Selasa, 12 November 2019

GELOMBANG AKSI PROTES ATAS AKSI PEMBUATAN PRODUK HUKUM “BERMASALAH"

(Catatan Undang-undang Nomor 19 Tahuh 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

Oleh: Fadli


A.         PENDAHULUAN

Pada bulan September 2019 DPR RI mengesahkan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, pengesahan dilakukan dalam rapat Paripurna. Undang-undang tersebut merupakan hasil revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi tersebut kemudian menuai berbagai gelombang protes karena dilakukan menjelang berakhirnya masa bakti DPR periode 2014-2019 yang berakhir pada akhir September 2019.
Berbagai pihak, selain sangat terkejut dengan kelahiran revisi undang-undang KPK di atas yang terasa sangat tiba-tiba, lantas mempersoalkan proses penyusunan yang tidak transparan dan lebih-lebih lagi substansinya yang dianggap memperlemah keberadaan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada draf revisi undang-undang KPK DPR mengusulkan poin-poin: Pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK; penyadapan harus seizin tertulis dewan pengawas yang kemudian dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK; KPK berwenang mengeluarkan SP3 untuk penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam waktu paling lama satu tahun; seluruh pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN); KPK hanya boleh merekrut penyidik dari kepolisian; penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung; pelaporan LHKPN tak lagi di KPK melainkan di masing-masing instansi. 

Meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, pembahasan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tetap berjalan. DPR dan Pemerintah telah sepakat melakukan revisi. Adapun poin-poin revisi dalam UU KPK adalah:
1.   Pembentukan Dewan Pengawas oleh Presiden
Peraturan ini tertuang dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, Pasal 37G, Pasal 69A. Delapan pasal itu membahas Dewan Pengawas diangkat dan ditetapkan oleh presiden. Selain itu, dibahas juga jumlah anggota dewan pengawas yang berjumlah 5 orang, dengan masa jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal tersebut juga membahas kewenangan Dewan Pengawas dalam mengawasi tugas, menetapkan kode etik, hingga memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
2.   Kewenangan SP3 dan Penghentian Penuntutan
Kewenangan SP3 dan penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 40. Dalam pasal tersebut, disebutkan KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap suatu perkara jika tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut kembali apabila KPK menemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan.
3.   Penyadapan dan Penggeledahan Harus Seizin Dewan Pengawas
Peraturan ini tertuang dalam 4 pasal, yaitu Pasal 1 ayat 5, Pasal 12B, Pasal 12C, dan Pasal 12D. Dalam pasal-pasal tersebut, dijelaskan penyadapan dan penggeledahan baru dapat dilakukan jika penyidik mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Izin diberikan paling lama 1 x 24 jam terhitung sejak permintaan diajukan. Hasil penyadapan juga harus dilaporkan kepada pimpinan KPK secara berkala. Jika penyadapan telah selesai, maka harus dipertanggung jawabkan ke pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja, terhitung sejak penyadapan selesai dilaksanakan.
4.   Seluruh Pegawai KPK adalah ASN
Status pegawai KPK sebagai ASN diatur dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 24, Pasal 69B, dan Pasal 69C. Dalam pasal-pasal tersebut, dijelaskan bahwa pegawai KPK yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak revisi UU ini berlaku, dapat diangkat sebagai ASN selama memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Penyidik KPK Hanya Berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, atau ASN yang Diberi Kewenangan Penyidikan oleh UU
Hal tersebut diatur dalam Pasal 43 ayat 1 dan Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 45A ayat 2. Dalam pasal tersebut, dijelaskan penyidik KPK dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, penyidik ASN yang diberi kewenangan khusus oleh UU.
6.   Kedudukan KPK sebagai Lembaga dalam Rumpun Eksekutif
KPK sebagai lembaga dalam rumpun eksekutif dibahas dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3. Dalam pasal tersebut, disebutkan KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Adanya revisi undang-undang KPK ditengarai menghianati amanat reformasi yang melahirkan gagasan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
Beranjak dari persoalan di atas, salah satu agenda aksi yang mulai dilakukan adalah berkumpulnya Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi mulai mengagendakan diskusi-diskusi dan protes tentang pelemahan KPK, di ikuti dengan berbagai protes dari sejumlah Universitas, lembaga kajian dan Guru Besar dengan mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia yang pada intinya keberatan terhadap revisi UU KPK. Hal serupa juga dilakukan oleh Para Pimpinan KPK dan wadah kepegawaian KPK yang mengundurkan diri serta mengembalikan mandat kepada Presiden Joko Widodo. Puncaknya adalah dengan adanya gelombang aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Puluhan ribu mahasiswa memadati areal gedung DPR menuntut para wakil rakyat yang di akhir jabatannya seolah-olah berpacu untuk mengesahkan berbagai RUU. Gelombang protes mahasiswa tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi hampir sebagian besar di daerah-daerah. Seolah tak mau ketinggalan perlawanan terhadap pelemahan KPK tidak cukup disuarakan oleh kalangan mahasiswa yang turun ke jalan tetapi juga dilakukan oleh pelajar. 

B. BENARKAH REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI   PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERMASALAH?
Berangkat dari uraian di atas, muncul pertanyaan benarkah pengesahan revisi undang-undang KPK bermasalah? Untuk menjawab hal tersebut mari kita lihat sekilas, kira-kira bagian mana dari Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang bermasalah. Dalam tulisan ini ada beberapa pendekatan yang coba digunakan untuk melihat atau menguji apakah undang-undang tersebut bermasalah. Pertama dengan melihat landasan fundamental pengesahan undang-undang tersebut, kedua menguji terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, dan ketiga sekilas masalah proses yaitu kajian substansi dan kewenangan dalam revisi undang-undang tersebut.
1.   Landasan Fundamental Pengesahan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 
Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan pada bulan September 2019 dan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentunya dalam proses pembuatannya tidak boleh asal. Terdapat landasan hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang harus ditaati oleh pihak yang berwenang. Landasan utama dari Peraturan Perundang-undangan tentu mengacu pada Pancasila yang merupakan sumber segala sumber hukum negara[1]dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan[2] selaku konstitusi utama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada Pasal 22A UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dengan undang-undang. Kemudian Peraturan Perundang-undangan kembali dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara umum terdapat 3 (tiga) landasan hukum Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang utama. Adapun 3 landasan tersebut adalah landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Berikut landasan hukum pembentukan Peraturan Perundang-undangan selengkapnya.
a. Landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan filosofis apabila rumusannya ataupun normanya mendapatkan pembenaran setelah dikaji secara filosofis. Definisi landasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berupa pertimbangan pandangan hidup ini sesuai dengan cita-cita pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan, filsafat hidup bangsa serta kesusilaan.
