perusahaan juga perlu
membangun kebutuhan non materi dengan warga sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar