Selasa, 12 November 2019

GELOMBANG AKSI PROTES ATAS AKSI PEMBUATAN PRODUK HUKUM “BERMASALAH"

(Catatan Undang-undang Nomor 19 Tahuh 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

Oleh: Fadli


A.         PENDAHULUAN

Pada bulan September 2019 DPR RI mengesahkan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, pengesahan dilakukan dalam rapat Paripurna. Undang-undang tersebut merupakan hasil revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi tersebut kemudian menuai berbagai gelombang protes karena dilakukan menjelang berakhirnya masa bakti DPR periode 2014-2019 yang berakhir pada akhir September 2019.
Berbagai pihak, selain sangat terkejut dengan kelahiran revisi undang-undang KPK di atas yang terasa sangat tiba-tiba, lantas mempersoalkan proses penyusunan yang tidak transparan dan lebih-lebih lagi substansinya yang dianggap memperlemah keberadaan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada draf revisi undang-undang KPK DPR mengusulkan poin-poin: Pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK; penyadapan harus seizin tertulis dewan pengawas yang kemudian dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK; KPK berwenang mengeluarkan SP3 untuk penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam waktu paling lama satu tahun; seluruh pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN); KPK hanya boleh merekrut penyidik dari kepolisian; penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung; pelaporan LHKPN tak lagi di KPK melainkan di masing-masing instansi.