b.  Landasan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu suatu peraturan perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan sosiologis bila sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat, tata nilai dan hukum yang hidup di masyarakat. Secara umum, landasan pembentukan peraturan perundang-undangan harus berkaitan dengan kondisi atau kenyataan yang ada supaya peraturan yang dibuat dapat dijalankan.
c. Landasan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan yuridis bila terdapat dasar hukum, legalitas atau landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Dalam landasan yuridis menekankan bahwa landasan pembentukan peraturan Perundang-undangan harus berkaitan dengan kondisi hukum di Indonesia.[3]
Pada konteks Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang saat ini telah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seharusnya memuat ketiga landasan yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis. Penulis beranggapan bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya memmuat Landasan “yuridis” saja artinya secara hukum pembentukan UU tersebut terpenuhi memiliki dasar hukum dan pembentukan undang-undang tersebut sah secara hukum karena dibentuk oleh lembaga dan pihak yang berwenang yaitu Legislatif dan eksekutif. Kemudian secara subjektif pembentukan undang-undang tersebut dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengatasi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Secara subtansi atau materi yang diatur perlu dibentuk undang-undang yang baru dengan beranggapan bahwa kurang lebih selama 17 tahun aturan Pemberantasan Korupsi harus di ubah dengan maksud untuk memperkuat, sebab saat ini dipandang sudah tidak relevan lagi, selain itu para pembuat undang-undang menganggap ada ketidak harmonisan atau tumpang tindih dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK sehingga perlu di revisi. Alasan-alasan subjektif tersebut yang oleh penulis telah memenuhi landasan yuridis, namun tidak demikian dengan landasan filosofis dan landasan sosiologis. 
Penulis beranggapan bahwa Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki landasan “Filosofis” sebagaimana yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 yaitu tidak mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia. Kita ketahui bersama bahwa korupsi merupakan musuh bersama yaitu musuh seluruh komponen anak bangsa yang menginginkan bahwa perbuatan korupsi harus diberantas dan dimusnakan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena merupakan perbuatan tercela, kejahatan luar biasa serta merupakan perbuatan yang tidak beradab. 
Salah satu Tokoh mengungkapkan bahwa korupsi adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan karena menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi menciptakan kemiskinan, penderitaan, dan penghinaan terhadap Pancasila. Dengan demikian jika seseorang melakukan korupsi maka sebenarnya yang bersangkutan sedang menghina Pancasila yaitu penghinaan terhadap sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi jika orang yang beriman maka seharusnya peduli terhadap mereka yang kecil, lemah, dan miskin. Tapi dengan korupsi berarti menggunakan kewenangannya atau menyalahgunakan kewenangannya untuk diri sendiri dan memiskinkan orang lain. Oleh karena itu orang yang tidak mencintai manusia sama halnya tidak mencintai Tuhannya. Jadi korupsi itu sebenarnya adalah orang yang tidak mencintai Tuhan. Jika Tuhan dicintai maka dia tidak akan menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri, golongan, atau kelompoknya. Karena itu melakukan korupsi berarti penghinaan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu Pancasila. Korupsi itu sederhananya orang yang sebenarnya menghina terhadap Tuhan-nya.[4]
Ada juga yang beranggapan bahwa mereka yang melakukan korupsi berarti bukan Pancasilais. Di dalam Pancasila sudah terkandung nilai-nilai yang sesuai dengan semangat anti korupsi. Misalnya pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak ada satu agamapun yang mengatakan bahwa korupsi iti diperbolehkan. Pada sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” keadilan tidak akan tercipta jika ada seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi, yang mengakibatkan rakyat menjadi miskin dan sulit untuk menempuh pendidikan atau sekolah, untuk akses terhadap kesehatan jika sakit pun akhirnya harus mengeluarkan biaya. Padahal, ada penelitian yang menyatakan jika tidak ada korupsi di Indonesia maka akses ke pendidikan dan kesehatan di Tanah Air bisa digratiskan. Untuk sila ketiga “Persatuan Indonesia” bahwa korupsi bisa menimbulkan perpecahan dengan adanya korupsi menimbulkan satu sama lain tidak kompak yang bisa juga mengakibatkan keributan satu sama lain dan menimbulkan perpecahan. Korupsi itu riil sangat berbahaya. Terkait sila keempat, bahwa korupsi bertentangan dengan prinsip musyawarah mufakat. Sila terakhir, keadilan sosial tidak akan tercapai jika ada korupsi. Jadi semua sila yang terkandung dalam Pancasila mengajarkan seseorang agar tidak berbuat korupsi dengan demikian jika ada orang yang melakukan korupsi sama halnya orang tersebut tidak Pancasilais.[5]
Maka dengan demikian apabila ada aturan yang dibuat justru memperlemah upaya pemberantasan korupsi wajar jika kemudian landasan filosofisnya dipertanyakan karena sama halnya tidak mengambil nilai-nilai falsafah yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Selain itu adanya aturan yang ditengarai memperlemah pemberantasan korupsi merupakan penghianat amanat reformasi yang melahirkan gagasan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
Lebih lanjut penulis berpendapat bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak memandatkan landasan sosiologis” hal ini dapat dibuktikan dengan terang benderang yaitu perubahan tersebut menimbulkan polemik, gelombang demonstrasi terjadi hampir diseluruh daerah. Polemik yang menyebabkan gelombang demonstrasi bukan tanpa alasan, dalilnya subtansi pasal dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengandung racun hukum, akibatnya sistem dalam tubuh KPK akan melemah. Sekedar contoh, penyadapan dengan izin dewan pengawas, alasan waktu selama 2 (dua) tahun dapat menghentikan penyidikan serta perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah alasan-alasan mengapa perubahan UU KPK yang lama ditolak. Intinya, publik mengkritik langkah gegabah pemerintah (Presiden dan DPR RI) dalam melakukan perubahan UU KPK yang lama. Dengan adanya penolakan berbagai tokoh baik dari kalangan akademisi, mahasiswa, pelajar, pakar, peneliti, masyarakat umum hingga pelaksana pemberantasan korupsi itu sendiri, menandakan bahwa landasan sosiologis dalam UU KPK yang baru bisa dikatakan tidak ada sebab UU KPK yang dibentuk tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat umum, tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dan bertentangan dengan tata nilai dan hukum yang hidup dimasyarakat, bertentangan dengan keinginan masyarakat pada umumnya dan itu artinya UU KPK bertentangan dengan keinginan masyarakat, maka tidak salah apabila penulis beranggapan bahwa UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.         Menguji Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lain
Untuk mengetahui apakah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bermasalah atau tidak maka salah satunya cara yaitu menguji dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain. 
a.  Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dianggap bertentangan dengan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 
Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ditengarai sebagai bentuk penghianat mandat reformasi, seolah-olah mengembalikan fungsi kekuasaan di zaman “Orde Baru” yaitu dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden dan DPR RI tidak berfungsinya lembaga yang memang diberi mandat untuk melakukan pemberantasan korupsi yakni KPK dengan tidak melibatkan institusi tersebut dalam penyusunan Revisi UU KPK. Serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Dalam konsideran Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme antara lain disebutkan “bahwa tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat berdaya guna dan berhasil guna. Bahwa dalam penyeIenggara negara telah terjadi praktik-­praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme”.
Selanjutnya Pasal 2 Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 menyebutkan ayat (1) Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Ayat (2) Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pasal 3 ayat (3) Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi. Pasal 4 upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden.
Demikian pula halnya dengan Tap MPR RI No. VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menitik beratkan bahwa permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga timbul desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme juga perlu komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang memerlukan langkah-langkah percepatan.
Lahirnya Tap MPR RI No. VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dimaksudkan untuk memperkuat tentang arah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sebelumnya sudah ada dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998, hal ini terlihat dengan jelas dalam rumusan pasal-pasalnya.[6] Tap MPR RI No. VII/MPR/2001 lebih lanjut melahirkan beberapa rekomendasi yang sangat penting dalam hal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2[7] Tap MPR RI No. VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dengan apa yang telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dan Tap MPR RI No. VII/MPR/2001, mengandung pesan yang tegas konsisten dalam pemberantasan korupsi terhadap siapapun juga. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut sebagaimana dimaksud pada konsiderannya dan pasal-pasal yang telah diuraikan di atas, maka seharusnya DPR RI dan Presiden terlebih dahulu melakukan pengkajian ulang dan singkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum akhirnya mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disinyalir mengandung pelemahan-pelemahan pada lembaga anti rasua tersebut.
b.   pelanggaran formil terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 
Dari hasil kajian sementara, proses perubahan kedua terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang saat ini telah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dianggap telah melanggar Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya terkait dengan Pasal 16 yang menyatakan bahwa Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas”[8] kemudian pada Pasal 20 ayat (2) menyatakan Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang, ayat (3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, ayat (4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan, ayat (5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. lebih lanjut Pasal 45 ayat (1) juga menerangkan bahwa “Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. Dari uraian ketiga pasal tersebut di atas menjelasakan ada hal-hal yang dikesampingkan pada saat Pembentukan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Kita ketahui bersama bahwa ketika masih menjadi suatu rancangan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 ini tidak termasuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2019. Padahal ke tiga pasal yang telah diuraikan di atas sangat jelas menyampaikan hal-hal yang harus dilakukan dalam pembuatan perundang-undangan, tahap-tahapannya begitu jelas dan terang benderang. RUU KPK ketika itu ibarat “siluman” tiba-tiba muncul diakhir masa tugas anggota DPR Periode 2014-2019.
Tahun 2019 terdapat 55 rancangan undang-undang yang masuk dalam prolegnas prioritas, revisi RUU KPK tidak termasuk dari 55 tersebut[9]. Dari situ kemudian timbul pertanyaan apakah DPR atau Presiden tidak dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar dari Proglenas sebagaimana yang terjadi pada RUU KPK?. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 secara jelas menerangkan tentang hal tersebut, untuk dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar prolegnas maka ada syarat yang harus dipenuhi, hal ini dijelaskan pada Pasal 23 ayat (2) yaitu: Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Karenanya ada kekeliruan apabila DPR tiba-tiba mendahulukan revisi UU KPK ketimbang membahas undang-undang yang telah menjadi proglenas prioritas.
Selain hal-hal yang telah di uraikan di atas, sebagaimana kita tau bersama bahwa proses pembuatan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 dibuat dalam waktu yang sangat singkat, tertutup dan disinyalir tidak melalui konsultasi publik terlebih dahulu. Disahkan menjelang berakhirnya tugas anggota DPR periode 2014-2019. Lagi-lagi hal ini tentunya bertentangan dengan mandat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 khususnya Pasal 96 yang menyatakan:
(1)   Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2)   Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a.    rapat dengar pendapat umum;
b.    kunjungan kerja;
c.    sosialisasi; dan/atau
d.    seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3)   Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.[10]
(4)  Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran formil dalam pembahasan perubahan kedua Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang saat ini telah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019.
c. bertentangan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi yaitu putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006; putusan MK No. 5/PUU-IX/2011; putusan MK No. 49/PUU-XI/2013 14 November 2013: dan putusan MK No. 36/PUU-XV/2017.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, mengisyaratkan bahwa lembaga KPK tidak lagi menjadi Lembaga Negara Independen yang selama ini integritasnya selalu terjaga. Bentuk ke tidak independen an tersebut tercermin pada Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini. Aturan ini, kecenderungannya bertentangan dengan Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006; Putusan MK No. 5/PUU-IX/2011; Putusan MK No. 49/PUU-XI/2013 14 November 2013: dan Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017.
Putusan tersebut pada pokoknya Mahkamah Konstitusi menyatakan, KPK merupakan lembaga negara yang terkait/melaksanakan (sebagian) fungsi kekuasaan kehakiman. Posisi KPK sebagai lembaga negara yang bukan termasuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, namun diberikan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman. Pada Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 terdapat pemahaman bahwa UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara institusional berada di ranah kekuasaan kehakiman. Ini mengingat keberadaan Pasal 53 menyatakan “Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,” dengan ketentuan itu kompetensi Pengadilan Tipikor ditentukan oleh lembaga yang menuntut, yaitu KPK. Sebab, Pengadilan Tipikor dirancang diletakkan dalam wilayah berkiprahnya kewibawaan KPK. 
Lebih lanjut Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 secara esensi merinci bahwa KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.[11] Dengan demikian maka jelaslah KPK merupakan lembaga negara yang independen ketika menjalankan tugas dan wewenangnya. Selanjutnya terkait dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kewajiban bagi DPR maupun Presiden untuk menjalankan putusan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan perintah undang-undang yaitu maka apa yang menjadi tindak lanjut[12] Mahkamah Konstitusi harus dapat dijalankan oleh DPR dan Presiden.[13]
Dengan demikian esensi pokok dari ke empat putusan tersebut sebagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi berkali-kali menegaskan KPK sebagai lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen. Hal ini sejalan dengan Pasal 3[14] UU KPK sebelumnya. Walaupun tidak boleh dimaknai tidak dapat diawasi oleh DPR. Namun, sesungguhnya hubungan DPR dan KPK dibangun atas dasar checks and balances.
d.   inkonsistensi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 dari sisi hak asasi manusia.
Pada konsideran huruf c Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi salah satu landasan lahirnya undang-undang ini yaitu bahwa pelaksanaan tugas KPK tidak boleh mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) "Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu terus ditingkatkan melalui strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang komprehensif dan sinergis tanpa mengabaikan penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan peraturan perundang-undangan " dilanjutkan dengan alasan pengaturan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Dijadikan sebagai prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dan untuk kepastian hukum. Namun demikian hal tersebut seolah menjadi kontradiktif dengan adanya pengaturan pasal yang disinyalir diskriminatif serta bertentangan dengan semangat hak asasi manusia yansg diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Misalnya, Pasal 43A ayat (1) huruf c menyatakan Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter” hal yang sama juga diatur dalam Pasal 45A ayat (1) huruf c menyatakan “Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter”. Pasal tersebut seolah dibuat untuk menyasar salah satu penyidik senior KPK (Novel Baswedan) yang mengalami cacat akibat menjalankan tugas dan fungsinya di KPK. Para pembuat undang-undang khususnya pasal tersebut seolah ingin “menyingkirkan” penyidik senior KPK tersebut yang konon memang teguh dalam pemberantasan korupsi. Tak hanya itu rumusan pasal tersebut menurut berbagai kalangan dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap kaum difabel. "Karena tidak memiliki tafsir resmi dalam peraturan perundang-undangan, dalam berbagai kasus syarat sehat jasmani dan rohani ditafsirkan beragam, bahkan seringkali digunakan untuk mendiskrimasi masyarakat yang menyandang difabel"
Hal lain yang disinyalir bertentangan dengan HAM dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 yaitu Pasal 32 ayat (3) menyebutkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dilarang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengunduran dirinya menduduki jabatan publik”. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana jika pimpinan KPK yang lain secara bersama-sama diduga melakukan perbuatan tercela (perbuatan merendahakan martabat pemberantasan korupsi) atau terlibat dalam satu tindak kejahatan dalam hal ini korupsi, maka untuk mempertahankan integritas dalam pemberantasan korupsi ada yang mengundurkan diri. Apakah karena pengunduran diri tersebut maka seseorang tidak bisa menduduki jabatan publik sebagaimana ketentuan Pasal 32 atay (3) tersebut. Pasal tersebut kemudian dianggap oleh berbagai kalangan penggiat anti korupsi semacam "karma" bagi para pimpinan KPK yang sebelumnya kerap menuntut para koruptor untuk tidak menduduki jabatan publik dalam kurun waktu tertentu dalam setiap tuntutan terdakwa korupsi yang mempunyai jabatan publik seperti kepala daerah maupun anggota DPR, DPD serta DPRD.
Komisioner Komnas HAM Bidang Pengkajian dan Penelitian Choirul Anam menyatakan seharusnya frasa sehat jasmani dan rohani serta dibuktikan dengan surat dokter tidak diperlukan apabila penyidik dan penyelidik bisa menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. "Sepanjang bisa menjalankan itu semua harusnya tidak apa-apa, kalau ada pihak yang dirugikan pintunya ya praperadilan itu". Kemampuan fisik tidak bisa menentukan kualitas seseorang termasuk penyelidik dan penyidik. Selain sudah terbantu dengan adanya teknologi yang mumpuni, pengalaman serta analisis seorang penyelidik dan penyidik juga mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan ke depan.
Staf Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar mengatakan isu mengenai HAM hanya menjadi dalih DPR dan Pemerintah merevisi UU KPK termasuk adanya SP3. Padahal selama para tersangka juga sudah mempunyai hak sesuai peraturan perundang-undangan seperti pembelaan dan mendapat pendampingan hukum. Rivanlee Anandar menilai frasa sehat jasmani dan rohani sebagai syarat penyidik bias karena diduga kuat untuk menyingkirkan oknum tertentu seperti Novel Baswedan. "Sehat jasmani rohani bias menurut kami secara normatif kelihatan sekaliber keberadaan Novel atau membuat Novel tidak lagi ada di KPK. Ini upaya pembatasan terhadap petugas atau pegawai yang sudah lama ada di KPK," terangnya. 
Rivan juga menyebut pimpinan yang dilarang menjabat publik selama lima tahun karena mengundurkan diri janggal. "Pasal yang ada di UU baru ini cenderung diskriminatif, entah apa yang menjadi alasan DPR memasukkan pasal ini," pungkasnya. Menurut Rivan, perubahan kedua UU KPK ini sangat jauh dari alasannya untuk mengakomodir HAM. Bahkan apabila perubahan pasal seperti berkaitan dengan penyelidik[15]
3.   Substansi dan Kewenangannya
Pada bagian ini akan dielaborasi mengenai substansi dan kewenangan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada banyak hal yang hingga saat ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, diantaranya hal-hal yang terkait dengan proses penyusunan yang tidak akomodatif hingga tudingan memperlemah lembaga anti rasuah yaitu KPK.
a.   proses penyusunan yang tidak aspiratif
Dalam banyak hal dan kesempatan, sebagaimana yang diketahui bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dibuat dalam waktu yang sangat singkat, tertutup dan disinyalir tidak melalui konsultasi publik terlebih dahulu. Disahkan menjelang berakhirnya periode Anggota DPR RI. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa revisi ke dua Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah bentuk penghianantan terhadap mandat rakyat dalam menegakkan hukum terkait dengan tindakan korupsi. Ada juga yang menyebut bahwa tindakan tersebut merupakan operasi senyap pelemahan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga tidak heran sampai berakhirnya waktu 30 hari sebagai batas waktu penandatanganan presiden yang secara otomatis menjadi undang-undang yang kemidian dikenal dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, masih saja menjadi polemik dan perdebatan. Munculnya aksi demonstrasi yang berkelanjutan yang menolak pengesahan tersebut. Penolakan tidak hanya menyangkut status KPK yang menjadi lembaga pemerintah, dan pegawainya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dianggap mereduksi independensi. Kemudian kewenangan Komisioner yang hanya menjadi "manajer" karena tidak mempunyai hak melakukan penyidikan dan penuntutan, serta adanya Dewan Pengawas tetapi kemudian berbagai aspek dikupas dan dikuliti berbagai kalangan.
b.   posisi dewan pengawas dan kewenangannya merupakan “matahari kembar di tubuh KPK” 
Sebagaimana yang kita tau dengan lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terjadi perubahan pasal-pasal di dalamnya yang secara subtansi sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan KPK itu sendiri. Salah satu ketentuan yang direvisi dari UU KPK sebelumnya adalah Pasal 12 terkait penyadapan. Pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tetap diberi kewenangan menyadap, tapi harus ada izin tertulis terlebih dahulu dari Dewan Pengawas. Berbagai kalangan menilai salah satu poin krusial dalam revisi UU KPK sebelumnya justeru terkait Dewan Pengawas dan izin penyadapan itu sendiri. Hal ini merupakan salah satu poin yang ditengarai justeru memperlemah KPK, berikut adalah pasal-pasal penyadapan. 
Pasal 12B menyebutkan:
(1)    Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.
(2)    Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)     Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.
(4)     Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Pasal 12C menyebutkan:
(1)     Penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana di maksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.
(2)     Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggung jawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.
Pasal 12D menyebutkan:
(1)     Hasil Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)     Hasil Penyadapan yang tidak terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi wajib di musnahkan seketika.
(3)     Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau orang yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan per undang-undangan. [16]
Yang menjadi persoalan bukan tentang penyadapan, pada konteks lain penyadapan merupakan bagian penting dalam penegakan hukum pidana yang bersifat khusus. Tetapi yang menjadi persoalan mengenai kewenangan penyadapan, publik melihat bahwa pengaturan penyadapan pada revisi UU KPK mungkin belum saatnya sebab saat ini revisi tentang kewenangan penyadapan seolah-olah hanya dilakukan pada UU KPK saja, padahal kita ketahui bersama bahwa lembaga lain juga punya kewenangan penyadapan misalnya BNN, BIN, Kepolisian dan sebagainya tetapi kenapa yang di utak-atik oleh DPR hanya penyadapan yang diatur dalam UU KPK. Jika memang semangatnya ingin mengatur tentang penyadapan maka seharusnya DPR dan Presiden menjalankan perintah MK agar mengatur tentang penyadapan pada UU Khusus yang mengatur soal penyadapan.
Poinnya adalah DPR dan Presiden sebaiknya tidak hanya mengutak-atik kewenangan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara lembaga lain didiamkan saja. Kewenangan penyadapan yang juga dimiliki oleh Polri dan Kejaksaan tidak diatur dalam undang-undang. Padahal, pada 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengharuskan pemerintah dan DPR membentuk UU yang mengatur prosedur penyadapan. Kendati demikian, hingga kini rancangan undang-undang (RUU) Penyadapan belum disahkan di DPR. Kewenangan penyadapan setiap instansi akan lebih jelas dengan adanya UU tersebut. Jadi ada kesamaan perlakuan pada instansi-instansi yang memiliki kewenangan menyadap, kecuali UU menentukan lain.[17]
Teknis dan mekanisme penyadapan pada UU KPK sebelumnya masih memadai dan masih sangat dibutuhkan karena merupak instrumen yang dapat dijadikan salah satu alat bukti bagi KPK untuk membongkar praktik kejahatan korupsi, utamanya pada tangkap tangan selama ini. Prosedurnya sederhana serta tidak berbelit-belit namun dapat dipertanggungjawabkan, setidaknya data KPK menyebutkan bahwa sejauh ini KPK telah melakukan tangkap tangan sebanyak 123 kali dengan jumlah tersangka 432 orang dan hampir 100% terdakwa yang terjaring tangkap tangan dengan dibantu alat bukti penyadapan yang dihadirkan KPK dipersidangan divonis pidana oleh pengadilan. Ini mengartikan bukti yang dihadirkan KPK ke persidangan telah teruji secara hukum. justeru hadirnya mekanisme penyadapan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 memperpanjang jalur birokrasi urusan penyadapan KPK apalagi penyadapan harus melewati izin Dewan Pengawas[18] yang kemudian pelaporan harus berkala[19]. Jika dicermati konstruksi Pasal 12B ayat (1) yang menyatakan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Menandakan bahwa kehadiran Dewan Pengawas dalam institusi KPK yang diberi otoritas kewenangan yang “super” justeru menciptakan “Matahari Kembar” ditubuh KPK. Hal ini dikhawatirkan konsen pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi tidak efektif. [20]
Untuk pertimbangan independensi, efisiensi (daya guna) dan efektivitas (hasil guna) yang telah terbukti sangat bermanfaat dalam penegakan hukum tindak pidana  korupsi maka, penyadapan sebaiknya tidak membutuhkan izin dari Dewan Pengawas demikian pula halnya dengan keberadaan Dewan Pengawas KPK itu sendiri, untuk saat ini belum dibutuhkan oleh KPK mengingat di KPK sendiri ada pengawasan internal, KPK memiliki deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. Jika skemudian niatannya untuk meningkatkan efektifitas pengawasan ditubuh KPK maka banyak kalangan berpendapat sebaiknya deputi bidang pengawasan internal dipisahkan dengan bidang pengaduan masyarakat dan kedudukan bidang pengawasan internal tidak dibawah pimpinan KPK sehingga pengawas internal ini juga dapat mengawasi tindak tanduk, prilaku dan etika para pimpinan KPK. Oleh karenanya namanya bukan lagi deputi namun bisa berubah menjadi komite atau dewan atau nama lainnya.
Orang-orang yang duduk pada komite atau dewan pengawas internal ditentukan oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh KPK (seperti halnya seleksi dewan penasehat KPK) yang dapat berasal dari internal KPK maupun eksternal KPK. Namun sekali lagi komite atau dewan pengawas internal ini tidak bertugas mengeluarkan izin penyadapan. Kalau pun DPR berkeinginan membentuk Dewan Pengawas, Dewan Pengawas yang dimaksud adalah Dewan Pengawas Terpadu yang mengawasi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, kepolisian dan kejaksaan. Jadi tidak spesifik mengawasi KPK dan wewenangnya pun diatur melalui UU tersendiri tentang pembentukan Dewan Pengawas Pemberantasan Korupsi dan sekali lagi penyadapan KPK tidak membutuhkan izin dari dewan pengawas ini. 
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa berdasarkan konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan. KPK selama ini telah diawasi oleh publik. Sedangkan dalam hal keuangan mekanisme audit dari Badan Pemeriksa Keuangan. Kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga anti rasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman. Public society juga dapat mengawasi kinerja KPK dengan membentuk lembaga swadaya masyarakat.
Terkait dengan adanya potensi “matahari kembar” ditubuh KPK dapat dilihat pada rumusan pasal per pasal yang ada dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Keberadaan Dewan pengawas diberikan kewenangan yang “super” bahkan cenderung kedudukannya sebagai pengendali institusi KPK, salah satu kewenangan super yang dimiliki Dewan Pengawas sebagaimana tertuang dalam Pasal 37 B ayat (1) huruf b disebutkan Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Berdasarkan rumusan pasal tersebut maka kendali untuk menentukan bahwa suatu kasus tindak pidana korupsi bisa terungkap atau tidak tergantung Dewan Pengawas, karena dewan pengawaslah yang dapat menentukan pakah ada operasi tangkap tangan yang diawali dengan penyadapan apakah diperbolehkan melakukan penggeledahan dan atau penyitaan. Dengan kewenangan “super” tersebut maka patutlah kedudukan Komisioner KPK menjadi tak berguna dalam hal penindakan. Hal lain yang menjadi persoalan dengan adanya kewenangan dewan pengawas sesuai pasal di atas patut dipertanyakan karena kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif. Dewan Pengawas bukanlah bagian dari penegak hukum. Sekalipun Dewan Pengawas tidak dibutuhkan KPK saat ini, namun dengan kewenangan besar seperti itu terlihat pembentuk UU tidak memahami bahwa dalam regulasi KUHAP hanya institusi Pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin.
c.   Pasal-pasal yang menimbulkan “masalah hukum” dan titik mundur pemberantasan tindak pidana korupsi.

Banyak kalangan menilai bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari segi substansi rumusan pasal-pasalnya menimbulkan masalah hukum dan sebagai titik mundur pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, pasal-pasal yang kemudian ditengarai menjadi titik mundur pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1)  Pasal 1 angka 6, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara. Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyebutkan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persoalannya adalah selama ini tidak seluruh pegawai KPK termasuk dalam Aparatur Sipil Negara, sebab terdapat pegawai tetap KPK dan pegawai tidak tetap. Bila disamakan status pegawai, akan menghilangkan status lembaga independen. Tentu atas kondisi seperti ini diperlukan penyesuaian kondisi yang cukup panjang. Selain itu poin pentingnya adalah dalam konsep lembaga negara independen salah satu cirinya adalah kemandirian dalam sumber daya manusia. Disisi lain Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi. Poinnya adalah pasal ini menjadi kontradiktif dengan Pasal 1 angka 6 Jo Pasal 24 ayat (2) yang menegaskan bahwa pegawai KPK merupakan ASN sementara di Pasal 43 ayat (1) dimungkinkan untuk mengagkat penyelidik yang berasal dari internal KPK yang tentunya penyelidik internal ada yang tidak berstatus ASN sebagaimana yang ada saat ini. Pengangkatan penyidik secara mandiri oleh KPK ini dikuatkan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 109/PUU-XIII/2015 yang pada intinya KPK dapat merekrut sendiri penyidiknya. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa dalam merekrut penyidik KPK tidak sepenuhnya bebas, sebab sistem rekutmen penyidik harus memperhatikan pasal 24 ayat (2) UU KPK yang menyebutkan bahwa pegawai KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK, sehingga rekrutmen penyidik KPK harus memperhatikan keahlian calon pegawai yang bersangkutan. Selain itu, dengan berlakunya UU ASN, pelaksanaan rekrutmen harus mendasarkan pada ketentuan kepegawaian dalam UU ASN, karena menurut UU ASN ditegaskan bahwa ASN adalah profesi bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang bekerja di instansi pemerintah dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya. Tentang penyidik pada KPK, DPR dan pemerintah harus merujuk pada putusan MK No. 109/PUU-XIII/2015 terkait pengujian UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena putusan MK bersifat final dan binding. Untuk itu sebagai bagian dari penguatan KPK sebaiknya penyidik KPK bisa dari internal maupun eksternal. Penyidik internal adalah penyidik yang diangkat dari pegawai KPK dan penyidik eksternal adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, PPNS, instansi pemerintah lainnya dan statusnya tetap ASN. Tentang porsi penyidik internal dan eksternal sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada KPK yang paling memahami kebutuhannya. Sesungguhnya, semua masalah dapat diselesaikan jika kita semua bisa berpikir secara jernih dan bijaksana karena sejatinya bijaksana (wise) itu lebih tinggi tingkatannya dibandingkan ahli (expert), paham (understand) dan tahu (know)[21].
2)      Pasal 12A yang menyebutkan Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai koordinasi yang dimaksud sehingga menimbulkan multi tafsir, dalam penjelasannya hanya disebutkan cukup jelas.[22]
3)     Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pasal ini jelas menghilangkan kewenangan KPK untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (2) UU KPK sebelumnya.
4)   Berdasarkan Pasal 21 ayat 4 sebagaimana diatur dalam UU KPK sebelumnya dihapus. Isinya yakni pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Penghilangan status penyidik dan penuntut pada Pimpinan KPK berakibat serius. Sebab karena pimpinan KPK dapat dikatakan hanya menjalankan fungsi administratif saja. Tidak bisa masuk lebih jauh dalam penindakan. Jadi, ke depan pimpinan KPK tidak bisa memberikan izin penyadapan, penggeledahan, maupun tindakan pro justicia lainnya, tugas dan fungsi ini diambil alih oleh Dewan Pengawas.
5)   Selanjutnya Pasal 29 huruf e yang menyebutkan Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. Dengan demikian salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terpilih periode 2019-2023 yaitu Nurul Ghufron, terancam tidak bisa dilantik karena memiliki usia di bawah batas minimal seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Nurul Ghufron pada saat seleksi calon pimpinan KPK dan kemudian terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK masih berusia 45 tahun dengan menggunakan dasar hukum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang tersebut tidak mengatur batas usia untuk calon pimpinan KPK. Jika bicara dari salah satu aspek hukum maka tentunya kita bicara soal berlaku surutnya suatu peraturan. Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 khususnya pasal yang mengatur persyaratan pimpinan KPK tidak mengenal berlaku surut. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh pakar hukum tata negara Refly Harun yang menyatakan bahwa UU KPK versi revisi sudah berlaku untuk calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Oleh karena itu, jika Ghufron dilantik, akan ada hukum yang dilanggar. "Jadi, jika menggunakan perspektif hukum, dia enggak bisa diangkat. Karena untuk diangkat sudah berlaku UU yang baru, kalau seandainya Ghufron tetap dilantik dengan mengacu pada UU No. 19 Tahun 2019, ya artinya melanggar hukum”. Sayangnya UU KPK yang proses pembuatannya ceroboh ini, tidak ada aturan peralihan, dibuat tidak mengantisiapasi calon pimpinan KPK terpilih yang masih berusia 45 tahun, hal tersebut mengindikasikan bahwa memang terburu-buru untuk menghabisi lembaga KPK.  Aturan soal batas usia dan pemilihan Nurul Ghufron sebagai pimpinan KPK adalah bukti bahwa Revisi UU KPK memang terburu-buru. Dalam UU KPK yang baru tidak ada ketentuan peralihan untuk mengantisipasi kasus batas usia Nurul Ghufron[23].
6)   Ada juga Pasal 69D yang merupakan ketentuan peralihan menyebutkan Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang-undang ini diubah”. Sebaliknya dalam Pasal 70C menyebutkan Pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Artinya adalah bahwa rumusan Pasal 69D dan Pasal 70C saling bertentangan, ada ketidak konsistenan dalam rumusan pasal-perpasal Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Menurut Wakil ketua KPK Laode M Syarif, hal ini terjadi karena proses pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim masukan masyarakat, maka hasilnya kekacauan[24].
7)   Pasal 37 E ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Pengangkatan dewan pengawas yang dilakukan Presiden dikhawatirkan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK. Sebab kewenangan yang diperoleh oleh Dewan Pengawas amat besar, hingga pada izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. 
8)      Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Pasal ini dapat diartikan bahwa KPK sewaktu-waktu dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tentu poin ini akan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010 yang secara tegas melarang KPK untuk mengeluarkan SP3. Ini semata-mata agar KPK lebih berhati-hati sebelum menentukan sebuah perkara masuk pada ranah penyidikan. Setelah masuk ranah penyidikan namun bukti yang ditemukan dinyatakan tidak cukup maka perintah putusan MK perkara itu tetap harus dilimpahkan ke persidangan dan terdakwa harus dituntut lepas atau bebas. Adanya batasan waktu penyidikan maka akan menyulitkan KPK membongkar kasus-kasus besar yang tergolong rumit dibuktikan. Contohnya perkara korupsi KTP elektronik saja memakan waktu dua tahun untuk memperoleh penghitungan kerugian negara. Pada dasarnya setiap perkara memiliki kerumitan pengungkapan yang berbeda beda, jadi tidak tepat jika harus dibatasi waktu tertentu.
C.         SOLUSI MELALUI TAWARAN HUKUM
Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain pada level yang sama, maka dari segi ilmu hukum ada beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan. Salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh adalah: 
1.  legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat undang-udang) untuk mengubah undang-undang tertentu. Dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal.
Sedangkan, untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan revisi.
Kaitannya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mekanisme legislative review tentu saja bisa dijalankan artinya substansi tertentu di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat saja di rubah dengan mekanisme legislative review melalui lembaga legislatif. Artinya pasal-pasal yang mengandung pelemahan terhadap fungsi lembaga anti rasuah tersebut dibatalkan dengan cara menganti dengan aturan yuridis yang sesuai aspirasi masyarakat.
Namun demikian legislative review jelas bukan tawaran hukum yang menarik bagi publik dalam menyelesaikan kegaduhan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasalnya, di samping persoalan waktu, menyerahkan kembali ke lembaga legislatif dalam membahas kembali perubahan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga tidak akan mendapatkan kepercayaan publik. Manuver hukum lembaga legislatif adalah sesuatu yang dikhawatirkan. Banyak kalangan meragukan pasal-pasal yang menuai kritik pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat diubah dengan mekanisme legislative review sebab sebelumnya perwakilan semua partai di DPR kompak menyetujui pengesahan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.  Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”)[25]. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung[26] (“MA”)[27].
Salah seorang ahli hukum, Ph. Kleintjes[28], menyebutkan bahwa Hak Uji Materiil pada dasarnya adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 
Secara teori, lembaga peradilan baik Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundang-undangan yang di judicial review. Dalam judicial review, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.
Kaitannya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimungkinkan untuk melakukan Judicial review sebagaimana yang saat ini sedang berlangsung. Mekanisme ini dapat ditempuh di Mahkamah Konstitusi. Caranya, dapat mengajukan pengujian secara materiil (Uji materi) maupun formil (uji formil) terhadap norma hukum didalam Perubahan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional. Tujuannya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam perubahan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian yang perlu di ingat bahwa uji materi suatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi kecenderungannya tidak akan berhasil apabila semata-mata didasari karena ketidak sukaan rakyat pada undang-undang tersebut. Mahkamah Konstitusi dilarang membatalkan undang-undang hanya karena tidak disukai oleh rakyat. Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan undang-undang apabila isinya memang bertentangan dengan konstitusi. Jangan sampai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini tidak disukai rakyat tapi tidak bertentangan dengan konstitusi.
3.  Executive review adalah segala bentuk produk hukum pihak executive diuji oleh baik kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hirarkis. Dalam konteks ini yang diperkenalkan istilah “control internal” yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk regeling maupun beschikking. Sasaran objek “executive review” adalah peraturan yang bersifat regeling melalui proses pencabutan atau pembatalan. Pengujian yang disebut “executive review” ini dilakukan untuk menjaga peraturan yang diciptakan oleh pemerintah (eksekutif) tetap sinkron atau searah, dan juga konsisten serta adanya kepastian hukum untuk keadilan bagi masyarakat. Pemberlakuan executive review ini telah diatur dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Proses executive review Peraturan Daerah dilakukan dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri.
Kaitannya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mekanisme executive review dapat ditempuh dengan cara Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Misalnya, Presiden SBY pernah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Perppu tersebut selanjutnya disetujui DPR.
Banyak kalangan ahli hukum tata negara berpendapat bahwa polemik Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih baik diselesaikan dengan penerbitan Perppu. penerbitan Perppu adalah hak subjektif Presiden. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang mengatur Perppu bisa diterbitkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Penilaian soal adanya unsur kegentingan bergantung pada subjektif Presiden. Kalaupun Perppu dinilai tidak tepat, DPR RI bisa membatalkannya. Zainal Arifin Mochtar menilai sudah ada kegentingan memaksa yang bisa melandasi penerbitan Perppu. Kegentingan itu terlihat dari banyaknya korban luka, bahkan ada yang meninggal dunia, dari kalangan peserta demo menolak Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, terdapat sejumlah pasal di Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bisa memicu persoalan kekosongan hukum. Masalah kekosongan hukum merupakan salah satu parameter kegentingan seperti disebut dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Contohnya, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur usia komisioner KPK paling rendah 50 tahun. Karena tidak ada pasal peralihan, salah satu komisioner KPK terpilih, yakni Nurul Ghufron yang masih berusia 45 tahun, terancam tidak bisa dilantik. Bivitri Susanti menyarankan Perppu baiknya segera diterbitkan, mengingat urgensi dan derasnya desakan publik. Hal ini dilihat sebagai langkah responsif apabila melihat dinamika yang terjadi di luar dan menuangkannya dalam kebijakan, tidak perlu menunggu proses uji materi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di MK selesai. Sebab, tak ada aturan yang melarang penerbitan Perppu saat undang-undang yang diperkarakan sedang diuji.[29] 
4. Perbuatan Melawan Hukum, merupakan upaya hukum lain tentunya selain legislative review, judicial review, dan Executive review.  Upaya hukum lain yang dapat ditempuh dalam hal adanya dugaan suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah melalui pengajuan gugatan tentang perbuatan melanggar hukum terhadap pejabat atau badan yang mengeluarkan peraturan tersebut. Tentang perbuatan melanggar hukum (PMH) ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dalam PMH ini harus ada kejelasan tentang apa kerugian yang ditimbulkan (jadi harus ada kerugian terlebih dahulu) dan siapa yang telah dirugikan tersebut. Kejelasan akan siapa yang dirugikan nantinya akan menentukan subyek yang berhak melakukan gugatan, yaitu orang yang benar-benar dirugikan secara langsung akibat kebijakan yang dikeluarkan tersebut. 
PMH tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam lalu lintas masyarakat. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terdiri dari 4 unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH):
a.   Adanya Perbuatan Melawan Hukum. Dikatakan PMH, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur berikut: Bertentangan dengan hak orang lain; Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; Bertentangan dengan kesusilaan; Bertentangan dengan keharusan (kehati-hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
b.  Adanya unsur kesalahan. Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.
c. Adanya kerugian. Yaitu kerugian yang timbul karena PMH. Tiap PMH tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau imateril, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
d. Adanya hubungan sebab akibat. Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan.[30]
Perbedaan antara upaya hukum PMH dengan judicial review adalah pada gugatan PMH obyek gugatannya adalah keputusan yang sifatnya individual dan bukan publik sedangkan judicial review dapat dilakukan terhadap peraturan perundangan yang mengikat publik. Gugatan PMH dapat dilakukan terhadap keputusan menteri dan keputusan pejabat negara lainnya sedangkan judicial review hanya dapat dilakukan terhadap pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA”). 
D.        PENUTUP
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka ada beberapa hal menjadi catatan khusus yang seharusnya menjadi perhatian bersama, terlebih-lebih bagi lembaga yang diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan. Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seharusnya dijadikan pelajaran yang sangat berharga dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Adanya penolakan dari masyarakat umum, penggiat anti korupsi, akademisi, perhimpunan guru besar, ahli ekonomi, dan puncaknya demonstrasi penolakan dari pelajar serta mahasiswa yang terjadi hampir disemua kota-kota besar sampai menyebabkan korban luka dan korban meninggal dunia. Hal ini betul-betul sangat menyedihkan dan melukai perasaaan masyarakat Indonesia. Aksi penolakan tersebut memberikan kesan buruk bagi DPR RI dan Presiden dimata masyarakat umum dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan. 
1.   Kesimpulan
Adanya penolakan terhadap Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menandakan bahwa penyusunan undang-undang tersebut tidak memenuhi landasan sosiologis. Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, juga dikaitkan dengan penghianat atas mandat reformasi karena dianggap bertentangan dengan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dari kajian sementara bahwa keberadaan undang-undang tersebut memuat banyak pelanggaran formil yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, banyak kaidah-kaidah yang merupakan ketentuan formil tidak diindahakan oleh pembuat Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 diantaranya adanya pertentangan dengan empat Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006; Putusan MK No. 5/PUU-IX/2011; Putusan MK No. 49/PUU-XI/2013 14 November 2013: dan Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017. Kemudian rumusan pasal-pasalnya inkonsistensi dengan penegakan Hak Asasi Manusia.
Rumusan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 dari sisi substansi dan kewenangannya tidak menjadi efektif, terbukti dengan adanya penolakan karena memang proses penyusunannya tidak aspiratif. Dari sisi kewenangan menjadi tumpang tindih sehingga dikhawatirkan adanya “matahari kembar” ditubuh KPK dan justru memperlemah penegakan hukum tindak pidana korupsi itu sendiri. Rumusan pasal-pasalnya menimbulkan masalah hukum karena saling bertentangan dan sebagai titik mundur pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, hal tersebut mengindikasikan proses pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim masukan masyarakat, maka hasilnya kekacauan dengan demikian tidak salah juga jika masyarakat menganggap proses pembuatan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 memang dilakukan terburu-buru juga untuk “menghabisi” lembaga KPK. 
Untuk mengobati rasa kekecewaan masyarakat sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan dari segi ilmu hukum yaitu legislative review, Judicial Review, Executive review, dan mungkin juga gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Namun demikian publik masih menaruh harapan agar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibatalkan dengan mekanisme konstitusional.
2.   Saran
Untuk menjawab kebutuhan publik guna menyelesaikan kegaduhan akibat Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, karena memang undang-undang tersebut tidak mendapatkan kepercayaan publik sehingga sudah pasti tidak efektif. Presiden sepatutnya menerbitkan Perppu pembatalan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Sebenarnya telah ada yang mengambil inisiatif dengan melakukan Judicial review dan itu sah-sah saja. Judicial Review dan Penerbitan Perppu sama-sama saluran hukum yang diperkenankan oleh ketentuan hukum. Namun begitu, kegaduhan telah terjadi akibat pengesahan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Lebih dari itu, gelombang demonstran memprotes perubahan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 juga telah menelan korban jiwa dari kelompok mahasiswa. Ini seharusnya dianggap suatu kegentingan sehingga alasan dikeluarkannya Perppu terpenuhi.
Presiden harus dapat merenungi perbedaan antara filosofi judicial review dengan filosofi Perppu. Judicial review adalah hak warga negara untuk membatalkan aturan hukum dalam undang-undang yang merugikan hak konstitusional. Maknanya warga negara memperjuangkan nasib hukumnya sendiri tanpa keterlibatan Presiden. Sedangkan penerbitan Perppu merupakan hak Presiden untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang sifatnya kegentingan memaksa melalui mekanisme Perppu. Maknanya Presiden sebagai pemimpin negara diberikan senjata hukum bernama Perppu untuk memperjuangkan kebutuhan hukum warga negara.
Sekiranya Presiden berpandangan, bagi masyarakat yang tidak menerima Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, dapat menempuh judicial review di Mahkamah Konstitusi, sama saja Presiden absen dalam memperjuangkan tuntutan publik. Karena mekanisme judicial review yang dapat dilakukan oleh warga negara di Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan peran serta Presiden. Akibatnya, masyarakat akan berjuang sendiri tanpa keterlibatan Presiden dalam menyelesaikan kegaduhan produk legislasi mengenai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Ironi, bila Presiden memiliki cara pandang hukum semacam ini.
Sebaliknya, bila Perppu diterbitkan, Presiden menunjukkan posisinya bersama-sama dengan masyarakat. Memang, pada akhirnya Perppu yang diterbitkan oleh Presiden akan dibahas di DPR untuk memperoleh persetujuan DPR. Demikian prosedur legalnya. Tapi sebagai langkah pembuka, sudah seharusnya Presiden menerbitkan Perppu. Isinya membatalkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Langkah ini dibenarkan menurut yuridis dan akan diterima secara sosiologis. Harapannya, KPK yang merupakan produk reformasi itu dapat terjaga dari serangan-serangan regulasi yang dapat melumpuhkan kinerja KPK. Walhasil, akan membuktikan Presiden hadir berjuang bersama-sama rakyat guna mewujudkan aspirasi publik.[31]

  








[1]Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[2]Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[4]https://antikorupsi.org/id/news/korupsi-itu-penghinaan-terhadap-pancasila. Diakses tanggal, 1 November 2019. Pukul 15.00 Wib.
[6]Pasal 1 Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2001 menerangkan Rekomendasi Arah Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektivitas pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Pennusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta berbagai peraturan perundangundangan yang terkait.
[7]Pasal 2 Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2001 menerangkan Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah:
1.     Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
2.     Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberatberatnya.
3.     Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
4.     Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
5.     Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
6.     Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. Perlindungan Saksi dan Korban; c. Kejahatan Terorganisasi; d. Kebebasan Mendapatkan Informasi; e. Etika Pemerintahan; f. Kejahatan Pencucian Uang; g. Ombudsman.
7.    Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi. 
[8]Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 17 Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
[10]Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
[12]Penjelasan Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[13]Undang-undang Nomor No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 10 ayat (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Pada poin penjelasannya Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
[14]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
[18]Baca Pasal 12B UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[19]Baca Pasal 12C UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[25]UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 9 ayat (1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
[26]Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung (MA) untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan, sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan MA (Perma) No. 1/1999 Tentang Hak Uji Materiil).
[27]UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 9 ayat (2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
[28] Sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri dalam Hak Uji Materiil di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1997, hal. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar